Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pengalaman Masuk UGD di Australia

21 Juli 2022   10:35 Diperbarui: 21 Juli 2022   10:39 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari tiba di Australia, tetiba bayi 10 bulanku demam hingga di atas 38 derajat Celcius. Panik, karena sebelumnya tak pernah demam setinggi itu, di tanah rantau yang belum dikenal pula. Atas saran seorang teman di sebuah grup WA, akhirnya kuberi Nurofen, sebuah merek penurun panas yang dibeli di Chemist terdekat. Alhamdulillah demamnya mulai turun. 

Dua hari kemudian muncul ruam di sekujur tubuhnya tak terkecuali wajah. Aku menduga mungkin dia terkena campak karena memang belum sempat vaksin campak sebelum berangkat. Kuputuskan untuk berkonsultasi dengan dokter anak melalui halodoc karena sulit mencari dokter saat weekend. Menurut dokter di Halodoc ada kemungkinan campak namun untuk menegakkan diagnosis harus dilakukan tes darah.

Senin sore sesuai janji yang sudah dibuat, kubawa gadis kecilku ke GP (General Practitoner) terdekat. Dokter yang kudatangi menyambut dengan ramah dan memeriksa dengan teliti. Kesimpulannya sama dengan dokter anak Halodoc. Ada kemungkinan campak namun harus dilakukan cek darah untuk memastikan. Dokter tersebut sampai mengeprintkan ihwal penyakit campak untuk aku pelajari di rumah. Kalau memang positif campak, harus lapor ke Departemen Kesehatan katanya.

Usai membayar gap fee sekitar 20 AUD aku bergegas menuju Children Hospital yang lokasinya tak jauh dari GP tadi. Biaya konsultasi dokter rata-rata 60 AUD per pertemuan kurang lebih 10 menit, jumlah yang dicover asuransi adalah sekitar 39 AUD, sehingga kita harus membayar selisihnya.

Australia baru saja buka border namun protokol pencegahan Covid masih begitu ketat terlebih di RS. Hanya diizinkan satu orang untuk mengantar bayi sehingga suami terpaksa menunggu di luar. Seorang petugas pria menghampiriku saat aku tiba di pintu Children Hospital. Dia menanyakan apa tujuanku. Tentu saja kujelaskan untuk melakukan tes darah sesuai rekomendasi GP. "What? Are you serious bringing your child with mumps here? It's contagious! You made another children in danger!" nada suaranya yang tinggi membuat aku merasa dimarahi. Atau mungkin aku memang sedang sangat sensitif. Sebegitu menakutkankah penyakit campak di sini? Ingin rasanya aku menangis meraung-raung. Namun kusimpan jeritan dalam hati, "Rabbana wala tuhammilna mala thoqota lana bih, Duhai Rabku, jangan Kau timpakan kepadaku ujian yang tak sanggup aku memikulnya".

Dengan suara parau seperti orang linglung aku bertanya kepada petugas ke mana sebaiknya aku membawa anakku. Petugas tersebut menelpon seseorang kemudian menganjurkanku untuk membawa bayiku ke UGD. "Sorry!" ucapnya lirih.

Gerimis menemani langkah kakiku. Aku tak boleh menangis, bukankah rintik hujan telah mewakili sedu sedanku? Bimbang antara harus membawa bayi ke UGD atau pulang saja. Cukup bertawakkal saja, semoga penyakitnya sembuh sendiri. Bayi-bayi di kampungku yang terkena campak juga biasanya sembuh sendiri. Tapi bagaimana kalau GP nanti menelpon menanyakan hasil tes darah? Bagaimana kalau Departemen Kesehatan melacak? Bagaimana kalau anakku demam lagi? Berbagai pertanyaan berkeliling seperti komedi putar di kepala. Hei, tawakkal itu bukan diam menunggu keajaiban namun terus berusaha maksimal sambil berharap kepada Yang Maha Segala.

Lokasi UGD tak jauh dari Children Hospital. Aku mengantri di kursi yang disediakan. Sambil melihat sekeliling, aku berusaha mencerna arti emergency. Tak satu pun pasien yang sedang mengantri ini dalam kondisi darurat seperti terluka parah, sulit berjalan, sulit bernafas atau apalah. Di sampingku, seorang ibu membawa anaknya yang sedikit memar di dahi karena kejedot di sekolah katanya. Oalah, di kampungku memar kayak gitu tinggal dibalur beras kencur!

Setelah menanyakan beberapa pertanyaan dasar seperti lahir normal atau tidak, alergi dan beberapa gejala lainnya, suster memasangkan suatu alat yang berisi chip di kaki anakku. Aku kemudian masuk ke ruang pemeriksaan emergency anak dan diminta nomor polis asuransi serta tanda tangan persetujuan membayar biaya pemeriksaan sekitar 545 AUD.

Aku bersama bayiku ditempatkan di sebuah ruang isolasi, setiap petugas yang masuk akan memakai PPE/APD saat masuk ruangan dan melepas serta membuangnya ke tong sampah khusus saat keluar. Dokter dan suster bergantian memeriksa setiap beberapa interval waktu. Aku sampai lupa berapa jam berada di ruangan tersebut. HP, satu-satunya barang yang kubawa, hampir habis baterainya. Duh, bagaimana kalau aku harus menginap di rumah sakit? Lagi, kulantunkan Al-Baqarah 286 dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun