Saya berjalan menyusuri gudang seluas sekitar lima ratus meter persegi. Isinya berbagai perabotan mulai dari meja, kursi hingga lemari hias. Saya menilik sebuah sofa yang rasa-rasanya akan cocok dengan kami sekeluarga yang mungil-mungil.Â
Kebanyakan sofa yang ada ukurannya besar. Mungkin disesuaikan dengan orang Australia yang kebanyakan berperawakan tinggi besar. Sesekali saya menghampiri Jared sang pemilik toko untuk menanyakan harga.Â
Sofa yang saya incar ternyata harganya hanya AU$20 saja. Kondisinya masih sangat bagus. Tinggal dibersihkan saja di rumah. Harga sofanya memang murah tapi biaya kirimnya aduhai,seharga AU$80 padahal hanya sepuluh menit dari toko tersebut menuju rumah. Â
Jared memiliki rekanan jasa angkut tapi katanya hanya mengantarkan hingga depan rumah. Tidak bisa masuk rumah membantu mengangkut barang.Â
Duh, jadi ingat toko meubel dekat rumah kami di tanah air. Belanja barang satu, diantar dua orang pegawai toko. Bisa minta dimasukkan ke dalam rumah pula. Tinggal dikasih tip, beres deh.
Sayang dengan ongkir yang jauh melebihi harga barang, sekalian saja saya mencari barang-barang lainnya asal muat di kendaraan angkut. Salah seorang pegawai Jared menyodorkan sticky note dan pulpen.Â
Setiap konsumen diminta menandai barang yang akan diambil dengan sticky note bertuliskan nama. Toko seluas ratusan meter itu hanya dioperasikan Jared bersama dua orang pegawainya. Jared akan menghitung harga yang harus dibayar berdasarkan tanda pada sticky notes.Â
Sementara dua orang pegawainya mengumpulkan barang berdasarkan nama konsumen. Tak ada kegiatan gotong menggotong.Â
Seluruh proses pemindahan barang dilakukan dengan bantuan alat. Toko yang hanya buka empat jam setiap hari minggu itu ramai dikunjungi pengunjung.
Total biaya yang harus saya keluarkan saat itu adalah AU$170. Sembilan puluh dollar untuk barang, delapan puluh dollar untuk biaya pengiriman.Â
Sofa, dua set meja belajar plus kursi, satu set kursi meja santai, meja TV dan rak sepatu menjadi penghuni rumah kami yang kosong melompong.
Selain furniture dari toko barang bekas, beberapa perabot rumah didapat dari hasil mulung dekat rumah. Ya, meja makan dan playmat anak kami dapat dari hasil mulung. Berhemat sekaligus menyelamatkan lingkungan juga kan?
Selain dari toko barang bekas dan memungut di jalan, perabot rumah lainnya dibeli second juga dari marketplace. Hanya Kasur saja yang kami beli dalam kondisi baru di IKEA saat kami tiba di rumah kontrakan.Â
Kulkas dua pintu merek Simpson berkapasitas 420 liter dengan energy rating bintang 4 kami beli dengan harga AU$120 sudah termasuk ongkir. Penjualnya bahkan sampai mengantarkannya ke dapur.Â
Kalau beli baru bisa lebih dari AU$1.000. Mesin cuci juga dibeli second lewat marketplace. LG front loading kapasitas 7kg dibanderol AU$330 sudah termasuk instalasi.Â
Selain itu, sang penjual memberi garansi tiga bulan. Alhamdulillah sudah lebih dari tiga bulan masih aman. Semoga saja tetap aman hingga kami pulang.Â
Soal garansi ini cukup lucu. Tak ada surat khusus. Namanya juga barang bekas! Sang penjual hanya mengirimkan SMS "LG Washing Machine with 3 months warranty".
Oya, perabotan bekas lain seperti teko air, cobek, gantungan baju didapat dari warisan. Para pelajar yang akan pulang biasanya membuat pengumuman di grup tentang barang-barang yang akan diwariskan atau akan dijual.
Berhubung hidup di Australia ini sementara, mengisi rumah dengan perabotan bekas adalah langkah paling hemat sekaligus ramah lingkungan. Caranya itu tadi bisa lewat memungut di jalan, membeli di toko second, membeli lewat marketplace atau menerima warisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H