"Notice of Rent Increase" saya tersentak membaca sebuah email dari property manager akhir juni lalu. Bagaimana tidak, dengan pengeluaran yang kian hari kian meningkat akan ditambah pula dengan kenaikan sewa rumah sekitar 30%.
Sudah mencoba nego bahkan minta bantuan Consumer Affair, pada akhirnya angka kenaikan tak turun sepeser pun.Â
Kalau melihat market, harga sewa rumah di sini memang semakin melonjak belakangan. Menurut situs realestate.com.au, median harga sewa rumah atau unit dengan dua kamar di daerah saya adalah 510 AUD seminggu, sementara property dengan tiga kamar median harganya adalah 578 AUD per minggu untuk rumah dan 620 AUD per pekan untuk unit atau apartemen.
Kenaikan harga rumah menjadi pemicu bagi saya untuk berpikir ulang tentang tempat tinggal. Memilih rumah yang saat ini ditempati, alasannya selain dekat dengan sekolah anak yang besar juga karena harganya murah.
Saya jadi menyesal kenapa di awal tidak sekalian saja kontraknya selama tiga tahun karena selama terikat perjanjian kontrak harga sewa tak bisa dinaikkan.Â
Namun konsekuensinya, kita juga tidak bisa pindah. Kerepotan yang dilalui selama dua tahun belakangan yang tertutupi oleh harga rumah yang cukup murah perlahan mulai tersibak. Dua kali naik bis menuju daycare bukan perkara mudah.Â
Drama di jalan seperti si bayi ingin ngetap kartu sendiri tapi amat selow dan bis dikejar waktu sehingga belum sempat duduk rapi namun bis sudah melaju, tak ayal membuat paha ungu berminggu-minggu karena kejedot. Untunglah tuan puteri sudah duluan duduk dengan nyaman.
Drama lainnya adalah saat menunggu bis kedua, si kecil tetiba ingin ke toilet padahal bis sudah di depan mata, membuat harus menunggu bis berikutnya.Â
Belum lagi kalau winter, jam 5 sore sudah gelap, berjalan dari halte ke rumah bersama balita yang berceloteh, "Mommy, I'm scared" sukses membuat emaknya ikutan takut.
Lho, kenapa gak pakai stroller? Di usia yang sedang aktif-aktifnya baby lebih senang eksplor dengan berjalan maupun berlari, memakai stroller malah menambah kerepotan bagi emaknya. Saya jadi tambah sibuk harus dorong stroller kosong plus sigap memperhatikan anak.
Masih banyak drama-drama lainnya.
Singkat cerita, saya sampai di titik "Sepertinya jika tinggal dekat ke kampus dan daycare akan lebih menghemat waktu dan energi". Suami saya sih setuju-setuju saja yang penting perlu dipertimbangkan juga anak yang besar.
Berhubung anak yang besar sudah adaptif dan mandiri, maka saya putuskan untuk mencari rumah yang cukup dekat ke campus dan daycare namun cukup terjangkau ke sekolah anak yang besar (perjalanan tidak lebih dari 30 menit).Â
Perburuan pun di mulai, saya jadi rajin membuka website-website listing rumah sampai-sampai kurang konsentrasi dengan urusan tesis. Berbekal pengalaman dua tahun lalu yang sekali apply langsung gol, saya mulai melamar rumah pertama.
Saat inspeksi rumah, ternyata bukan saya saja yang datang, ada sekitar sepuluh orang yang juga berminat dengan rumah yang sama. Dua tiga hari tak ada kabar, hari ke-5 ada email pemberitahuan "ditolak" membuat saya merasakan "Oh, begini rasanya ditolak".
Quiet room di kampus yang sedianya digunakan oleh mahasiswa untuk berkonsentrasi dengan studynya malah saya pakai untuk menangis. Nangis boleh dong ya, artinya kelenjar air mata plus system saraf dan hormon masih berfungsi.
Bangkit dari tangis, saya mencari rumah berikutnya untuk inspeksi, apply dan ditolak lagi. Padahal saya merasa ada lampu kuning karena dua jam dari aplikasi ada email bahwa pengecekan reference dan segala sesuatunya selesai tinggal menunggu keputusan owner.
