Mohon tunggu...
Nurul Annisa
Nurul Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Tourism Student at Universitas Gadjah Mada

I like writing about things I passionate, like tourism, culinary, lifestyle, and art. I eager learn new things and collaborate with others.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Keraton Ratu Boko, Legenda, dan Kita

11 September 2024   20:17 Diperbarui: 11 September 2024   20:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendopo Keraton Ratu Boko (dokumentasi pribadi)

"Jangan mengunjungi candi ini dengan pasanganmu, nanti hubungannya kandas", begitulah mitos yang ada di candi ini, Candi Ratu Boko atau juga dikenal dengan Keraton Ratu Boko. Pada suatu pagi di akhir bulan Agustus, saya mengunjungi Keraton Ratu Boko bersama sang kekasih. Mitos yang beredar cukup membuat was-was, namun tetap tidak menggoyahkan niat hati berkencan kesana. Perjalanan sejauh 17 km tidak terlalu terasa, karena ketika mulai mendekati destinasi, kami disuguhi pemandangan alam yang menawan, lanskap perbukitan dengan sawah yang padinya masih menghijau di kanan-kiri jalan. Ditambah udara pagi yang sejuk nan segar. Semakin mendekati destinasi, trek mulai menanjak karena lokasinya berada di atas perbukitan.

Sesampainya di destinasi, suasana diwarnai dengan alunan lagu Jawa. Kami menuju loket tiket dan membayar tiket masuk Rp40.000 per orangnya. Pembayaran pun sudah modern, bisa menggunakan cashless. Ketika mulai memasuki area keraton, kami disambut oleh sekumpulan burung merpati putih yang tampaknya sudah biasa berada di sana, halaman di depan restoran dengan pohon besar di depannya. Terdapat banyak papan petunjuk untuk ke berbagai bagian keraton, sehingga pengunjung tidak akan kebingungan.
Begitu melangkah masuk, terdapat gerbang besar berbentuk gapura yang menjadi ikon dari Keraton Ratu Boko. Gerbang ini terdiri dari dua tingkat dengan lima gapura utama di bagian atas, memberikan kesan megah yang mengesankan. Di sisi kanan setelah memasuki gerbang, kami menemukan sebuah taman dengan beberapa pohon besar yang rindang, masing-masing dilengkapi bangku di bawahnya. Kami memutuskan untuk duduk di salah satu bangku, menikmati pemandangan hijau yang luas, merasakan semilir angin pagi yang sejuk, dan melihat birunya langit yang cerah. Suasana ini menciptakan rasa ketenangan dan kedamaian, sangat cocok untuk merenung atau menikmati kebersamaan dengan orang tersayang.

Suasana Taman Keraton Ratu Boko (dokumentasi pribadi)
Suasana Taman Keraton Ratu Boko (dokumentasi pribadi)
Kemudian, kami melanjutkan eksplorasi dengan menyusuri setiap inci area ini, menikmati setiap detail keindahan dan sejarah yang tersembunyi di setiap sudutnya. Di dalam kompleks, terdapat sejumlah bangunan, termasuk pendopo, paseban (ruang tamu), kolam pemandian, dan gua-gua kecil yang dahulu mungkin digunakan untuk meditasi. Keraton Ratu Boko ini lebih mirip reruntuhan istana daripada sebuah candi, karena tak banyak bangunan utuh yang tersisa, melainkan kumpulan bebatuan. "Keraton ini milik bapaknya Roro Jonggrang, ini adalah tempat para tamu untuk menunggu sebelum bertemu raja," begitulah penjelasan dari seorang petugas yang tiba-tiba menghampiri saat kami sedang berada di area pendopo. Tidak banyak papan informasi yang tersebar, sehingga bagi yang ingin berkunjung untuk mempelajari sisi historis dari keraton ini dapat menggunakan jasa pemandu wisata yang telah disediakan. Tepat di sebelah pendopo, terdapat keputren yang merupakan tempat tinggal putri-putri raja. Terdapat dua bagian keputren yang dipisahkan oleh pagar, namun tetap terhubung oleh satu gapura. Di bagian pertama terdapat tiga buah kolam berbentuk persegi. Di sebelahnya terdapat delapan kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam tiga baris. Terdapat larangan untuk mandi maupun meminum air dari kolam ini. Petugas pun menyarankan untuk berhati-hati ketika mengitari kolam, karena tampaknya cukup dalam.

Saat kami menjelajahi setiap sudut keraton ini, tampak banyak pekerja yang dengan penuh dedikasi merawat area keraton, menyapu dedaunan dengan senyum yang hangat dan sapaan yang ramah. Kami melanjutkan eksplorasi menuju gua yang lumayan jauh dari area Keraton. Ketika sudah sampai, gua ini tidak seperti gua yang kami bayangkan pada umumnya, melainkan sebuah pahatan persegi panjang. Terdapat dua gua di sini, yaitu Gua Wadon dan Gua Lanang. Penamaan gua ini pasalnya karena terdapat relief yang menggambarkan alat kelamin wanita (yoni) yang dilengkapi dengan alat kelamin pria (lingga). Menurut papan informasi yang ada, simbol tersebut merupakan harapan agar daerah ini menjadi wilayah yang subur dan makmur. Namun sayangnya, kami tak dapat menemukan relief tersebut, bisa jadi karena bangunan yang sudah sangat tua dan usang. Matahari sudah mulai terik, sehingga kami meninggalkan tempat itu untuk ke area timur Keraton. Kami juga melewati beberapa rumah yang tampak sederhana dan melihat seorang nenek-nenek sedang sibuk memotong kayu bakar. Tetapi ketika kami mendekat untuk menjawab rasa penasaran terkait keberadaan rumah di dalam Keraton ini, nenek tersebut menolak berbagi cerita. Kami lanjutkan saja perjalanan menuju titik awal tadi.

Tepatnya, di timur laut gerbang utama yang pertama kali dimasuki tadi, terdapat sebuah candi pembakaran/kremasi. Di tengah pelataran teras candi ini, terdapat semacam sumur berbentuk bujur sangkar yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Ada larangan untuk tidak menabur bunga di sumur ini. Lalu, terdapat sumur tua yang tak pernah surut dan dipercaya merupakan sumber mata air suci. Kemudian di pinggir candi ini, terdapat sebuah tangga menuju gardu pandang yang berada di atas bukit. Tidak banyak yang mengeksplor Keraton sampai sini karena pendakiannya cukup melelahkan. Namun saat sudah sampai, kami dapat melihat keseluruhan Keraton Ratu Boko dari atas bukit. Bahkan, lanskap Yogyakarta dan Candi Prambanan terlihat dari atas sini. Akan sangat mempesona jika mengunjunginya pada sore menjelang malam, saat matahari terbenam menggoreskan warna-warni keindahan di langit.

Sepertinya seluruh area sudah kami injaki, matahari sudah mulai berada di atas kepala, kami putuskan untuk turun dan meninggalkan Keraton Ratu Boko. Sepanjang perjalanan keluar, banyak sekali ibu-ibu yang menawarkan dagangannya, seperti es teh, es kelapa muda, dan mie goreng. Wah rasanya sangat lezat dinikmati di siang hari yang terik ini. Namun, karena tidak memiliki banyak waktu lagi, kami hanya bisa tersenyum sambil menolak, melanjutkan ritme kehidupan yang sempat terhenti oleh liburan singkat ini. Keraton Ratu Boko menyimpan banyak cerita, menjadi memori tak terlupakan, dan menyimpan jejak kenangan yang abadi antara saya dan dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun