Mohon tunggu...
Nurul Fahmy
Nurul Fahmy Mohon Tunggu... -

Selalu banyak mimpi...Berdomisili di Jambi. Suka membaca, tapi sedikit menulis...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jalan Panjang Transformasi Energi

14 Februari 2015   07:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antrean truk pengangkut batubara di SPBU Paal X Jalan Lingkar Barat, Kota Jambi, Selasa lalu (14/10), mengular hingga ke jalan raya. Asap pekat sisa pembakaran energi fosil yang keluar dari belasan knalpot truk, mengepul-ngepul serupa cerobong pabrik. Kondisi ini tentu jelas sangat mengganggu pernafasan.

Padahal, September tahun lalu, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, IGN Wiratmadja Puja di Jakarta, telah mencanangkan proyek percontohan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) bagi 680 unit truk pertambangan dan perkebunan di Kabupaten Bungo, Jambi. Selain bertekad menekan dan mengubah pola konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM), penerapan LGV (Liqueid Gas for Vehicle) ini juga disebut-sebut sangat ramah lingkungan, sehingga mampu mengurangi angka polusi yang menjadi momok bagi kesehatan.

Nyatanya, proyek ini nyaris tidak berjalan. Tidak ada satupun truk pertambangan, termasuk angkutan perkebunan di daerah ini yang menggunakan bahan bakar gas. "Kami tidak bisa pakai BBG, jika pasokan dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas-nya (SPBG) tidak ada," kata Puji Siswanto, Ketua Asosiasi Angkutan Batubara (ASABA) Provinsi Jambi, Selasa (16/10).

Pada dasarnya, kata Puji, mereka siap (pakai BBG), jika infrastruktur dasarnya ada, dan suplai gas di SPBG selalu tersedia. Karenanya, menurut Ketua Organda Jambi ini, perlu kebijakan komprehensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan program ini. Harus ada sinergi antara stakeholder, termasuk pihak swasta dan pengguna. "Kebijakan ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri," ucapnya lagi.

Di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, program penggunaan gas (LGV) bagi 1.470 kapal nelayan yang digagas Kementerian ESDM dan Pemda setempat sejak tahun lalu juga tidak berjalan efektif. Ratusan converter kit yang akan disalurkan pemerintah sebagai stimulus awal bagi nelayan ternyata tidak cocok untuk mesin kapal yang berbasis diesel. "Alat itu tidak dilengkapi sistem pengatur tekanan gas," kata Arsyad, Ketua Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP) Kualatungkal.

Akibatnya mesin kapal jadi memble. Tenaga yang dihasilkan hanya mentok di 6 KV. Sementara kekuatan standar kapal nelayan untuk berlayar ke laut lepas minimal harus 28 KV. Mesin yang lemah membuat daya jelajah kapal menjadi terbatas. Tangkapan nelayan otomatis juga terbatas. Alhasil, penggunaan peranti ini tidak mampu mengurangi biaya operasional, apalagi meningkatkan pendapatan nelayan.

Sekretaris Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kualatungkal, Rezki, mengatakan, penggunaan converter kit hanya cocok untuk mesin kapal berbahan bakar premium. Namun, kapal jenis itu hanya digunakan oleh nelayan pancing atau pemasang lukah (bubu) di rawa-rawa, bukan nelayan yang biasa menangkap ikan di laut lepas. "Nelayan kami kadang melaut hingga perairan Singkep, Kepulauan Riau. Jika mesin lemah, kapal tidak dapat ke sana, dan tangkapan minim," tambah Rezki,

Menurut dia, sejauh ini dari 50 paket converter kit dari ratusan peranti yang dijanjikan pemerintah daerah, Kementrian ESDM dan Petrochina Ltd, hanya 7 yang masih bisa digunakan oleh nelayan bubu dan pancing.

Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanjab Barat, Yon Heri, mengungkapkan, pihaknya terpaksa menghentikan penyaluran converter kit itu kepada para nelayan, karena alat itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi mesin kapal nelayan secara umum. Artinya, program ini baru dapat dilanjutkan jika alat yang sesuai kebutuhan telah ada, dan ditender ulang kepada rekanan.

"Jadi terpaksa dihentikan dulu penyaluran (converter kit)-nya. Sebab jika dipaksakan akan mubazir. Sebab tidak ada mesin yang cocok. Lagi pula SPBG-nya juga belum ada. Sepuluh kapal yang masih pakai alat itu, sementara ini menggunakan bahan bakar gas dari tabung LPG 3 kilogram," ucap Yon.

City Gas Mangkrak

Lain Bungo, lain Tungkal, lain pula di Kota Jambi. Meski infrastruktur jaringan gas kota (city gas) telah ada, namun nilai keekonomian dan serapan pasar atas kuota gas yang tersedia, tidak memadai bagi PT Pertagas Niaga untuk segera mengeksekusi penyaluran gas bagi rumah tangga ini.

General Manajer City Gas, Pertagas Niaga, Diyal Ul Haq, Selasa (8/9) lalu telah mencoba melobi Pemerintah Kota Jambi untuk menambah 3.000 sambungan baru bagi pelanggan rumah tangga di kota itu. Penambahan ini bertujuan agar kuota gas alam yang tersedia dapat terserap, minimal setengahnya. Namun permintaan itu ditolak Walikota Jambi.

Sebenarnya masuk akal jika Walikota Jambi Syarif Fasha menolak permintaan sambungan baru itu. Sebab, 4.000 rumah tangga di kota itu yang telah dipasangi pipa belum juga mendapat gas (gas in). Padahal, instalasi pipa senilai Rp 40 Miliar telah terpasang sejak 2012 lalu oleh Pertagas Niaga, melalui dana penyertaan modal Kementerian ESDM.

"Masyarakat sudah gelisah, mengapa pipa ini belum juga dialiri gas. Padahal sudah dua tahun lalu terpasang. Kami minta pihak terkait segera mengaliri gas ke 4.000 rumah yang ada. Jika sudah gas in, jangankan tiga ribu, 10.000 sambungan baru pun kami sediakan," tegas Syarif Fasha, pekan lalu.

Dikatakan Diyal, kuota gas alam yang diterima Pertagas Niaga dari JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang mencapai 0,5 MMscfd (Million Metric Standard Cubic Feet per Day). Namun dengan sambungan yang hanya mencapai 4.000 titik, volume gas yang terserap nantinya cuma sekitar 0,1 sampai dengan 0,2 MScdf.

Serapan gas alam sebanyak itu dinilai tidak menguntungkan. Tidak memadai untuk menopang ongkos produksi dan distribusi gas alam, yang dialiri dari Sumatera Selatan, dengan panjang pipa mencapai 300 kilometer. Sementara harga jual gas dipatok hanya Rp3.000 sampai Rp 4.000 permeter kubik. "Idealnya, dengan kuota sebanyak itu, sambungan harus mencapai 20.000 pelanggan," kata Diyal.

Kondisi ini berbeda dengan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, yang telah berhasil menerapkan jaringan gas kota. Dengan kuota gas alam yang sama besar dengan Kota Jambi, jumlah pelanggan awal sejak 2013 saja sudah mencapai 4.650 titik. Jumlah pelanggan juga akan ditambah sebanyak 4.000 titik lagi hingga akhir 2014.

Sinergi untuk Transformasi

Anggota DPRD Kota Jambi Junedi Singarimbun, menilai, ada tiga problem mendasar yang mengakibatkan tidak berjalanya progam konversi BBM ke BBG atau BBG ke gas alam di Jambi secara umum. Ada rantai komunikasi/koordinasi yang putus antara stake holder dengan pemerintah daerah, termasuk pasar.

