Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suka Duka Mencari Kontrakan di Australia

18 Juli 2024   04:04 Diperbarui: 18 Juli 2024   06:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Freepik.com

"Notice of Rent Increase" saya tersentak membaca sebuah email dari property manager akhir juni lalu. Bagaimana tidak, dengan pengeluaran yang kian hari kian meningkat akan ditambah pula dengan kenaikan sewa rumah sekitar 30%. Sudah mencoba nego bahkan minta bantuan Consumer Affair, pada akhirnya angka kenaikan tak turun sepeser pun. 

Kalau melihat market, harga sewa rumah di sini memang semakin melonjak belakangan. Menurut situs realestate.com.au, median harga sewa rumah atau unit dengan dua kamar di daerah saya adalah 510 AUD seminggu, sementara property dengan tiga kamar median harganya adalah 578 AUD per minggu untuk rumah dan 620 AUD per pekan untuk unit atau apartemen.

Kenaikan harga rumah menjadi pemicu bagi saya untuk berpikir ulang tentang tempat tinggal. Memilih rumah yang saat ini ditempati, alasannya selain dekat dengan sekolah anak yang besar juga karena harganya murah. Saya jadi menyesal kenapa di awal tidak sekalian saja kontraknya selama tiga tahun karena selama terikat perjanjian kontrak harga sewa tak bisa dinaikkan. Namun konsekuensinya, kita juga tidak bisa pindah. Kerepotan yang dilalui selama dua tahun belakangan yang tertutupi oleh harga rumah yang cukup murah perlahan mulai tersibak. Dua kali naik bis menuju daycare bukan perkara mudah. 

Drama di jalan seperti si bayi ingin ngetap kartu sendiri tapi amat selow dan bis dikejar waktu sehingga belum sempat duduk rapi namun bis sudah melaju, tak ayal membuat paha ungu berminggu-minggu karena kejedot. Untunglah tuan puteri sudah duluan duduk dengan nyaman. Drama lainnya adalah saat menunggu bis kedua, si kecil tetiba ingin ke toilet padahal bis sudah di depan mata, membuat harus menunggu bis berikutnya. 

Belum lagi kalau winter, jam 5 sore sudah gelap, berjalan dari halte ke rumah bersama balita yang berceloteh, "Mommy, I'm scared" sukses membuat emaknya ikutan takut. Lho, kenapa gak pakai stroller? Di usia yang sedang aktif-aktifnya baby lebih senang eksplor dengan berjalan maupun berlari, memakai stroller malah menambah kerepotan bagi emaknya. Saya jadi tambah sibuk harus dorong stroller kosong plus sigap memperhatikan anak.

Masih banyak drama-drama lainnya. Singkat cerita, saya sampai di titik "Sepertinya jika tinggal dekat ke kampus dan daycare akan lebih menghemat waktu dan energi". Suami saya sih setuju-setuju saja  yang penting perlu dipertimbangkan juga anak yang besar. Berhubung anak yang besar sudah adaptif dan mandiri, maka saya putuskan untuk mencari rumah yang cukup dekat ke campus dan daycare namun cukup terjangkau ke sekolah anak yang besar (perjalanan tidak lebih dari 30 menit). 

Perburuan pun di mulai, saya jadi rajin membuka website-website listing rumah sampai-sampai kurang konsentrasi dengan urusan tesis. Berbekal pengalaman dua tahun lalu yang sekali apply langsung gol, saya mulai melamar rumah pertama. Saat inspeksi rumah, ternyata bukan saya saja yang datang, ada sekitar sepuluh orang yang juga berminat dengan rumah yang sama. Dua tiga hari tak ada kabar, hari ke-5 ada email pemberitahuan "ditolak" membuat saya merasakan "Oh, begini rasanya ditolak". Quiet room di kampus yang sedianya digunakan oleh mahasiswa untuk berkonsentrasi dengan studynya malah saya pakai untuk menangis. Nangis boleh dong ya, artinya kelenjar air mata plus system saraf dan hormon masih berfungsi.

Bangkit dari tangis, saya mencari rumah berikutnya untuk inspeksi, apply dan ditolak lagi. Padahal saya merasa ada lampu kuning karena dua jam dari aplikasi ada email bahwa pengecekan reference dan segala sesuatunya selesai tinggal menunggu keputusan owner. Saya sampai bertanya ke agen tersebut bagaimana caranya agar ke depan bisa sukses dalam melamar rumah. Menurut agen, karena yang melamar banyak, lebih dari 20, pada akhirnya ownerlah yang menentukan mana yang akan dipilih. Sungguh sebuah misteri.

Patah hati yang kedua kali rasanya tak sesakit yang pertama. Inspek rumah yang ketiga saya mencoba PDKT kepada agennya (tips dari beberapa teman yang sukses). Agennya sangat ramah dan sepertinya saya dapat lampu hijau. Saya tidak terlalu suka sebenarnya dengan rumahnya karena lebih sempit dan rumahnya seperti kurang terawat. Hanya saja, dari segi lokasi sangat ideal, tengah-tengah antara kampus dan sekolah anak, plus sangat dekat ke shopping center. Ditambah lagi harga sangat affordable. Bismillah apply saja. 

Saya coba perkuat dengan meminta kedua supervisor di kampus sebagai reference kalau-kalau agen menghubungi. Kondisi rumah mungkin bisa ditingkatkan pelan-pelan sambil ditinggali, bisa dibersihkan dan minta maintenance ke owner pelan-pelan. Lagi-lagi, saya tak berjodoh dengan rumah ini. Proses aplikasi rumah ini cukup ketat, bahkan emergency contact pun sampai dihubungi, ditanya kesediaan. 

Sebagian teman berpendapat mungkin penyebabnya karena saya menuliskan ada anak kecil sebagai calon occupant. Kabarnya ada beberapa owner yang kurang suka dengan anak kecil karena khawatir properti mereka rusak. Meski beberapa teman memilih tidak menuliskan anak, saya lebih memilih menuliskan karena tak mau repot nanti saat pemerikasaan rutin dari property manager saya harus menyembunyikan barang-barang anak dan rasanya lebih tenang saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun