Mohon tunggu...
Nurul Hafidzah Khoirunnisa
Nurul Hafidzah Khoirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Psikologi UIN Jakarta

Hobi lari pagi atau sore, dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pseudosains: Stop Kemakan Hoax Berkedok Ilmiah!

24 Januari 2025   07:53 Diperbarui: 24 Januari 2025   08:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Ilustrasi Pseudosains: Stop Kemakan Hoax Berkedok Ilmiah! Sumber: iStock 

Aloha, readers! pernah ga sih lewat di beranda media sosial kamu tentang zodiak, ramalan tarot, atau seputar mitos -mitos gila yang ternyata related sama kehidupan yang sedang kamu jalani, sebenrnya itu real or fake yaa? yuk simak artikel berikut biar kamu makin tau!

nah, jadi readers fenomena yang biasa terjadi tadi dikenal dengan istilah Pseudosains. Terus, apasih Pseudosains itu?  Pseudosains atau biasa yang dikenal juga sebagai ilmu semu dapat dikatakan sebagai suatu kepercayaan atau praktik yang di klaim ilmiah namun tidak memenuhi standar ilmu pengetahuan, biasanya melibatkan sosok atau tokoh yang dianggap terpercaya (untuk mencari pembenaran pada suatu teori tanpa berlandaskan bukti ilmiah yang jelas). Dalam buku Researchs Method For Behavioral Sciences 4 karya Federick J. Gravetter dan Lori-Ann B.Foranzo "Pseudosains adalah sebuah sistem gagasan, yang sering dipresentasikan sebagai sains, tetapi sebenarnya kekurangan beberapa komponen kunci yang esensial bagi penelitian ilmiah. Teori-teori seperti aromaterapi, astrologi, dan intelligent design adalah contoh-contoh pseudosains yang tidak didukung oleh bukti empiris." 

Berikut adalah beberapa karakteristik dari Pseudosains 

  • Kurangnya keterujian (lack of testability): Klaimnya sulit atau tidak mungkin diuji secara empiris dengan metode ilmiah yang ketat
  • Tidak adanya bukti empiris yang mendukung (lack of supporting empirical evidence): Klaimnya tidak didukung data atau bukti empiris yang kuat, melainkan mengandalkan anekdot atau testimoni
  • Ketidakmauan untuk merevisi teori (unwillingness to revise theories): Cenderung statis dan menolak perubahan meskipun ada bukti yang bertentangan
  • Mengandalkan testimoni dan anekdot (reliance on testimonials and anecdotes): Menggunakan testimoni pribadi sebagai bukti utama, yang bersifat subjektif dan bias
  • Tidak adanya mekanisme koreksi diri (lack of self-correction): Menghindari pengawasan peer review dan tidak memiliki mekanisme untuk mengoreksi kesalahan.

Gambar: Ilustrasi Pseudosains: Stop Kemakan Hoax Berkedok Ilmiah! Sumber: iStock 
Gambar: Ilustrasi Pseudosains: Stop Kemakan Hoax Berkedok Ilmiah! Sumber: iStock 

Terus apasih bedanya Sains dengan Pseudosains? 

Sains dapat menggambarkan hasil dari penilitian, hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan, memiliki bukti empiris yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, fokus pada nalar, logika, dan alur berpikir,dan selalu terbuka untuk dikoreksi. Sedangkan Pseudosains diartikan sebagai sistem pemikiran atau teori yang tidak berdasarkan ilmu ilmiah, tidak logis, tidak memiliki bukti empiris. Selain dari Teori-teori seperti aromaterapi, astrologi, dan intelligent design, aliens, ilmu weton, zodiak, pamali, bahkan percaya kalo orang yang lahir dibulan November gampang terprovokasi juga termasuk Pseudosains lho! 

Mengapa kita sebaiknya menghindari Pseudosains?

  • Kita harus mengenali pseudosains agar terhindar dari hoax karena keduanya seringkali berkaitan erat dan saling memperkuat. 
  • Hoax seringkali menggunakan jargon ilmiah, konsep yang terdengar ilmiah, atau bahkan "penelitian" palsu untuk memperkuat klaimnya, akibatnya lebih sulit bagi orang awam untuk membedakan antara informasi yang benar dan salah.
  • Hoax berbasis pseudosains, khususnya di bidang kesehatan seperti hoax vaksin atau pengobatan alternatif tanpa bukti, dapat membahayakan kesehatan masyarakat. 
  • Pseudosains kerap kali dimanfaatkan dengan tujuan komersial, seperti penjualan produk atau layanan yang berbahaya.  

Pseudosains, yang ditandai dengan kurangnya keterujian ilmiah, bukti empiris, keengganan merevisi teori, ketergantungan pada testimoni subjektif, penggunaan bahasa yang tidak jelas, dan ketiadaan mekanisme koreksi diri, yang dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pemikiran kritis, memverifikasi sumber, mencari bukti empiris, hingga berkonsultasi dengan ahli, untuk kejelasan suatu inofrmasi tentunya supaya kita terhindar dari hoax.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun