Mohon tunggu...
Savira Silmidhafin
Savira Silmidhafin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum - Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Duri Mawar (Suara untuk Kaum Perempuan)

17 November 2023   14:08 Diperbarui: 17 November 2023   14:24 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari ini, kami terdiam di meja makan. Sarapan pagi di depanku belum sempat kujamah saat adik perempuanku, Tiara, datang ke meja makan dengan alat tes kehamilan di tangannya. Dengan tangis dan suara lemah ia menunjukkan alat bergaris dua itu pada kami semua. Ayah adalah orang yang paling murka, ia merasa kecewa pada putri kebanggan yang sering digadang-gadangnya sebagai pengangkat derajat keluarga. Sementara ibu hanya bisa menangis, meratapi nasibnya sembari menenangkan ayah yang belum habis-habisnya menceramahi Tiara. Aku sendiri memilih diam, tak ingin ikut campur lebih jauh. Apakah aku kecewa? Tentu saja, sebagai kakak yang juga selalu menasihati Tiara atas gaya berpacarannya yang sering kelewat batas, aku benar-benar merasa seperti tidak dihargai karena ternyata selama ini nasihatku hanya dianggap angin lalu olehnya. Maka kali ini biarkan Tiara bertanggung jawab atas masalahnya.

Tora, adik laki-lakiku juga tak berkomentar sedikit pun. Mungkin ia masih merasa malu atas kejadian semalam, saat ia datang ke rumah dengan tergesa-gesa, meninggalkan isteri dan anaknya karena ketahuan selingkuh oleh mertuanya. 

"Lalu sekarang bagaimana, Tiara? Bagaimana dengan bayi di perutmu, ha?!" suara ayah semakin meninggi, meminta jawaban Tiara atas masalah yang dibuatnya. 

Kulihat ibu menyenggol lengan ayah, mengingatkannya untuk tidak berlebihan pada putri kesayangannya. 

"Argo akan bertanggung jawab, Yah." Tiara membalas pelan. 

Kami menghela nafas panjang, merasa lega atas jawaban Tiara. Kulihat otot-otot wajah ayah juga mulai mengendur. Ia mengatur nafasnya menjadi lebih stabil dari sebelumnya. "Nanti malam suruh Argo menemui ayah dengan keluarganya. Kita adakan pernikahan kalian secepatnya sebelum kabar ini terdengar oleh orang-orang. Tessi, Tora, ayah harap kalian bisa menjaga rahasia adik kalian." 

Aku dan Tora mengangguk.

Hari-hari setelahnya berjalan baik, Argo dan keluarganya telah datang. Menetapkan tanggal dan membahas apapun yang berkaitan dengan pernikahan seminggu yang akan datang. Ayah sudah tak menunjukkan tanda-tanda marah, mendapat besan seorang hartawan ternyata membuat otot-otot tegangnya mengendur sempurna, tergantikan oleh senyum yang tiada pernah pudar dari wajahnya. Tiara yang beberapa hari lalu menangis tersedu-sedu kini dilayani bak ratu sebagai calon pengantin baru. 

"Bagaimana jika para ibu-ibu itu tahu bahwa Tiara sebenarnya hamil di luar nikah?" 

Aku terkejut, memukul lengan Tora yang entah sejak kapan ada di sampingku. "Kalau bicara dijaga, Tora. Kau tak mau kan ayah memukulimu lalu setelah itu menyeretmu pada mertuamu yang terkenal galak itu?" 

Tora segera memberengut, mendumel seraya menjauh dariku. 

Aku terkikik geli, tetapi tawa bahagiaku harus kuhentikan paksa saat ibu memanggilku, menyuruhku untuk membawakan makanan ringan pada teman-teman arisannya. Aku mengeluh tapi tetap mengerjakannya, sesaat aku sesali keputusanku memilih tak pergi ke kantor. 

"Oh ini Tessi ya, wah badanmu semakin berisi saja. Sudah berapa umurnya, Jeng?" salah satu teman ibu yang paling glamour dengan berbagai macam perhiasan yang menempel di tubuhnya bertanya pada ibu, sebenarnya ia bisa saja langsung bertanya padaku, tapi aku tahu ia hanya berniat menyindirku. 

Aku berharap saat itu ibu membelaku dan menegur temannya yang mencampuri urusan orang. Namun ternyata harapanku kandas saat ibu ikut tertawa disusul oleh teman-temannya yang lain. 

"Ya begitu lah bu, tubuhnya makin berisi karena kerjanya makan mulu padahal umur sudah di kepala tiga. Beda sekali dengan adiknya, Tiara selalu menjaga pola makannya. Tak heran ia mendapat calon suami yang ganteng dan dari keluarga kaya raya. Itu si Tessi, sampai saat ini belum juga dilirik laki-laki." Ibu membalas jenaka. 

Kemudian segera bersusul-susulan tawa dari semua temannya. Ibu yang kuharapkan sebagai pelindungku malah ikut merundungku, sebenarnya aku sudah cukup terbiasa dengan hal semacam ini. Aku tak mungkin bisa melawan, maka berlalu pergi adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.

"Kalau saya tidak salah, anak kedua jeng, si Tora kan juga sudah menikah ya? Tiara juga sebentar lagi akan menikah, lalu Tessi kira-kira mau menyusul kapan? Masa tidak malu didahului adik-adiknya." 

Seorang ibu yang lain juga tak ingin ketinggalan mempermalukanku. Sedikit ku ketahui tentangnya bahwa ia adalah seorang istri dewan, bergaya paling mewah tetapi juga yang paling suka mencampuri urusan orang. Menyedihkan saat aku melirik ibu namun ia menikmati tawa dengan begitu bahagianya. 

"Begini lah bu, anak muda sekarang begitu tergila-gila mengejar karir, tapi untuk masa depannya sendiri tak dipedulikan. Seorang perempuan kan tak mungkin hidup sendiri tanpa seorang laki-laki yang akan menemani hingga masa tua nanti. Beruntung anakku Tiara tidak memilih jalan yang salah seperti kakaknya, saat dia meminta untuk menikah muda tentu tak ada alasan bagiku dan suami untuk menahannya, apalagi calon suaminya sendiri sudah begitu menjanjikan." 

Sekarang ibu bukan hanya menghinaku, tetapi bohong akan pernikahan Tiara. Sialnya ia menggunakanku sebagai tameng untuk kebohongannya. Namun untuk kali ini aku tidak akan diam saja, persetan dengan perasaan orang yang harus kujaga, orang-orang itu bahkan tak memikirkan perasaanku yang digunakan sebagai bahan canda tawa. Apalagi ibu, perlakuannya padaku kali ini sudah tak bisa dibiarkan begitu saja. 

"Aku merasa terhormat kalian memperhatikanku dengan sebegitu detailnya, bahkan urusan pernikahan yang menjadi privasi orang pun kalian perhatikan juga. Namun ibu-ibu, alasanku yang sebenarnya tidak ingin menikah bukanlah seperti yang kalian semua kira. Alasanku tidak menikah hingga saat ini adalah karena aku berkaca dari kalian semua." 

"Perceraian," aku menatap wanita bergaya glamour yang tadi menghinaku. "Lalu di madu" mataku beralih pada isteri anggota dewan yang tadi juga menyumbang hina padaku. "Dan menjadi pelampiasan sang suami," kali ini aku beranikan menatap ibu, lebih lama dari dua yang pertama. 

"Bukankah semua itu menjemukkan? Kalau kau memang seorang perempuan yang merasa terhormat, maka jangan bersembunyi dibalik laki-laki. Berlutut padanya demi sesuap nasi, memenuhi nafsunya agar tidak ditinggalkan sendiri, dan menjadi pelampiasan akan rasa marah, kecewa, lelah, dan gagal dari seorang laki-laki. Wanita seperti itu selalu berteriak kehormatan, padahal hanya memungut kehormatan dari sang laki-laki. Kehormatannya tidak lain hanya karena menjilat kaki sang suami."

"Tessi!" ibu berteriak kencang, mengakibatkan semua atensi kini terpusat kepadaku. Akan tetapi nafsu setan kini telah menyelimuti, aku marah bercampur kecewa yang harus dilampiaskan secepatnya, dan yang pantas mendapatkan pelampiasan ini ialah mereka yang tiada pernah menghargai sesamanya. 

"Apa yang kalian banggakan dari itu semua?" Aku semakin meninggikan bicaraku, dari ekor mata kulihat Tiara berjalan mendekatiku. 

"Kak jangan bertindak sesuka hati." Tiara berbisik pelan, sementara aku masih seperti orang kesetanan. 

"Lucu. Lucu sekali orang memperingatkanku untuk tidak bertindak sesuka hati padahal orang-orang sesuka hatiku padaku." 

Tora yang entah sejak kapan mendekat segera menarik tanganku, "Jangan bertindak bodoh kak atau ayah akan membunuhmu."

 "Baiklah segera bunuh aku! Lagipula kehadiranku tak ada artinya bagi kalian, kan?" aku menghempaskan cekalan tangan Tora lalu segera berlalu pergi.   

Kecewa, marah, dan benci bercampur aduk memporak-porandakan suasana hati. Bahkan rasanya, udara di alam semesta ini tak akan mampu memenuhi rongga hatiku yang kosong. Sebanyak apapun aku menghirup dan menghempaskannya, sebanyak itu pula kekosongan terasa lebih nyata. Sudah enam hari aku tidak pulang ke tempat yang disebut rumah, aku merasa lebih tenang meski terasa kosong, aku merasa lebih nyaman meski kedinginan, dan aku merasa sendirian meski di tengah keramaian. Seperti hari-hari yang lalu, sore ini aku kembali menikmati jingga di taman kota, kali ini tidak sendirian sebab ayah yang memintaku datang. 

"Apakah aku salah?" 

"Kau melewati batas." Ayah menjawab ketus, tanpa sedikit pun memandangku. 

"Lalu bagaimana dengan ibu? Ia mempermalukanku di depan teman-temannya, jika ayah diposisiku apakah ayah hanya akan diam saja?!" suaraku bergetar, menahan emosi yang kembali menggerayang. 

"Lalu apa bedanya kau dengan ibumu?!" hardik ayah. 

Itu bukan bentakannya yang pertama, tapi terasa lebih menyakitkan dari semua bentakan yang pernah ia lontarkan padaku. Kemudian kami kembali senyap, beberapa lama hanya suara tangis kecilku yang terdengar, hingga ayah kembali membuka suara sekaligus mengakhiri pembicaraan kita. 

"Apapun itu, masalah ini tidak akan terjadi jika pada saat itu kau hanya diam mendengarkan, kau juga seharusnya maklum sebab ibu tengah berada pada kondisinya yang kacau. Jadi ketahuilah bahwa sumber masalah ini adalah dirimu sendiri." Ayah kemudian menyerahkan sebuah undangan berwarna cokelat, di depannya ada dua nama yang terukir indah dengan pita yang terikat pas di kedua sisinya. 

"Besok kau harus hadir, jangan sampai masalah ini terdengar oleh keluarga mempelai pria, bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa. Setelah foto keluarga kau boleh pulang, yang terpenting jaga nama baik keluarga." ucap ayah mengakhiri kalimatnya. Sementara aku hanya bisa terdiam, tersenyum getir memandang punggung ayah yang menghilang dibalik jingga yang hendak menghitam. Tangisku pecah bersamaan dengan harapan yang luruh, harapan akan adanya seseorang yang menggengam tanganku erat dan berkata bahwa ini bukan salahku. Nyatanya, aku hanya tetap menggengam udara kosong tak bertuan. 

"Jaga nama baik keluarga, ya?" gumamku lirih.

Keesokan paginya dengan mata sembap, aku benar-benar hadir di resepsi pernikahan Tiara. Ijab Kabul telah diucapkan dan semua saksi telah berucap sah. Aku menjadi satu dari banyaknya tamu undangan yang juga menyaksikan, ikut tersenyum saat melihat adikku Tiara memeluk suaminya bahagia, meski sejujurnya aku masih merasa kecewa padanya. Acara kemudian dilanjutkan dengan berbagai pidato dan sambutan, tentunya dari kedua orang tua mempelai. Namun hari ini, aku juga tak ingin ketinggalan membuka suara. Maka setelah ibu turun dari panggung, mengabaikan tatapan tajam ayah, kuberanikan diri untuk menyampaikan pidato yang sudah kupikirkan matang-matang. 

Pidato kali ini rasanya berbeda dengan pidato-pidato sebelumnya, pada pidato ini aku merasa cemas entah apa sebabnya. Nyaliku menjadi lebih ciut, terlebih saat melihat para tamu undangan yang sebagian besar adalah teman-teman ibu yang dahulu pernah merundungku. Suaraku pula menjadi tak selantang seperti saat aku melawan teman-teman ibu dulu. Akan tetapi saat ini, tak begitu ku pedulikan mereka semua. Akan ku tunjukkan bahwa kesempatan ini memang pantas untukku maka semakin ku genggam erat pengeras suara di tanganku sebelum kembali melanjutkan pidatoku. 

"Pernikahan adalah suatu ikatan suci yang diidam-idamkan oleh semua orang. Saat kita akhirnya bisa seatap bersama orang terkasih, melewati momen membahagiakan dan menyedihkan bersama, menikmati waktu muda hingga menua, dan saling menjadi saksi ketika rambut telah memutih. Oleh karena itu, banyak orang yang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup, sebab disana kebahagiaan bisa ditemukan dan saya ucapkan selamat kepada adik saya, Tiara dan suaminya yang telah berhasil mendapatkan satu kebahagiaan yang banyak dicari orang. 

Bagi saya, pernikahan itu layaknya bunga mawar, indah bila kau lihat, tetapi sebenarnya terdapat banyak duri dibalik keindahan itu. Bila kau hanya melihat keindahan, kau akan terlena pada duri yang bisa menyakitimu kapan saja, yang semula tak dihiraukan keberadaannya. Duri-duri itu akan melukaimu, bukan hanya sekali, jika kau tidak berhati-hati duri itu akan merusak tanganmu. Keindahan mawar itu hanya sementara, akan layu juga pada akhirnya, namun luka yang diakibatkan oleh durinya akan berbekas selamanya. Begitu lah pernikahan, jangan hanya melihat indahnya nanti kau dikejutkan dengan duri-durinya dan jangan hanya menatap duri nanti kau akan kehilangan keindahan yang terdapat di dalamnya. Namun, duri-duri itu juga tak akan menjadi masalah jika kau pandang sebagai bagian dari keindahan bunga mawar, sebab tanpa duri-duri itu bunga mawar bukanlah bunga mawar. 

Saya, akan menjadi orang yang menikmati keindahan bunga mawar dari kejauhan, bukan karena saya takut terkena durinya. Akan tetapi, karena ada bunga lain yang yang lebih saya suka dan tak semua orang harus menikmati keindahan bunga mawar dengan cara yang sama. Maka dengan ini pula, saya memohon izin kepada ayah dan ibu untuk mengizinkan saya memilih bunga yang lain. Bunga yang juga seindah bunga mawar, tetapi tak memiliki duri sebanyak bunga mawar. Jangan khawatirkan apapun tentang pilihan ini, alasannya semata-mata hanya karena saya ingin menikmati keindahan bunga mawar dengan cara yang berbeda." 

Begitulah akhirnya aku bisa mencurahkan isi hatiku, mengosongkan beban-beban yang sedari dulu memenuhi batinku. Namun karena itu pula, aku juga harus mengemasi barang-barangku, sebab sejak pidato itu, rumah benar-benar sudah tak terasa nyaman lagi untukku. Aku juga sepenuhnya sadar, memilih jalan ini sama dengan mengecawakan ayah dan ibu. Tak apa, sebab bunga mawar tak harus selalu dipandang bunganya. Aku bisa memandang daunnya, rantingnya, atau durinya karena semua orang bebas melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun