Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hak Ulayat Masyarakat Adat

5 Oktober 2018   12:01 Diperbarui: 5 Oktober 2018   12:18 5379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata, UUPA belum begitu tuntas menjelaskan konsep hak ulayat tersebut. Pasal 3 UUPA dan penjelasannya hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak serupa lainnya adalah hak ulayat yang menurut kenyataannya masih ada. Konsep hak ulayat yang dipakai dalam UUPA adalah apa yang dalam literatur hukum disebut dengan beschikkingsrecht. Artinya, konsep hak ulayat dalam UUPA belum memberikan definisi yuridis yang jelas, namun merujuk pada literatur hukum sebagai beschikkingsrecht.

Beschikkingsrecht sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Van vollenhoven dalam bukunya berjudul "De Indonesier en zijn Grond" yang dikutip dalam Sjahmunir (2006) menyebutkan istilah hak ulayat sebagai beschikkingsrecht. Beschikkingrechts dalam kepustakaan hukum adat Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hak yang melekat pada suatu masyarakat hukum adat yang pada dasarnya terarah kepada tanah dalam teritorialnya.

Selain itu, Boedi Harsono (2003) menyebutkan bahwa hak ulayat terdiri atas tiga sifat, yaitu; pertama, sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat. Kepunyaan Bersama ini merupakan bagian dari keyakinan atas karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang dalam masyarakat hukum adat.

Kedua, sifat individual menunjuk pada hak anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang lazim disebut hak milik.

Ketiga, sifat teritorial dan genealogisnya yaitu kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang territorial dalam artian wilayah, seperti desa, marga, nagari, huta dan lain-lain; serta bisa juga merupakan masyarakat hukum adat genealogis atau keluarga, seperti suku dan kaum di Minangkabau.

Selanjutnya, Boedi Harsono membagi hak ulayat atas tiga aspek, yaitu: pertama, hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik, kedua, hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat yang bersifat publik,dan ketiga, hak-hak atas tanah individual (hak milik) yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari hak ulayat.

Kemudian, Muhammad Bakri (2007) mempertegas hak ulayat tersebut dalam dua aspek, yaitu; pertama, aspek keperdataan yang berarti mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah Bersama para anggota atau warga masyarakatnya, dan kedua, aspek publik yang berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.

Aspek-aspek tersebut merupakan bentuk hierarki hak penguasaan atas tanah dalam masyarakat hukum adat. Selain itu, anggota masyarakat hukum adat juga dapat leluasa tanpa diharuskan meminta izin untuk mengambil atau memungut hasil hutan, hasil sungai atau rawarawa, berburu dan lain-lain, dengan ukuran hasilnya itu diperuntukkan bagi pemeliharaan kebutuhan sendiri dan keluarganya.

Berbeda halnya apabila hasil pemungutan tersebut diperdagangkan, maka ia diperlakukan sebagai orang asing dan diharuskan menyerahkan sepersepuluhnya kepada masyarakat hukum adat melalui penguasa adat.

Demikianlah, konsep hak ulayat secara konseptual dapat disimpulkan sebagai  hak yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat hukum adat. Dalam arti, keberadaan hak ulayat bergantung kepada keberadaan masyarakat hukum adat. Hak ulayat merupakan bentuk ikatan socio-magis sekaligus ikatan yuridis atas wilayah masyarakat hukum adat (ulayat) yang meliputi segala hal yang tumbuh dan berkembang di atas wilayah adat. Hak ulayat dalam dimensi haknya terdapat dua aspek, yaitu aspek publik dan aspek privat.

[1] Tulisan ini menggunakan istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat secara bersamaan, sebagai suatu dua istilah yang sepadan, yaitu merujuk pada komunitas-komunitas masyarakat adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun