Persoalan hak ulayat masyarakat adat (masyarakat hukum adat)[1] Â menjadi perhatian sejak lama, karena pentingnya persoalan ini secara sosial dan hukum. Lebih sempit lagi, persoalan hak ulayat adalah tentang akomodasi sistem penguasaan agraria masyarakat tradisional Indonesia dalam hukum formal.
Dengan demikian, persoalan hak ulayat lahir dalam konteks interaksinya dengan hukum formal (baca hukum negara), jauh sebelum Republik Indonesia lahir, yaitu sejak diberlakukannya unifikasi hukum dimasa Pemerintahan Kolonial Belanda. Tulisan ini berupaya menggambarkan hak ulayat masyarakat adat secara konseptual, dengan merujuk pada literatur-literatur hukum agraria yang ada.
Masyarakat Adat Subyek Hak Ulayat
Istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari recthtsgemeenschap yang pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid van Vollenhoven menyebut masyarakat hukum adat sebagai adatrechtsgemeenschap (persekutuan hukum adat). Istilah tersebut sedikit disebutkan dalam literatur-literatur. Ter Haar mendifinisikan adatrechtsgemeenschap sebagai kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan sendiri yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus dan kekayaan sendiri, baik materiil maupun immateriil.
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Istilah masyarakat hukum adat dan persekutuan hukum adat memiliki maksud yang sama.
Di samping itu, Kusumadi Pudjosewojo mengartikan masyarakat hukum adat, sebagaimana dikutip Maria S.W. Sumardjono (1993) sebagai masyarakat hukum yang menetap, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, secara alamiah tanpa ditetapkan oleh penguasa lebih tinggi, dengan rasa solidaritas di antara anggotanya, dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan bagi anggotanya.
Kelompok-kelompok masyarakat hukum adat inilah, yang oleh Ter Haar (1960) disebut sebagai lapisan paling bawah masyarakat Indonesia, yang terbagi-bagi dalam suku-suku bangsa. Selain istilah masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat, ada istilah masyarakat adat yang muncul sejak masifnya tuntutan hak atas masyarakat adat di akhir pemerintahan Orde Baru yang merujuk pada kelompok masyarakat yang sama.
Dalam konteks hubungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya (ulayat), atau dalam penalaran hukum sebagai hubungan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum atas hak ulayat, maka pemahaman tipelogi masyarakat hukum adat menjadi penting. Van Vollenhoven dalam bukunya, "Het Adatrecht van Nederland Indie, jilid I." menggolongkan masyarakat hukum adat ini berdasarkan karakter penguasaan atas wilayah atau ulayat masyarakat hukum adat. Walaupun penggolongan tersebut kemungkinan tidak semuanya masih dapat dijadikan contoh saat ini, namun cukup dapat memberikan gambaran tentang masyarakat hukum adat.
Penggolongan masyarakat hukum adat oleh Van Vollenhoven dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu secara genealogis dan teritorial. Secara genealogis berarti masyarakat hukum adat terikat dalam hubungan keluarga, suku atau famili. Sedangkan, secara teritorial berarti masyarakat hukum adat terikat dalam suatu wilayah. Vollenhoven membagi empat tipe penggolongan masyarakat hukum adat tersebut, yaitu :
- Golongan pertama, yaitu persekutuan hukum yang berupa genealogis seperti dalam masyarakat hukum adat Mentawai (Uma) dan Dayak.
- Golongan kedua, yaitu persekutuan hukum berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan genealogis seperti nagari di Sumatera Barat.
- Golongan ketiga, yaitu persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan teritorial yang lebih kecil, seperti marga dan dusun di Sumatera Selatan atau kuria dan huta di Tapanuli.
- Golongan keempat, yaitu persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat persekutuan/badan hukum yang sengaja didirikan oleh warganya, seperti desa dengan subak-subak di Bali.
Hak Ulayat
Setelah mengulas masyarakat hukum adat sebagai subyek hak ulayat, maka dalam pembahasan selanjutnya adalah tentang konsep hak ulayat itu sendiri. Secara yuridis, konsep hak ulayat pertama kali diperkenalkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Ternyata, UUPA belum begitu tuntas menjelaskan konsep hak ulayat tersebut. Pasal 3 UUPA dan penjelasannya hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak serupa lainnya adalah hak ulayat yang menurut kenyataannya masih ada. Konsep hak ulayat yang dipakai dalam UUPA adalah apa yang dalam literatur hukum disebut dengan beschikkingsrecht. Artinya, konsep hak ulayat dalam UUPA belum memberikan definisi yuridis yang jelas, namun merujuk pada literatur hukum sebagai beschikkingsrecht.
Beschikkingsrecht sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Van vollenhoven dalam bukunya berjudul "De Indonesier en zijn Grond" yang dikutip dalam Sjahmunir (2006) menyebutkan istilah hak ulayat sebagai beschikkingsrecht. Beschikkingrechts dalam kepustakaan hukum adat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hak yang melekat pada suatu masyarakat hukum adat yang pada dasarnya terarah kepada tanah dalam teritorialnya.
Selain itu, Boedi Harsono (2003) menyebutkan bahwa hak ulayat terdiri atas tiga sifat, yaitu; pertama, sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat. Kepunyaan Bersama ini merupakan bagian dari keyakinan atas karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang dalam masyarakat hukum adat.
Kedua, sifat individual menunjuk pada hak anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang lazim disebut hak milik.
Ketiga, sifat teritorial dan genealogisnya yaitu kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang territorial dalam artian wilayah, seperti desa, marga, nagari, huta dan lain-lain; serta bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogis atau keluarga, seperti suku dan kaum di Minangkabau.
Selanjutnya, Boedi Harsono membagi hak ulayat atas tiga aspek, yaitu: pertama, hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik, kedua, hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat yang bersifat publik,dan ketiga, hak-hak atas tanah individual (hak milik) yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari hak ulayat.
Kemudian, Muhammad Bakri (2007) mempertegas hak ulayat tersebut dalam dua aspek, yaitu; pertama, aspek keperdataan yang berarti mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah Bersama para anggota atau warga masyarakatnya, dan kedua, aspek publik yang berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.
Aspek-aspek tersebut merupakan bentuk hierarki hak penguasaan atas tanah dalam masyarakat hukum adat. Selain itu, anggota masyarakat hukum adat juga dapat leluasa tanpa diharuskan meminta izin untuk mengambil atau memungut hasil hutan, hasil sungai atau rawarawa, berburu dan lain-lain, dengan ukuran hasilnya itu diperuntukkan bagi pemeliharaan kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Berbeda halnya apabila hasil pemungutan tersebut diperdagangkan, maka ia diperlakukan sebagai orang asing dan diharuskan menyerahkan sepersepuluhnya kepada masyarakat hukum adat melalui penguasa adat.
Demikianlah, konsep hak ulayat secara konseptual dapat disimpulkan sebagai  hak yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat hukum adat. Dalam arti, keberadaan hak ulayat bergantung kepada keberadaan masyarakat hukum adat. Hak ulayat merupakan bentuk ikatan socio-magis sekaligus ikatan yuridis atas wilayah masyarakat hukum adat (ulayat) yang meliputi segala hal yang tumbuh dan berkembang di atas wilayah adat. Hak ulayat dalam dimensi haknya terdapat dua aspek, yaitu aspek publik dan aspek privat.
[1] Tulisan ini menggunakan istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat secara bersamaan, sebagai suatu dua istilah yang sepadan, yaitu merujuk pada komunitas-komunitas masyarakat adat.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H