Mohon tunggu...
Nurul Ashyfa Khotima
Nurul Ashyfa Khotima Mohon Tunggu... Mahasiswa - A college student.

ã…¤

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Politik dengan Komedi Menggelitik

24 Maret 2022   04:08 Diperbarui: 24 Maret 2022   07:44 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran media televisi saat ini memiliki fungsi yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat mengenai informasi, hiburan, dan pendidikan. Media ini juga mampu mencapai daerah dan masyarakat secara luas dan relatif cepat yang mengumatakan dimensi waktu tertentu dan didukung oleh gambar serta suara yang muncul secara bersamaan hingga menjadikan media ini berpotensi untuk membentuk pengaruh dalam komunikasi pada masyarakat dalam proses komunikasi efektif seperti yang diharapkan komunikator. Seiring dengan perkembangan zaman, program dalam televisi memiliki banyak macam variasi, beberapa di antaranya adalah variety show, talk show, game show, sitcom atau komedi situasi, sketsa, dan drama. 

Dari sekian banyaknya program televisi tersebut, yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia adalah program komedi. Komedi merupakan salah satu program yang mengandung unsur humor dan bersifat menghibur. Tak hanya digunakan untuk menghibur penonton, tetapi humor dalam program komedi banyak dijadikan sebagai media untuk menyindir dan mengkritik kehidupan sosial sehari-hari. Melalui unsur humor dalam komedi, terdapat pesan-pesan yang disampaikan baik secara tersirat maupun tersurat yang berhubungan dengan keresahan terhadap permasalahan yang ada di masyarakat, seperti masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan adanya unsur humor tersebut, penyampaian sebuah keresahan maupun bentuk kritik sosial tersebut akan lebih menarik untuk ditangkap. 

Salah satu program komedi dalam televisi yang dapat dijadikan sebagai medium untuk menyatakan kegelisahan masyarakat adalah program 'Lapor Pak!' yang ditayangkan di Trans7. 'Lapor Pak!' sebagai program komedi kriminal memiliki konsep menarik dengan latar belakang kantor polisi yang mengkritik dan menyindir para "orang atas" dengan satire dan komedinya. Acara ini berisi adegan interogasi bintang tamu di sebuah ruang tertutup, gimmick di balik jendela kaca ruang interogasi, satire berisi kritik sosial terhadap pemerintahan, siaran radio yang diberi nama "Radio Lapor Pak! FM", juga dengan adegan 'kisah cinta' antar pemain.

Kritik sosial yang terkandung dalam unsur humor program komedi 'Lapor Pak!' dapat dikaji lebih dalam menggunakan teori Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough yang memusatkan wacana dalam pemakaian bahasa sebagai sebuah praktik sosial, melebihi aktivitas seseorang atau untuk mencerminkan sesuatu. Hal ini mengandung berbagai implikasi, yaitu ketika seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk pencerminan terhadap dunia atau realitas. Model ini juga mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Wacana dalam hal ini terbagi oleh struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lainnya. Fairclough membagi analisis wacana menjadi tiga dimensi, yaitu text, discourse practice, dan sociocultural practice. 

Teks dalam analisis ini dikaji secara linguistik dengan melihat elemen kosakata, semantik, tata kalimat, koherensi, dan kohesivitas. Discourse practice berhubungan dengan proses produksi teks dan konsumsi teks, sedangkan sociocultural practice berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks dalam hal ini menyangkut banyak hal, seperti konteks situasi atau konteks dari praktik institusi dari media yang memiliki hubungan dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.

Dalam dimensi teks, Fairclough membagi menjadi tiga elemen dasar untuk mengkaji setiap teks, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Dalam acara TV 'Lapor Pak!', aspek representasi digambarkan dalam kalimat yang dituturkan oleh Wendi Cagur berikut. "Pemilu masih lama tapi banner udah mulai pada nutupin jalan! Sembako, di angkot, semua ada, semua ketempel. Sampe supir angkotnya juga ketempel mukanya! Gimana mau nyetirnya kalau begitu." Dapat dilihat bahwa kalimat tersebut memiliki kesan negatif terhadap pemilu di Indonesia. Wendi Cagur menggambarkan bahwa cara para calon legislatif mengkampanyekan diri untuk pemilu dengan menempelkan banyak baliho dan spanduk di mana-mana. Tak hanya di jalanan saja, tetapi atribut kampanye ini juga menjamur di sembako, bahkan di lokasi bencana. 

Selain itu, terdapat juga dalam kalimt yang dituturkan Andhika Pratama, "Seharusnya yang ditertibkan jangan hanya menurunkan balihonya saja, tetapi kita harus cari pelakunya, Komandan. Saya rasa pelakunya adalah si Fajar, karena mereka kan selalu melakukan serangan fajar." Kalimat tersebut memiliki kesan negatif terhadap kampanye-kampanye yang dilakukan menjelang pemilu di Indonesia. Dalam dunia politik, 'serangan fajar' dapat berarti istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik. Dalam hal ini, Andhika Pratama menggambarkan bahwa jangan hanya balihonya saja yang ditertibkan, tetapi para pelaku yang melakukan 'serangan fajar' juga harus dibasmi.

Dimensi dalam model Fairclough yang selanjutnya adalah discourse practice. Dimensi ini membahas mengenai bagaimana teks tersebut diproduksi. Topik mengenai Pemilu ini ditayangkan dalam salah satu segmen di acara TV 'Lapor Pak!' pada tanggal 9 Februari 2022. Topik ini dibawakan dengan unsur humor dan komedi dengan melibatkan para pemain 'Lapor Pak!', yaitu Andre, Andhika, Hesti, Surya, dan Wendi. Dalam acara TV ini, Andre ditugaskan sebagai komandan, Andhika sebagai intel, Wendi sebagai penyidik kepolisian, Hesti sebagai polisi wanita, dan Surya sebagai polisi lalu lintas. Yang menarik dari segmen acara TV 'Lapor Pak!' kali ini adalah tema yang disajikan berupa persiapan para polisi untuk menertibkan dan mengawasi jalannya pemilu. Andre selaku komandan melakukan berbagai tes untuk melihat seberapa siap para polisi untuk bertugas mengamankan pemilu.

Dimensi yang terakhir adalah sociocultural discourse yang menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membuat tiga level analisis dalam dimensi ini, yaitu situasional, institusional, dan sistem sosial. Situasional dalam acara TV 'Lapor Pak!' ini dikaitkan dengan kegiatan pemilu yang dilaksanakan selama lima tahun sekali. Kegiatan ini merupakan proses pemilihan seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu, mulai dari eksekutif, legislatif di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Menjelang pemilu saat ini, para pejabat politik berlomba-lomba untuk memengaruhi dan mendapatkan simpati dari rakyat dengan melakukan berbagai macam komunikasi massa maupun kampanye publik. 

Sistem sosial yang terjadi saat berlangsungnya acara TV 'Lapor Pak!' ini tidak terlepas dari konteks yang membangun sebuah wacana diproduksi. Meskipun pemilu dilaksanakan 2 tahun lagi, namun sudah banyak para pejabat politik yang gencar dan 'curi start' melakukan kampanye untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau anggota legislatif di Indonesia. Kampanye yang dilakukan oleh para pejabat politik ini tak hanya pemasangan baliho-baliho di sepanjang jalan, tetapi juga pada sembako yang dibagikan kepada masyarakat, bahkan di beberapa titik di lokasi bencana. Pemasangan baliho tersebut dinilai tidak etis dan dapat membuat citra pejabat tersebut di mata publik menjadi negatif.

Analisis wacana kritis menegaskan sebuah wacana sebagai bentuk interaksi. Melalui analisis wacana kritis pula, kita dapat melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai wujud dari praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana kritis berkaitan dengan peristiwa dari sebuah realitas dan struktur sosial. Aspek kebahasaan diksi dan penggunaan kalimat yang digunakan dalam acara TV 'Lapor Pak!' telah menempatkan representasi kampanye pemilu di Indonesia saat ini yang direpresentasikan sebagai kegiatan di mana para calon legislatif ingin mendapatkan simpati rakyat dengan lebih dulu memasang baliho sebagai wujud 'tebar pesona', padahal pemilu belum dimulai. 

Keberpihakan acara TV 'Lapor Pak!' terhadap rakyat yang resah terhadap kemunculan baliho yang menempel di mana-mana menyebabkan produksi teks yang dihasilkan menimbulkan citra negatif pada pihak tertentu. Melalui acara TV 'Lapor Pak!', para pemain menyuarakan kritik sosialnya terhadap pihak tertentu dengan memadukan unsur humor dan komedi agar para pejabat politik dapat lebih bijak dan meningkatkan empatinya dalam melakukan kampanye untuk kegiatan pemilu nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun