Pembagian ruko antara pemilik dengan pemodal biasanya juga tergantung kesepakatan. Tergantung pada nilai tanah, nilai ruko dan alotnya negosiasi pemilik atau pemodal. “Tapi sebagian lagi saya bangun di atas tanah yang sudah saya beli,” katanya.
Pembangunan model ini sebenarnya cukup rumit. Proses yang dilalui juga cukup panjang. Setelah membeli lahan, pengembang harus menyiapkan dana segar untuk mendirikan ruko. Maka sertifikat tanah akan “disekolahkan” (dijadikan agunan) ke bank. Dana dari bank itulah yang dijadikan material pembuat bangunan. Setelah ruko jadi dan terjual secara cash, biasanya pembeli segera meminta sertifikat tanah. “Nah, di sini sulitnya, untuk mengeluarkan sertifikat dari bank butuh proses,” ucap Fariwati.
Banyak pembeli yang tidak sabar dan mereka terus mendesak pengembang untuk memberikan sertifikat tanah. Padahal bank butuh waktu untuk proses administrasi, walau debitur sudah membayar lunas pinjaman mereka. “Sebenarnya ini proses standar bank, jadi kita harus pandai-pandai meyakinkan pembeli sampai proses itu selesai ” sebutnya.
Pengusaha bermodal yakin, sebutan ini mungkin lebih cocok disematkan ke Fariwati—meski sebenarnya keyakinan harus dimiliki semua orang, terlebih bagi pengusaha yang baru merintis urusannya. Sarjana komputer akuntasi dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta ini awalnya tidak memiliki modal. Namun mimpi jadi pengusaha membawanya pada bisnis properti. “Rasanya senang sekali kalau melihat lahan kosong, saya membayangkan mendirikan ruko di tempat itu,” kata Fariwati yang mengaku usaha itu sebagai bentuk lain kontribusinya dalam membangun Kota Jambi.
Tahun 2008 silam, sembari menjalani usaha distributor obat dan makanan kesehatan dengan sistem multi level marketing (MLM) sejak 2003, dia memberanikan diri menembus bank mengupayakan pinjaman sebagai modal membangun ruko.
Tidak semudah yang dia bayangkan mendapatkan pinjaman dari bank. Saat itu, menurut dia, mayoritas bank masih belum mau memberi layanan kredit bagi perempuan, apalagi usahanya tidak terdaftar atau belum memiliki badan hukum yang resmi. Bank hanya cenderung memberikan pinjaman untuk sektor formal. Padahal saat itu dia sudah menjaminkan aset milik ayahnya.
"Saya datang ke bank apa adanya. Saya katakan, saya butuh uang untuk bisnis membangun ruko, Kebetulan ayah mendukung saya dan bersedia meminjamkan surat-surat asetnya sebagai agunan. Tapi ternyata tidak segampang itu,” ucapnya.
Bank butuh benar-benar yakin untuk menyalurkan kredit kepada debitur. Fariwati perlu bolak-balik meyakinkan bank betapa usahanya dapat berkembang dan agunan yang dijaminkannya adalah legal dan sah. Dua bulan berjalan, bank akhirnya memberikan pinjaman awal sebesar Rp 500 juta. “Waktu itu Bank Panin setuju mengucurkan pinjaman kepada saya. Meski alot dan makan waktu panjang, tapi saya senang sekali,” akunya.
Dua tahun dia bermitra dengan Bank Panin. Bank itulah yang mula-mula membuka jalannya, sehingga kini banyak bank lain yang siap membantu dia. Walau pihak bank tahu dia seorang perempuan, lajang dan masih muda. Namun karena rekam jejak yang bagus—tidak pernah menunggak atau kredit macet—maka kepercayaan bank tumbuh baik pada dirinya.
Tahun 2010 usaha Fariwati semakin berkembang, dan membutuhkan modal yang lebih besar lagi. Saat itulah Bank Internasional Indonesia (BII) Cabang Jambi datang menawarkan kemitraan dengan plafond pinjaman yang jauh lebih tinggi dari Panin. “Ya saya sambar saja, sebab saya memang butuh pinjaman yang jauh lebih besar,” ungkap Fariwati.
Waktu itu BII menawarkan plafond hingga Rp 1,7 milyar, lebih tinggi dari plafond yang diberikan Panin yang hanya Rp 1,2 milyar. Dalam masa empat tahun setelahnya, BII berani menyetujui pinjaman Fariwati hingga Rp 3 Milyar lebih.