Saya sampai bertanya ke agen tersebut bagaimana caranya agar ke depan bisa sukses dalam melamar rumah. Menurut agen, karena yang melamar banyak, lebih dari 20, pada akhirnya ownerlah yang menentukan mana yang akan dipilih. Sungguh sebuah misteri.
Patah hati yang kedua kali rasanya tak sesakit yang pertama. Inspek rumah yang ketiga saya mencoba PDKT kepada agennya (tips dari beberapa teman yang sukses). Agennya sangat ramah dan sepertinya saya dapat lampu hijau.
Saya tidak terlalu suka sebenarnya dengan rumahnya karena lebih sempit dan rumahnya seperti kurang terawat. Hanya saja, dari segi lokasi sangat ideal, tengah-tengah antara kampus dan sekolah anak, plus sangat dekat ke shopping center. Ditambah lagi harga sangat affordable. Bismillah apply saja.Â
Saya coba perkuat dengan meminta kedua supervisor di kampus sebagai reference kalau-kalau agen menghubungi. Kondisi rumah mungkin bisa ditingkatkan pelan-pelan sambil ditinggali, bisa dibersihkan dan minta maintenance ke owner pelan-pelan.
Lagi-lagi, saya tak berjodoh dengan rumah ini. Proses aplikasi rumah ini cukup ketat, bahkan emergency contact pun sampai dihubungi, ditanya kesediaan.Â
Sebagian teman berpendapat mungkin penyebabnya karena saya menuliskan ada anak kecil sebagai calon occupant. Kabarnya ada beberapa owner yang kurang suka dengan anak kecil karena khawatir properti mereka rusak.
Meski beberapa teman memilih tidak menuliskan anak, saya lebih memilih menuliskan karena tak mau repot nanti saat pemeriksaan rutin dari property manager saya harus menyembunyikan barang-barang anak dan rasanya lebih tenang saja.
"Ditolak tiga kali? Tenang Mbak belum belasan" ucap seorang kawan karena ternyata memang ada yang sampai belasan kali melamar baru sukses.
Ya, perjalanan kuliah di Australia ternyata tak melulu soal kuliah secara akademik, namun juga kuliah di kampus kehidupan. Rumah yang keempat, waktu inspeksinya bersamaan dengan rumah yang ketiga. Karena suami harus bekerja dan saya tidak bisa memfotokopi diri, Alhamdulillah ada teman yang baik hati membantu saya untuk inspeksi. Tanpa inspeksi biasanya kita tidak bisa apply rumah.
Link untuk apply rumah akan dikirim via SMS dan email setelah inspeksi. Supaya memang penyewa melamar rumah dengan kesadaran penuh. Jadi ingat "nadhor" yang disunahkan oleh Rasulullah saw. saat seseorang akan meminang seorang perempuan hehe.
Berbekal foto-foto yang dikirimkan Desy saat inspeksi, sekilas melintas ke area rumah yang dituju dan juga gambaran dari unit-unit sebelahnya yang saya coba cek di website, saya memantapkan hati melamar rumah ke-4 dengan dokumen dan reference persis sama dengan rumah ketiga. Satu dua hari tak ada kabar, hari ketiga tetiba ada email pemberitahuan bahwa ada jadwal inspeksi lagi.Â
"Lho kok buka inspeksi lagi, memangnya dari sekian banyak yang melamar enggak ada yang lolos termasuk saya?" tanya saya dalam hati.
Segera saya kirim email untuk menanyakan bagaimana progres aplikasi saya, haruskah saya inspeksi kembali dan adakah langkah yang harus saya lakukan. Email saya dibalas dengan autoreply bahwa dia sedang tidak di kantor dan akan kembali esok hari.Â
Keesokan harinya sekitar jam 10 pagi saya coba cek email karena jam kantor biasanya jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Hingga jam 12 siang tak ada email balasan, saya membuat plan untuk daftar inspeksi rumah tersebut lagi plus satu rumah lainnya beberapa hari yang akan datang.
Saya bahkan sudah cek google map untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh dua rumah yang jaraknya tidak berjauhan agar saya bisa datang tepat waktu, karena waktu inspeksi biasanya hanya 15 menit dan kalau kelewat ya sudah berarti harus menunggu jadwal berikutnya yang belum tentu ada.
Hopeless dengan rumah keempat, saya berpikir ulang, mungkin saya harus istirahat sejenak dari perburuan mencari rumah dan mencari lagi bulan depan.
Toh, saat ini masih ada tempat tinggal dengan month to month basis. Saya hanya harus memberi tahu agen 28 hari sebelum jika saya akan pindah. Sehingga mereka dapat segera meningklankan rumah.
Usai sholat dzuhur di parents room saya masih mengobrol seputar pencarian rumah bersama seorang kawan. Lega rasanya memiliki banyak teman tempat bercerita.
Saat mengobrol HP saya berdering, panggilan masuk dari nomor tak dikenal namun tak terangkat. Selama ini saya sering mengabaikan nomor tak dikenal sebab banyak telpon scam yang masuk.
Namun belakangan, saya selalu menelpon balik sekiranya ada telpon yang masuk. Siapa tahu berkaitan dengan rumah.Â
Benar saja, saat ditelpon kembali, ternyata yang menelpon adalah agen. Ia mengatakan bahwa kantor mereka mengelola beberapa rumah yang tenantnya orang Indonesia dan owners suka dengan orang Indonesia, kalau saya setuju dengan tanggal yang ditawarkan (berbeda dari tanggal ajuan saya) maka kemungkinan besar saya diterima. Tentu saja saya setuju.
Sisa beberapa minggu di rumah lama dan artinya saya harus membayar sewa double rumah lama dan baru, anggap saja sebuah perjuangan demi penghematan waktu dan energi.
Tak lama kemudian agen menelpon lagi bahwa owner setuju untuk menerima aplikasi saya. Saya bahkan tak perlu menambahkan ekstra yang saya tulis di penawaran.
Di antara tips dari teman yang sukses adalah menawar harga yang sedikit lebih tinggi dari harga yang dipatok owner. Meski ada juga teman yang sukses padahal menawar dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dipatok.Â
Dalam kasus saya, owner tidak mau menerima tambahan harga yang saya ajukan, dia sudah cukup senang dengan harga awal, hanya saja dia berpesan untuk merawat rumahnya dengan baik.
Alhamdulillah, kesan positif owner terhadap orang Indonesia dalam hal ini memengaruhi penerimaan aplikasi saya. Love you teman-teman Indonesiaku.
Di luar negeri, keberadaan kita ternyata tak hanya merepresentasikan diri secara pribadi namun juga menunjukkan identitas kita sebagai sebuah bangsa. Semoga kita bisa menjaganya.
Saya kemudian teringat dengan kebaikan Mas Ari (yang sampai saat ini belum pernah bertemu kembali).
Saat inspeksi rumah untuk pertama kalinya saat tiba di Australia dan saya bilang bahwa saya sangat membutuhkan tempat tinggal karena waktu saya dan keluarga di AirBnB akan segera habis, ia mengatakan, "Rul, kalau kamu suka, habis inspeksi ini segera apply rumah ini. Rumah ini cukup nyaman, tapi saya gak akan apply, saya masih ada tempat tinggal. Kamu apply ya!". Kalau saat itu dia apply, secara kasat mata dia lebih dari saya. Rental history sudah punya, income pun lebih meyakinkan karena di sini dia bekerja.
Intinya, memperoleh tempat tinggal di sini bukan saja karena upaya mempersiapkan dokumen seperti passport, SIM, slip gaji, LoG beasiswa, tenant legger, bukti saldo bank dan sebagainya namun ada andil banyak kebaikan dari teman-teman kita.
Selain tentu saja kasih sayang Allah yang Maha luas tak terbatas meski hati dan pikiran kita seringkali penuh keterbatasan untuk menerima dan memaknainya.
Terima kasih teman-teman atas bantuannya untuk inspeksi, bersedia jadi referee, berbagi dan bercerita seputar perburuan rumah serta sabar mendengar keluh-kesah.
Terimakasih atas sedekah waktunya. Saya tahu kalian sangat sibuk dan setiap detik waktu kalian sangat berharga. Semoga Allah membalas dengan kebaikan berlipat ganda.
Terima kasih teman-teman, telah menjadi jalan terkabulnya do'a istikharah saya, " Ya Allah, jika hal ini baik untukku, maka mudahkanlah bagiku dan berkahilah. Namun jika buruk bagiku, maka jauhkanlan, gantikan dengan yang lebih baik dalam pandanganMu dan karuaniakan kelapangan hati untuk menerimanya"
Lagi dan lagi, I love you all my friends.
Melbourne, 18 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H