Mohon tunggu...
nurul
nurul Mohon Tunggu... -

bagiku ketika terbangun di pagi hari, berpikir untuk hak-hak istimewa yang didapatkan dengan hidup, bernapas, berpikir, menikmati, dan mencintai..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengertian Pendidikan dan Hakikatnya

7 Juni 2016   13:14 Diperbarui: 7 Juni 2016   13:22 6145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang

Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, kepada masyarakat serta alam sekitarnya.

Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah.

Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi. Pertama pendidikan dari sudut pandangan masyrakat dimana pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda yang bertujuan agar hidup masyarakat tetap berlanjut, atau dengan kata lain agar suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang senantiasa tersalurkan dari generasi ke generasi dan senantiasa terpelihara dan tetap eksis dari zaman ke zaman. Kedua pendidikan dari sudut pandang individu dimana pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri setiap individu sebab individu bagaikan lautan yang penuh dengan keindahan yang tidak tampak, itu dikarenakan terpendam di dasar laut yang paling dalam. Dalam diri setiap manusia memiliki berbagai bakat dan kemampuan yang apabila dapat dipergunakan dengan baik, maka akan berubah menjadi intan dan permata yang keindahannya dapat dinikmati oleh banyak orang dengan kata lain bahwa setiap individu yang terdidik akan bermanfaat bagi manusia lainnya.[1]

  • Rumusan Masalah
  • Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
  • Bagaiman pengertian dan hakikat pendidikan?
  • Bagaimana hadits-hadits yang menjelaskan pengertian dan hakikat pendidikan
  • Tujuan
  • Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
  • Untuk mengetahui pengertian dan hakikat pendidikan
  • Untuk mengetahui hadits-hadits yang menjelaskan pengertian dan hakikat pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Hakikat Pendidikan

2.1.1 Pengertian Pendidikan

   Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata didik, lalu kata itu mendapat awalan “me” sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberikan latihan. Sedangkan secara terminologis mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tujuan ada yang melihat arti pendidikan dari kepentingan dan fungsi yang diembannya, atau ada yang melihat dari segi proses ataupun ada yang melihat dari aspek yang terkandung di dalamnya.

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “Erzichung” yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Sedangkan menurut Herbart pendidikan merupakan pembentukan peserta didik kepada yang diinginkan sipendidik yang diistilahkan dengan Educere. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dalam upaya perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, pendidikan berusaha keras demi mencapai tujuan yang diharapkan tidak lain adalah mengharapkan munculnya manusia atau tumbuhnya manusia yang mapan dari segi mental dan spiritual dan berkembangnya segi rohani serta jasmani sehingga menjadi manusia paripurna. Dalam memberikan bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan cuma-cuma terhadap orang yang benar-benar membutuhkan, pendidikan tidak diberikan begitu saja akan tetapi pendidikan mempunyai komponen-komponen tertentu seperti adanya tujuan, cara untuk menyampaikan kandungan itu.

Sedangkan pengertian pendidikan dalam pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada Al-Tarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga istilah tersebut yang populer di gunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim dan Al-Ta'dib jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[2]

Istilah Al-Tarbiyah berasal dari kata Rab. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau ekstiensinnya. pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا ً

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24)

Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata al-tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah. Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61:

قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَة ٌ وَلَكِنِّي رَسُول ٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan semesta alam.”

Proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang di berikan Allah sebagai "pendidik" seluruh ciptaan Nya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandungkan dalam Al-Tarbiyah, terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu:

    • Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh)
    • Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
    • Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
  •                Melaksanakan pendidikan secara bertahap.[3]

Dalam kata Al-Tarbiyah yang memiliki arti pengasuh, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, akan tetapi juga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah;

  • Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.[4]
    • Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia
  •  Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).[5]
    • Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam

Istilah Al-Ta'lim adalah telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding Al-Tarbiyah mupun Al Ta'dib. Misalnya mengartikan Al-Ta`lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuantertentu. melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah dan annafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima alhikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui.[6]

Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَاؤُلاَء إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ

Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”

قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Artinya: “ Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Pendidikan diistilahkan dengan  ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba” . Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah contoh teladan bagi kamu sekalian.[7]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة ٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab, 21)

Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak. Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik.[8]

Istilah Al-Ta'dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan pada diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.[9]

Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis  (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.

2.1.2 Hakikat Pendidikan

            Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :

Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;

Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;

Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;

Pendidikan berlangsung seumur hidup; Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.

Selain itu  hakekat pendidikan juga mengarah pada asas-asas seperti :[10]

Asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik-nonfisik: emosi intelektual; kognitif-afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang-hangat-kekeluargaan-terbuka-objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.

Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka, melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.

Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).

Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.

Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan

Jadi pada intinya, Hakikat Pendidikan:  mendidik manusia menjadi manusia sehinggah hakekat atau inti dari pendidikan tidak akan terlepas dari hakekat manusia, sebab urusan utama pendidikan adalah manusia. Wawasan yang dianut oleh pendidik tentang manusia akan mempengaruhi strategi atau metode yang digunakan dalam melaksanakan tugasnya, disamping konsep pendidikan yang dianut.

Ada 3 pengerian hakikat pendidikan di dalam islam yaitu:[11]

Ta’lim : Pembinaan/Pengarahan (Ilmu Pengetahuan)

Tarbiyah : Pengajaran

Ta’dib : Pembinaan/Pengarahan (moral dan esetika)

Pendidikan menurut islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung didalam ketiga istilah tersebut. Namun demikian, ketiga istilah tersebut sebenarnya memberi kesan bahwa antara satu dan yang lainnya berbeda. Beda istilah ta’lim mengesankan memberikan proses pemberian bekal pengetahuan. Sedangkan istilah tarbiyah, mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental.sementara istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental, sedangkan sitilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.

2.2Hadits-Hadits Pendidikan

1. Hakikat Pendidikan

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ:كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ أَتَيْتُكَ مِنْ الْمَدِينَةِ مَدِينَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَمَا جَاءَ بِكَ تِجَارَةٌ ؟ قَالَ: لَا قَالَ: وَلَا جَاءَ بِكَ غَيْرُهُ ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّة. رواه ابن ماجه

Artinya:

“Telah disampaikan kepada kami oleh Nasr bin ‘Aly al-Jahdlamy, Telah disampaikan kepada kami oleh ‘Abd Allah bin Dawud, dari ‘Asim bin Raja’ bin Haywah, dari Dawud bin Jamil, dari Kathir bin Qays, dia berkata suatu ketika aku duduk bersama Abu al-Darda’ di Masjid Damaskus, Sesorang datang kepadanya dan berkata: ‘wahai Abu al-Darda’ aku datang kepadamu dari Madinah kota Nabi Saw untuk (mendapatkan) sebuah hadis yang kamu dengarkan dari Rasulullah Saw’, Abu al-Darada’ berkata : Jadi kamu datang bukan untuk berdagang? Orang itu menjawab: Bukan, Abu al-Darda berkata: dan bukan pula selain itu ?, orang itu menjawab: bukan, Abu al-Darda’ berkata: Sesungguhnya kau pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:Barangsiapa yang meniti jalan untuk mendapatkan ilmu, Allah akan memudahan baginya jalan menuju surga. Hadits riwayat Ibnu Majah[12]

Asbabul Wurud

            Dawud bin Jamil, dari Kathir bin Qays, dia berkata suatu ketika aku duduk bersama Abu al-Darda’ di Masjid Damaskus, Sesorang datang kepadanya dan berkata: ‘wahai Abu al-Darda’ aku datang kepadamu dari Madinah kota Nabi Saw untuk (mendapatkan) sebuah hadis yang kamu dengarkan dari Rasulullah Saw’, Abu al-Darada’ berkata : Jadi kamu datang bukan untuk berdagang? Orang itu menjawab: Bukan, Abu al-Darda berkata: dan bukan pula selain itu ?, orang itu menjawab: bukan, kemudian Abu al-Darda menyampaikan hadits Rasulullah SAW

Analisis atau Keterangan Hadits

Hadis yang dikaji dalam makalah ini merupakan salah satu diantara sekian banyak hadis Rasulullah Saw. baik dalam bentuk qawliyyah ,fi’liyyah,maupun taqririyyahdimana beliau Saw sebagai seorang yang ummy(buta baca tulis) memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu dan pendidikan. Beliau mengangkat derajat dan sangat memuliakan para pemilik ilmu, kemudian beliau menerapkan nilai-nilai etika yang harus dipedomani oleh orang yang berilmu. Ini menunjukkan begaimana sunnah Rasulullah saw telah terlebih dahulu menciptakan kaidah paling akurat dan nilai-nilai pendidikan paling agung, yang kebanyakan manusia bahkan dari alangan kaum muslimin sendiri beranggapan bahwa nilai-nilai pendidikan itu adalah hasil ciptaan alam modern yang dalam istilah Nashr Hamid Abu Zaid "intaj al-tsaqafy" yang tidak diketahui kecuali olehBarat.[13]

Pada hadis tersebut terkandung anjuran dan pahala yang sangat besar bagi mereka yang meniti jalan untuk mencari ilmu melalui berbagai media pendidikan, bahkan Rasulullah Saw memberikan garansi kemudahan mencapai surga bagi mereka yang meniti jalan untuk mencari ilmu.

Perintah meniti jalan-jalan pendidikan untuk mendapat ilmu juga disinggung oleh al-Qur’an salah satunya adalah firman Allah Swt surat At Taubah ayat 122:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya:

 “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[14]

Pada ayat di atas Allah Swt memberikan penjelasan secara eksplisit tentang tujuan pendidikan Islam yakni agar dapat mengajarkan kepada kelompok masyarakat tempat mereka hidup dan bersosialisasi, nilai tujuan tersebut agar masyarakat dapat menjaga diri mereka baik secara individual maupun kelompok.

Tujuan pendidikan secara filosofis berdasarkan pemahaman dari ayat di atas maupun hadis Rasulullah Saw yang sedang dikaji memberikan penjelaskan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang disempurnakan dengan akal oleh Allah Swt yang merupakan potensi dasar manusia, dengan potensi dasar tersebut manusia diharuskan untuk menuntut ilmu melalui proses pendidikan. Oleh karena itu tujuan meninti jalan ilmu pada hakikatnya adalah agar manusia dapat lebih mengenal dirinya dalam artian memanusiakan manusia, agar ia benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi.[15]

Nilai penting lainnya dari memahami hadis di atas adalah bahwa dalam meniti jalan menuntut ilmu terdapat proses pendewasaan jasmani dan rohani yakni bahwa selain tujuan filosofis terdapat pula tujuan insidental yaitu meningkatkan kecerdasan motorik, emosional, intelektual dan spiritual,sebab dalam meniti jalan menuntut ilmu dibutuhkan ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan dalam belajar, Sebab kesuksesan seorang penuntut ilmu terletak dalam kesabarannya menghadapi berbagai bentuk kesulitan, kesusahan, dan keletihan dalam mengarungi proses pendidikan. Seluruh bentuk kesulitan yang dihadapi oleh penuntut ilmu merupakan proses pendewasaan jasmani dan rohani.[16] Dalam al-Qur'an Allah Swt mengisahkan tentang perjalanan Nabi Musa ‘alaihi al-salam bersama dengan pembantunya untuk mendapatkan ilmu dari Nabi Khidhr ‘alaihi al-salam sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al Kahfi ayat 60:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Artinya:

“Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai kepertemuan dua buah lautan; atau Aku akan berjalan sampai bertahun-tahun".[17]

Pada ayat di atas menjelaskan betapa seorang Nabi Allah Swt Musa ‘alihi al-salam yang bergelar kalim al-rahman(teman dialog bagi Allah Swt) terus berusaha meniti jalan dengan kesabaran menuju ilmu hingga sampai ke tempat pendidikan pertemuan dua buah lautan – dimana beliau akan mendapatkan proses pendidikan lanjutan dari Allah Swt. melalui gurunya yang bernama Khidhr ‘alaihi al-salam.

Adapun tentang gambaran dimudahkannya seorang peniti jalan dalam menuntut ilmu menuju ke surga, al-Nawawy menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan hal itu adalah hendaknya seseorang menyibukkan dirinya menuntut ilmu-ilmu yang disyari’atkan (al-‘ulum al-syar’iyyah) dengan syarat dia menuntut ilmu hanya mengharap rida Allah Swt, para ulama mempersyaratkan adanya niat yang ikhlas karena Allah Swt dalam menempuh proses pendidikan yang melelahkan sebab mayortitas manusia meremehkan keikhlasan dalam belajar utamanya para pemula.Sebab kemudahan meniti jalan ke surga bagi para peniti jalan menuntut ilmu diukur berdasarkan kadar keihlasannya dalam menjalani proses pendidikan yang melelahkan tersebut.[18]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa makna dari kata thariqan dan ‘ilman dalam hadis tersebut adalah bahwa setiap manusia hendaknya memanfaatkan seluruh media pendidikan yang dapat membantu untuk mendapatkan ilmu utamanya ilmu agama secara bertahap dan berkesinambungan dengan tetap mengedepankan keikhlasan dan kesabaran dalam meniti proses pendidikan baik formal maupun non-formal, dan kemudahan meniti jalan menuju surga dapat dipahami bahwa ilmu dapat membantu memberika kemudahan dalam mengamalkan amal-amal saleh yang dapat dengan mudah pula menghantarkan menuju surga Allah Swt.

2. Pentingnya Pendidikan Agama

Rasulullah Bersabda:

حدثنا سعيد بن عفير قال: حدثنا ابن وهاب, عن يونس, عن ابن شهاب قال: قال حميد بن عبد الرحمن:سمعت معاوية خطيبا يقول:(من يرد الله به خبيرا يفقهه في الدين, وإنما أنا قاسم والله يعطي,ولن تزال هذه الأمة قائمة علي أمر الله,لا يضرهم من خالفهم,حتى يأتي أمر الله (رواه البخاري)

Artinya:

“Hamid bin Abdirrahman berkata, aku mendengar Muawwiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw Bersabda:” Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka Allah akan memberikan kepadanya pengetahuan dalam Agama, sesungguhnya aku adalah orang yang membagi sementara Allah adalah sang pemberi, umat ini tidak akan pernah berhenti menegakkan perintah Allah, dan tidak akan medhoroti mereka, orang-orang yang menentangnya sampai datang hari kiamat.”(HR. Bukhori, Bab Siapapun yang dikehendaki Allah menjadi baik, maka Allah pahamkan ia dalam masalah agama).

Asbabul Wurud

Hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah ini disampaikan ketika ia sedang berkhutbah, adalah Humaid bin Abdurrahman yang mengeluarkan hadits tersebut yang mengatakan bahwa dia mendengar Muawiyyah menyampaikan sebuah hadits ketika dia sedang berkhutbah bahwa Nabi bersabda “Siapa yang dikehendakinya kebaikan…”

Analisis atau Keterangan Hadits

Hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa kehendak Allah untuk menjadikan kita baik,itu digantungkan dengan kepahaman kita menyangkut agama. Ilmu agama adalah ilmu yang berkaitan dengan akhlak, maka dengan semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap masalah agama maka akan semakin baik pula akhlak dan perilakunya yang puncaknya bisa mengantarkannya menjadi orang yang takut kepada Allah semata. Kalau dewasa ini kita sering melihat seseorang yang dalam pengetahuan agamanya namun dia justeru makin tenggelam dalam kesesatan, itu dikarenakan ia salah dalam mengaplikasikan ilmunya. Dia hanya pandai beretorika namun hampa dari pengamalan. Imam Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata,” Bahwa yang dikatakan orang Alim bukanlah orang yang banyak ilmunya, namun yang dinamakan orang alim adalah orang yang bias mengamalkan ilmunya.” Rasulullah memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya “ barangsiapa makin tambah ilmunya namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia semakin bertambah jauh dari Allah swt.” Bahkan Allah dengan tegas mengatakan bahwa yang disebut ulama hanyalah orang yang takut kepadaNya semata.” Innama Yakhsyallaha min ibaadihil ulama”. Jadi hadis di atas harus dipahami bahwa orang yang dapat mengamalkan ilmu agamanya itulah orang yang dikehendaki Allah menjadi baik.

4. Keutamaan Orang Berilmu

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ (البخاري)

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan. Berkata Al Firabri Telah menceritakan kepada kami ‘Abbas berkata, Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hisyam seperti ini juga “ (H.R. Bukhori )

Asbabul Wurud Hadits

Mengenai latar belakang hadist ini adalah menurut Imam Ahmad dan al-Thabari yang bersumber dari hadits Abu Umamah: “Selesai melakukan Hajji Wada’ Nabi bersabda: “Ambilah ilmu sebelum ia ditarik dan diangkat!” lalu seorang Arab Baduy bertanya: “Bagaimana ilmu itu diangkat?” lalu Rasul Bersabda: “Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu itu dalam tiga periode”, dalam riwayat lain Abu Ummah meriwayatkan bahwa orang Arab itu bertanya “Bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di tengah-tengah kami ada mushaf al-Quran, kami mempelajarinya serta kami mengetahuinya , serta kami ajarkan kepada anak-anak dan istri kami, demikian pula kepada pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya, dan beliau hampiri kepada orang itu, karena marahnya. Rasulullah lau bersabda: “Inilah Yahudi dan Nasrani di kalangan mereka tidak mempelajarinya, tatkala para Nabi datang kepada mereka. Ibn Hajar berkata: “Hadits Masyhur sekali dari riwayat Hisyam. Dan dalam riwayat lain bunyinya: …”sehingga tak ada lagi hidup seorang alim pun.”

Analisis atau Keterangan Hadits

           Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi sumber ilmu itu telah diangkat oleh Allah dari bumi, sehingga tidak ada lagi yang mampu menjelasakan ilmu dengan sebenar-benarnya. Akibatnya, mereka yang tidak lagi merujuk apapun dengan dasar keilmuan, sampai pada ketidaktahuan mereka dengan memilih pemimpin yang sama tidak berilmunya. Hadist ini kemudia menjelaskan akibat yang sangat fatal bila seorang guru sebagai sumber ilmu yang otentik wafat, yaitu manusia ditinggalkan dalam keadaan sesat dan menyesatkan. Yaitu pemimpin bodoh menjawab pertanyaan tanpa didsari oleh ilmu.

Hadis ini menegaskan bagaimana pentingnya peran seorang penyebar ilmu, gur yang benar sumber ilmunya. Karenanya ada hadits lain mengatakan “Siapa yang belajar tanpa seorang syekh, maka syeikhnyadalah syetan.” Makanyatalah kesesatan dalam segala yang diucapkannya. Imam Syafi’ menegasakan “Barang siapa yang mepelajari ilmu dari hanya isi kitab saja, maka ia telah mempersempit hukum” bagaimana tidak hukum itu akan tegak dengan adanya hakim, maka ilmu kan tegak denga adanya guru.

Sangat jelas sekali posisi dan kemulian guru di dunia, kemulian ini seharusnya disadari oleh seluruh umat Islam bahwa guru membawa peran penting dalam memperbaiki kehidupan sebuah bangsa, akibat dari menelantarkan guru dan meninggalkan guru adalah kehancuran sebuah bangsa karena mereka berkata dan bekerja tanpa ilmu dan hanya mampu memberikan jalan yang sesat.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

           Berdaasrkan pembahasan diatas, maka makalah dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik. Sedangkan Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.

Hadits-hadits tentang pendidikan sangat banyak sekali dan diantaranya adalah hadits tentang hakikat pendidikan, pentingnya pendidikan agama, dan keutamaan ilmu

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, An-Nahlawi. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: CV.Dipenogoro

Abu ‘Abd Allalh Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibn Majah, Sunan Ibn Majah Riyad: Maktabah al-Ma’arif, T.Th

Al-Syaibany, Omar Muhammad Al-Thoumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Bulan Bintang

Jalal, Abdul Fattah. 1988. Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: CV. Dipenogoro

Langgulung, Hasan. 1987. Asas-asa Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif

Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insani Press

Mudyaharjo, Redja. 1998. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers

Muhammad, Naquid Al-Attas. 1994. Konsep Pendidikan. Terj. Haidar Bagit. Bandung:Mizan

Suharsono. 2001. Melejitkan IQ, IE & IS. Jakarta: Insani Press

Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Yahya bin Sharaf al-Nawaiy. 1349 H / 1930. al-Minhaj Sharh Sahih Muslim bin al-Hajjaj, vol. 17. Kairo: Matba’ah al-Misriyyah

Yusuf al-Qardawy. 2001.Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,terj. Abad Badruzzaman. Yogyakarta: Tiara Wacana,

[1]Hasan Langgulung, Asas-asa Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), h. 3

[2]Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta:Bulan Bintang, 1979).hal. 21-23

[3] Abdurrahman An-Nahlawi,Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam,(Bandung: CV.Dipenogoro,1992),Hal. 31

[4] Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang ,1979),hal. 32-99

[5] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989),hal.19

[6]Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam.(Bandung: CV. Dipenogoro, 1988). Hal. 29-30

[7] Mudyaharjo, Redja, Pengantar Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1998

[8] Ibid,.

[9] Muhammad Naquid Al-Attas, Konsep Pendidikan.Terj. Haidar Bagit, (Bandung:Mizan, 1994), hal. 63-64

[10] Tirtarahardja, Umar, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

[11] Mudyaharjo, Redja, Pengantar Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1998

[12] Abu ‘Abd Allalh Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibn Majah, Sunan Ibn Majah(Riyad: Maktabah al-Ma’arif, T.Th), 56.

[13] usuf al-Qardawy, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,terj. Abad Badruzzaman (Yogya karta: Tiara Wacana, 2001), 192-193.

[14] Al-Qur-an: 9 (al-Taubah) : 122

[15] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), 136.

[16] Suharsono. Melejitkan IQ, IE & IS (Jakarta: Insani Press, 2001), 108.

[17] Al-Qur-an: 18 (Al-Kahfi): 60.

[18] Yahya bin Sharaf al-Nawaiy, al-Minhaj Sharh Sahih Muslim bin al-Hajjaj, vol. 17 (Kairo: Matba’ah al-Misriyyah, 1349 H / 1930 M), 21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun