Dampak dari pandemi COVID-19 tidak hanya terhadap kesehatan fisik saja, namun juga berdampak terhadap kesehatan jiwa, seperti perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan jarak fisik dan hubungan sosial, serta ketidakpastian sehingga terjadi peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia memiliki potensi gangguan jiwa.
Sementara itu gangguan jiwa saat ini masih menjadi stigma di masyarakat. Stigma adalah pelabelan negatif terhadap sekelompok orang tertentu yang berdampak buruk pada penderita gangguan jiwa. Dampak dari stigma yakni: pertama, citra buruk pada gangguan jiwa dan membuat penyintas gangguan jiwa kehilangan harga diri. Kedua, menghambat penyintas dan keluarga untuk mencari bantuan medis untuk kondisi klinis mereka. Ketiga dan keempat, diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa sehingga mencegah mereka mendapatkan dua kesempatan penting untuk mengejar tujuan hidup mereka, yakni kesempatan kerja dan kesempatan untuk hidup mandiri dan aman. Kelima, stigma terhadap orang dengan penyakit mental telah ditemukan tidak hanya terbatas untuk populasi awam tetapi juga terjadi di kalangan profesional kesehatan seperti psikiater, psikolog, dan perawat yang bekerja dengan orang dengan gangguan mental. Dampak dari stigma pada gangguan jiwa dapat mengakibatkan penyintas gangguan jiwa di pasung. Dan hal ini justru akan berdampak negatif terhadap kesehatan OGDJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), termasuk bunuh diri dan kematian.
Ditambah lagi sampai saat ini sumber daya manusia untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang. Jumlah psikiater pada Mei 2022 hanya 1.221 orang, sehingga didapatkan rasio psikiater di Indonesia masih sangat timpang yakni 1:200.000 penduduk. Rasio ini masih jauh dari standar WHO yang mensyaratkan rasio psikiater dan jumlah penduduk idealnya 1:30.000.
Upaya peningkatan pengetahuan merupakan hal yang penting untuk dilakukan untuk melawan stigma. Hal ini pernah dibuktikan pada penyakit kanker. Pada pertengahan abad ke-20, awalnya penyakit kanker dianggap aib sehingga sering tidak didiskusikan dengan pasien. Pada tahun 1961, hampir 90 persen dokter di rumah sakit AS melaporkan bahwa mereka memilih untuk tidak memberitahu pasien bahwa mereka menderita kanker, karena dapat membahayakan mereka. Pada tahun 1970-an, dengan perkembangan psiko-onkologi, diskusi diagnosis kanker menjadi lebih dapat dilakukan dan diterima masyarakat. Hingga saat ini, praktiknya mulai bervariasi. Dari penyakit kanker dapat dilihat bahwa pengetahuan yang benar mengenai penyakit kanker merupakan hal yang cukup penting. Semakin benar pengetahuan masyarakat terkait kanker, semakin tinggi animo masyarakat untuk ingin memeriksakan diri sedini mungkin terkait kanker.
Begitu pula pengetahuan yang benar mengenai kesehatan jiwa merupakan hal yang cukup penting untuk mengubah keyakinan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Dengan demikian pengetahuan yang benar dapat mengurangi pelabelan terhadap pasien kesehatan jiwa, meningkatkan kesadaran akan gangguan jiwa, hingga mendukung seseorang untuk mencari dan menerima perawatan kesehatan jiwa secara profesional. Sehingga ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dapat pulih bahkan mampu kembali dan memberikan kontribusi ke masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H