Pria berkulit terang yang menggunakan kopiah tarbus merah itu bergegas turun dari pesawat Dakota Commercial Airlines di Bandara Maguwo, Solo, setelah berhasil lolos dari blokade Belanda sekitar Maret 1947.
Kedatangannya menggemparkan kalangan Republik. Bukan karena dia datang dengan pesawat carteran dari Singapura, atau karena datang berdua dengan seorang perempuan Amerika yang mempunyai nama Bali, Ktut Tantri. Namun lebih karena Muhammad Abdul Mun'im, sang tamu, yang merupakan Konsul Jenderal Mesir untuk India di Bombay itu ingin menemui Presiden Soekarno di Istana.
Kegemparan itu pecah. Sebelum sempat bertemu Soekarno, tersiar kabar di kalangan para pewarta, bahwa tujuan kedatangan Abdul Mun'im ingin menyampaikan pesan-pesan Liga Arab yang mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka.
Usai bertemu Soekarno di Istana, Abdul Mun'im dalam sebuah salat Jumat di Masjid Besar Yogyakarta, berpidato di hadapan jamaah Jumat dan menyampaikan kabar dukungan negara-negara Arab di Timur Tengah itu atas kemerdekaan Indonesia. Jamaah serentak bertakbir, tasbih, tahmid serta memanjatkan syukur.
Belanda jelas meradang, dan mengultimatum para pejuang agar segera membentuk pemerintah peralihan. Namun Kabar dari Mesir kadung membuat semangat rakyat semakin menebal. Harapan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara yang baru seumur jagung dalam masa-masa sulit itu masih tetap menggelora di hati rakyat.
Di jalur diplomatik, jalan terang mulai terlihat dengan kedatangan Abdul Mun'im yang berarti pengakuan atas kedaulatan dunia terhadap kemerdekaan RI. Di jalur perang, semangat tetap tidak kendor. Terlebih Panglima Besar Soedirman menginstruksikan dengan tegas kepada para pejuang agar bersiap menghadapi ultimatum Belanda sampai titik darah penghabisan.
Setelah itu, Abdul Mun'im mendesak Indonesia agar mengirim delegasinya ke Mesir guna menandatangani kerjasama perjanjian antara kedua negara itu. Atas persetujuan Sjharir, berangkatlah delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Haji Agus Salim bersama A.R Baswedan, Rasyidi dan Mr. M Nazir St Pamoentjak ke Kairo, Mesir dengan nama Mission Diplomatique.
Berbagai upaya tetap saja dilakukan Belanda untuk mencegah kemerdekaan Indonesia. Ketika akan menandatangani perjanjian persahabatan antara Indonesia dan Mesir, sekaligus pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka pada 10 Juni 1947, Perdana Menteri Mesir Nokrashi Pasha sempat dicegat Duta Besar Belanda di kantornya di Mesir.
Belanda tidak senang dan protes dengan pemberitaan di berbagai media massa tentang rencana pengakuan Liga Arab yang disponsori Mesir itu. Belanda mengancam negri Raja Farouk dengan mengingatkan Nokrashi Pasha tentang hubungan ekonomi mereka dan janji dukungan Belanda terhadap Mesir dalam masalah Palestina di PBB.
Namun, Nokrashi Pasha dengan tegas mengatakan di hadapan Duta Belanda itu, "menyesal sekali, kami harus menolak protes Belanda. Sebab Mesir selaku negara berdaulat dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir yang tidak dapat diabaikan."
Penandatanganan kesepakatan perjanjian sekaligus pengakuan Mesir dan Liga Arab terhadap kemerdekaan RI itu didukung oleh seluruh elemen di Mesir, termasuk wartawan Kairo, kaum intelek dan partai oposisi, Wafd.