Acaraki sendiri sebutan bagi peracik jamu dari prasasti Madhawapura. Profesi terpandang pada zaman kerajaan Majapahit. Pemilik dari kafe jamu ini yang punya larutan cap badak. Kalau sekarang namanya barista jamu ya. Menu jamu yang ditawarkan juga banyak dengan harga sekitar 30 ribuan. Kebetulan saya dan teman-teman KOTeKa dapat mencicipi seloki jamu golden sparkling dari bahan kunyit asam dan Saranti dari bahan beras kencur, kental manis dan creamer. Rasanya enak banget dan segar di mulut. Rasa pahit jamu nggak begitu terasa. Baru kali ini saya minum jamu tanpa mengernyitkan dahi karena pahit. Ada jamu yang jadi favorit Pak Joko Widodo lho,. namanya JKT 1681. Kini outletnya ada di Kota Tua dan AEON Mall Tanjung Barat.
Studio Wayang Aldy SanjayaÂ
Segar habis minum jamu, kami mendatangi sebuah studio pertunjukkan wayang Bapak Aldy Sanjaya. Di dalam studionya terdapat banyak jenis wayang dari golek dan kulit. Dulunya ia membuka galeri wayangnya di dalam museum wayang, namun diusir. Akhirnya sekarang punya tempat sendiri. Dari kecil ia memang suka dengan cerita wayang kayak Ramayana. Tekniknya hampir sama dengan membuat wayang kulit lainnya kayak wayang kulit khas Cirebon. Selama pandemi pertunjukkan wayang ditiadakan, tapi Pak Aldy kebanjiran pesanan custome puppet, wayang yang bentuk wajahnya serupa dengan wajah manusia yang dijual seharga 400 ribu rupiah. Sebelum keluar dari studio, Pak Aldy menyempatkan diri menjadi dalang untuk kami dalam waktu 5 menit. Kisah Rama dan Shinta dengan berbahasa Inggris.Â
Pembuatan wayang kurang lebih selama 1 minggu untuk sunggingnya (mengukir kulit wayang) dan sebulan untuk menjemur sekaligus mengamplas kulit sampai halus. Memang nggak mudah membuat wayang kulit karena butuh kesabaran dan keahlian. Sayangnya di keluarga Pak Aldy nggak ada yang mau meneruskan usahanya ini, baik anaknya atau keponakannya. Pak Aldy pun sudah berpengalaman mendalang di kedutaan besar. Studionya tiap hari buka dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Letak studionya dekat kali besar Kota Tua.Â
Kopi Sunyi
Selama beli minum kopi kekinian, saya belum pernah berhadapan dengan barista tunarungu alias nggak mampu mendengar dan berbicara seperti orang pada umumnya. Jelajah Kota Tua kali ini ditraktir minum Kopi Sunyi. Benar, baristanya seorang tunarungu bernama Vina dan Syamsul. Kopi susu gula aren yang rasanya lebih beda dari kopi yang biasa saya minum. Sebenarnya saya ingin tanya banyak dengan baristanya, namun saya juga kurang bisa menggunakan bahasa isyarat. Menanyakan namanya dengan bahasa isyarat huruf N-A-M-A-M-U S-I-A-P-A sempat lupa. Di depan mejanya ada foto bahasa isyarat huruf,  saya tertarik melihatnya. Begitupun kalau mau pesan ada gambar foto yang memudahkan pelanggan memesan dengan bahasa isyarat. Saya jadi ingin belajar bahasa isyarat begitu karena jadi salah satu keahlian juga kan. Barangkali bisa seperti  Winda Utami yang viral menerjemahkan lagu Ojo Dibandingke yang dinyanyikan Farel Prayoga saat HUT RI ke-77 lalu. Kopi Sunyi ada di Gedung Mula Kota Tua.
 Cafe BataviaÂ
Makan di restoran ini berasa jadi Noni atau Tuan zaman Belanda. Dari luar gedungnya memang unik, tapi ketika masuk ke dalam suasana interior a la Eropa banget. Ada 2 lantai, lantai bawah untuk smoking area dan lantai 2 non smoking area. Kata kak Ira Latief cobain bitter ballenya. Penasaran dong kayak apa makanan ini. Saat datang makanannya ternyata imut sekali bentuknya, satu piring ada 6 bola butter balen seharga 68 ribu rupiah. Menurut saya mirip kroket sih. Lalu mencoba makanan lain yaitu Poffertjes, mirip kue cubit yang ditaburi gula halus dan cocolannya es krim vanilla. Bentuknya sama kecil kayak bitter balen, cuma isinya lebih banyak. Kalau nggak salah harganya 86 ribu rupiah. Cukup mengagetkan sih harga makanan di Cafe Batavia. Tapi sesekali nggak apa-apa lah mencoba makanan a la Noni dan tuan Belanda zaman dulu.Â
Senang sekali bisa menyusuri 5 tempat unik di Kota Tua Jakarta. Anggap saja mengenang sejarah Batavia tempo dulu sehari sebelum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 tahun. Saya jadi banyak mengetahui sejarah Jakarta dan makin bangga dengan peninggalan sejarahnya. Tugas saya dan masyarakat Indonesia lainnya, khususunya Jakarta untuk terus menjaga warisan budaya sehingga generasi berikutnya bisa paham sejarahnya. Terima kasih Wisata Kreatif Jakarta, KOTeKa dan teman-teman Kompasiana yang bersama-sama ikut meramaikan short trip kali ini. Berikutnya mau jalan-jalan ke mana lagi ya? Pantau terus aja di media sosial Instagram atau Facebook Wisata Kreatif Jakarta atau KOTeKA.Â