Tugas LSF itu ada 2 yakni menyensor film dan iklan film untuk dipertunjukkan dan menilai dan meneliti kelayakan film sebelum dipertunjukkan. Film seperti apa yang dianggap layak? Film dinilai berdasarkan tidak ada 5 hal sensitif:Â
- Tidak mengandung kekerasan yang sadisÂ
- Tidak mengandung pornografi
- Tidak mengganggu ideologi Pancasila
- Tidak mengandung SARA
- Tidak menjatuhkan harkat dan martabat seseorang
Apabila film telah dinilai bersih dari 5 hal sensitif di atas, maka film layak tayang. Selain itu, LSF juga menilai film dari 5 hal yaitu tema, judul, adegan visual, dialog monolog, dan teks terjemahan.Â
Nah, jika semua itu sudah dilalui, maka dikeluarkanlah Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang usianya digolongkan menjadi 4 yaitu Semua Umur (SU), 13 -16 tahun, 17-20 tahun dan 21 sampai lanjut usia. STLS adalah satu produk hukum kepastian bagi pemilik film, bahwa ini adalah film miliknya.Â
Di dalam STLS tercantum siapa pemilik film, durasinya berapa lama, tayangnya untuk siapa dan masa berlakunya. Bagaimana kalau film nggak punya STLS?
Sesuai dengan UU No.33 dan PP 18 orang-orang yang sengaja menayangkan film tanpa STLS dan bikin gaduh akan dipenjara selama 10 tahun penjara dan denda 4 Miliar.Â
"LSF berbeda dari yang sebelumnya (masih bernama Badan Sensor Film)," ucap Pak Rommy.Â
Ada 2 hal perkembangan yang terjadi pada LSF masa kini yaitu perkembangan teknologi, semua dilakukan serba digital. Seperti halnya nonton di bioskop saja saat penyensoran dilakukan, LSF hanya mencatat adegan apa saja yang mesti dipotong dan ada di menit ke berapa.Â
Catatan itu akan diserahkan kepada pemilik film. Entah filmnya mau syuting ulang, potong adegan atau disamarkan. Soal itu LSF nggak ikut-ikutan. Pihak film lah yang mengolah kembali. Jangan tuding LSF jika ada adegan yang disamarkan pada tayangan televisi.Â
Perkembangan LSF berikutnya adalah perkembangan demokrasi karena LSF sangat memahami tentang property right (Hak Kekayaan Intelektual) karena itu sepenuhnya milik pihak film.
Sampai detik ini LSF berasa pada perkembangan-perkembangan tersebut. LSF juga mengembangkan budaya sensor mandiri agar masyarakat dapat memilih dan memilah tontonan sesuai penggolongannya.Â