Tak jauh dari Bale Panyawangan Diorama Nusantara, kami mampir ke Bale Indung Rahayu yang memiliki arti "Tempat Kemuliaan Ibu". Di museum ini berisikan cerita tentang perjalanan hidup manusia dari mulai dalam kandungan sampai akhir hayat, serta menjelaskan peran seorang ibu yang penuh pengorbanan merawat anak dengan sentuhan budaya Sunda. Ada kaulinan (mainan) khas Sunda juga kayak congklak, bebedilan, gaplek. Duh, jadi bikin nostalgia museum itu.Â
Setelah isoma, kami mendatangi Galeri Wayang yang ada di lingkungan alun-alun. Sempat bertemu dengan Abah Djani si pembuat wayang golek dan Abah Djudju si pembuat instumen dari bambu. Saya beli 2 gelas bambunya seharga 10 ribu buat properti foto. Di dalam museum wayang tentunya banyak sekali variasi wayang golek dan wayang kulit.Â
Rasa lapar makin menjadi, panitia pun segera mengajak rombongan untuk makan siang Sate Maranggi di Kampung Plered. Ini yang paling ditunggu-tunggu, terutama saya yang belum sama sekali mencoba empuknya sate yang terbuat dari daging sapi. Makan sambil duduk lesehan nggak masalah buat saya, asal sate Maranggi menemani. Enggak lupa sop daging sapi dan es jeruk juga turut mengisi perut kami. Ada yang tahu kata Maranggi artinya apa? Â dari Mak Ranggi, nama pembuat sate tersebut.Â
Energi telah terisi perjalanan dilanjutkan ke Litbang Keramik Plered. Di sinilah pusat pembuatan keramik dari tanah liat. Bertemu dengan Bapak Jujun Djunaidi menjelaskan tentang kondisi kerajinan keramik masa kini. Secara SDM memang ada penurunan kuantitas karena kaum mudanya memilih bekerja di pabrik. Namun secara kualitas dan karakter keramik Plered beda dari Yogyakarta dan Lombok. Untuk gerabah tanah Plered itu paling bagus karena tahan di suhu 1000C. Kekurangannya hanya di kuantitas, karena membuat 1 atau 1000 keramik, membutuhkan waktu yang lama sekitar 15 hari.
Tahu Hidden Valley Hills itu dari postingan teman-teman yang sudah ke sana. Kok bagus ya pemandangan dan penginapan di sana, saya bergumam dalam hati. Teman-teman Warga Kota Purwakarta mengajak kami berkunjung ke Resorts yang berada di ketinggian 362 mdpl. Benar-benar kece deh tempatnya bisa melihat sekeliling pemandangan gunung -gunung dan tol Cipali. Awalnya sebagai tempat peristirahatan pemiliknya, tahun 2018 diubah menjadi penginapan. Sayang saya nggak bisa bobo di sana karena melanjutkan destinasi selanjutnya.Â
The last destination is Waduk Jatiluhur. Menikmati senja malam minggu di danau buatan itu. Matahari terbenam menjadi saksi kehadiran sekaligus perpisahan kami. Sebenarnya masih banyak tempat bagus di sekeliling waduk, sayangnya hari semakin gelap dan rombongan Koteka harus balik ke Jakarta. Di Waduk Jatiluhur kami berpisah dengan teman-teman panitia kegiatan wisata Purwakarta.Â
Masih kurang puas main ke Purwakarta? Kurang dong! Memang nggak ada puasnya jika menemukan tempat seru untuk dijelajahi. Setidaknya pulang dari Purwakarta saya membawa memori istimewa. Masih banyak tempat-tempat menarik lainnya yang harus dikunjungi. Ayo Main (lagi) ke Purwakarta.