Belakangan ini kasus pelecehan seksual oleh mahasiswa kembali ramai diperbincangkan. Kasus ini mencuat ketika munculnya kronologi di akun Instagram @dear_umycatcallers. Pelakunya merupakan salah seorang mahasiswa yang juga aktivis kampus di UMY. Pelaku tersebut berinisial MKA (OCD). Pelaku diduga telah memperkosa 3 mahasiswi.
Korban tidak segera melapor dikarenakan tidak adanya bukti yang kuat. Padahal disaat korban dalam keadaan “dilecehkan”, jangankan mendokumentasikan, bergerak saja tidak bisa. Terlebih adanya relasi kuasa yang melekat pada MKA (OCD) yang menjadikan korban sebagai pihak inferior atau lebih lemah.
Pemerkosaan merupakan kasus kekerasan seksual serius dan pelakunya harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sayangnya, hingga sekarang masih banyak asumsi masyarakat yang justru menyalahkan korban karena dianggap tidak melawan pelaku. Lebih parahnya, masyarakat juga menganggap korban menikmati hubungan seksual tersebut dengan berbagai pertanyaan seperti “kenapa tidak dilawan?” atau “kenapa kamu diam saja?”. Asumsi tersebut harus diluruskan, karena tidak semua korban dapat melawan saat terjadinya pelecehan.
Masyarakat membayangkan korban akan menjerit, memukul, meronta atau melakukan usaha yang bisa menghentikan pelaku agar tidak mendekati dirinya. Tidak semua korban bisa melawan atau menghindar saat dirinya dilecehkan. Padahal, yang sebenarnya terjadi pada korban yaitu Tonic Immobility.
Tonic immobility (TI) adalah gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban pemerkosaan saat mereka diserang oleh pelaku. Korban hanya diam seolah tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Hasil riset tersebut ditemukan oleh salah satu peneliti asal Swedia, Dr. Anna Moller.
Melansir dari LiveScience, menurut Moller, kelumpuhan sementara yang dialami korban merupakan reaksi defensif tubuh yang bersifat alami dan biasanya timbul di bawah ketakutan yang luar biasa. Tonic Immobility menggambarkan kelumpuhan di luar kendali dan tidak disengaja, dimana seseorang tidak dapat bergerak bahkan tidak bisa berbicara.
Tim peneliti dari Acta Obstetrecia et Gynecologia Scandinavica menekankan, respons tersebut tidak hanya terjadi pada manusia tetapi juga dapat terjadi pada hewan. Hewan akan berpura-pura mati jika ada predator yang menyerang.
Berhubungan dengan Aktivitas Hormon
Menurut Arkansas Coalition Against Sexualt Assault (ACASA), kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu. Salah satunya hormon corticostereoid. Hormon corticostereoid mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki. Hal inilah yang menyebabkan tubuh korban merasa kaku.
Menimbulkan Depresi Akut
Korban yang mengalami TI akan mengalami depresi, jika dibandingkan korban yang tidak mengalami TI. Banyak korban yang tidak sadar bahwa dirinya sedang mengalami Tonic Immobility. Hal itu yang menyebabkan korban menyalahkan dirinya sendiri. Trauma yang menimpa korban dan pandangan masyarakat kepada dirinya membuat korban menutup diri dan tidak berani speak up. Tidak semua korban pelecehan mengalami Tonic Immobility, bahkan ada juga yang berhasil lari dan melawan.