Menilik kasus di Tungkal, kata mantan Ketua Komisi B ini, terlihat bagaimana tidak jalannya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah, konsultan, pemda dan nelayan sendiri. "Bagaimana bisa alat dari sebuah proyek percontohan nasional tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan," kata Junedi, Rabu (15/10).

Seharusnya dalam persoalan ini, lanjutnya, lebih dulu dilakukan penelitian terhadap kebutuhan dan kondisi riil pasar. Dari kebutuhan itu akan diketahui jumlah pasokan (gas) yang harus disediakan. Dari sana barulah dibangun infrastruktur yang sesuai, SPBG atau jaringan pipa dan sebagainya.

Tiga hal tersebut (pasar, suplai gas dan infrastruktur) harus terintegrasi dengan baik. Jika salah satu rangkaian itu terputus atau tidak berjalan, maka alamat program ini akan jalan di tempat, seperti yang kini sedang terjadi di Jambi, kata dia.

"Di Kota Jambi sudah kita rasakan. Serapan pasar tidak memadai dibanding ketersediaan kuota gas yang ada. Dalam hal ini jelas Pertagas Niaga akan merugi. Akibatnya bisa jadi proyek city gas ini mangkrak. Padahal infrastruktur dan suplai gas telah tersedia. Tinggal pasar. Meyakinkan pasar, dalam hal ini warga, dan kesiapan pemerintah daerah," kata Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Jambi ini.

Menurut dia, gas alam pipa memang berbeda dengan LPG. Gas alam ini tidak dapat disimpan dalam waktu lama, berapa kuota yang tersedia harus dihabiskan, sebab kalau tidak gas akan terbuang sia-sia.

Untuk itu, pemerintah daerah, tegas dia, harus mendukung program ini, termasuk menghitung nilai keekonomian bagi pengelola. Jangan sampai pemerintah daerah berpangku-tangan. Jangan mentang-mentang proyek pemerintah pusat, kemudian pemerintah daerah terkesan abai atau cuek. Pemerintah daerah harus proaktif mensosialisasikan program ini. Mendorong dan mensupport dengan melibatkan BUMD yang ada agar bekerjasama dengan pemerintah daerah, seperti pelibatan BUMD di Prabumulih, Sumatera Selatan dan kota-kota lainnya.

Dia juga berharap agar pasokan gas untuk Jambi sepenuhnya diambil dari bumi Jambi sendiri. Meski secara kumulatif hasil migas Jambi, berdasarkan data Dinas ESDM Provinsi Jambi, mengalami penurunan sebanyak 10 persen hingga triwulan ke tiga tahun 2014 ini. Namun dia menilai, produksi gas alam masih cukup jika digunakan untuk kebutuhan daerah ini, tanpa jauh-jauh harus memasokan kuota gas dari Sumatera Selatan.

"Dalam waktu dekat ini kami akan panggil ke dua belah pihak, (Pemerintah Kota Jambi dan PT Pertagas Niaga), duduk bersama, untuk mencari solusi atas persoalan ini. Masalah ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Kita harus bersinergi dan masing-masing harus proaktif. Jangan sampai masyarakat resah. Ini proyek nasional yang harus segera direalisasikan, karena dampak positifnya jelas bagi warga dan negara. Mengapa untuk tujuan baik ini kita berlama-lama menggarapnya," tutup Junedi.

Direktur Ekeskutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jambi, Musri Nauli, mengatakan, jika opsi menggunakan gas alam merupakan sebuah solusi, seharusnya sosialisasi secara massif harus dilakukan, termasuk regulasi yang tegas terkait konversi ini. Pendekatan preventif juga harus terus dilakukan kepada masyarakat agar tidak timbul gejolak dan keresahan termasuk spekulasi dari para spekulan.

Dia juga mendorong penggunaan gas alam yang ada harus lebih diutamakan untuk kebutuhan rakyat, bukan industri. Dan Pertagas Niaga harus didorong untuk menggunakan gas alam dari Jambi sendiri. Sehingga ongkos transortasi gas bisa dialihkan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun