Perjalanan perjuangan cintanya kini semakin menjadi. Kasih telah menyelesaikan kuliahnya. Gelar sarjana pun sudah sah melekat di belakang namanya. Hubungan Kasih dan suami tidak lagi jarak jauh. Mereka sudah bersama dalam satu atap yang sama, dapur yang sama. Anak yang siang malam dinanti telah hadir menemani hari.Â
Namun, ada yang lain dengan kepribadian Kasih. Ia kembali harus berjuang. Ia harus melawan kondisi diri yang terkadang menyebabkannya terjebak dalam kemarahan tidak bersebab. Dia merasa dirinya terjebak dalam dorongan kisah masa lalu di masa kecilnya yang entah apa. Sepertinya dia mengalami bad inner child. Sebuah kondisi yang menyebabkan dia kembali ke masa lalu akan kekeliruan pola asuh yang pernah diterima di masa kecilnya.Â
Jebakan itu kembali lagi terjadi. Dia begitu kecewa dengan penolakan suaminya yang tidak bisa membantunya hari ini. Selepas suaminya ke kantor, dia coba berdamai dengan bermain sebentar dengan buah hatinya. Jarum jam pun semakin berputar. Sinar matahari semakin garang. Ia baru teringat bahwa cuciannya belum dijemur, dia juga belum memasak untuk makan siang.Â
Sementara anaknya belum juga mau tidur, si kecil masih merengek-rengek dan kini minta digendong. Kasih merasa jengkel lalu dinaikkan suaranya, "Dik! Tidur!" teriaknya membuat anaknya tercengang sejenak. Tidak lama kemudian, si buah hati kembali merengek.Â
Kasih menyadari kesalahan diri. Dia segera meminta ampun pada Tuhannya, lalu memeluk anaknya. Dia berbisik dalam tangis berucap dalam mendung jiwa berjanji pada diri tidak akan lagi menyakiti sang buah hati. Dia pun berkata kepada anaknya,"Dik, maafkan Bunda, ya! Tolong doakan Bunda agar Bunda mampu menjadi ibu yang baik."
Kasih kembali mengendong si lelaki mungilnya. Menina bobok dan menyenandungkan selawat serta zikir hingga sang anak tertidur dalam dekapannya.Â
Kasih merebahkan sang anak di atas kasur,mencium ubun-ubunya, tidak lupa dia membacakan doa untuk sang buah hati.Â
Kasih membiarkan sang anak tertidur pulas. Dia pun menangis tersedu-sedu mengingat diri betapa berat menjadi ibu peradaban. Terkadang ilmu tidak seimbang dengan praktik di kehidupan nyata. Mengelola dan mengontrol emosi diri adalah lawan kuat dalam peperangan memenangkan diri.Â
Puas melampiaskan penyesalan akan kesalahan diri dalam deraian air mata. Kasih beranjak ke kamar mandi mengambil wudhu dan menunaikan shalat dhuha. Ia coba kembali berbenah diri, mendidik hati dengan mendekat dan mengadu kepada sang pencipta. Ia berharap diberi kemampuan menjadi ibu peradaban dalam mendidik dan mempersiapkan generasi terbaik di masanya kelak.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H