Mengapa feminisme dianggap sebagai suatu paham yang mengancam Pancasila, padahal feminisme sendiri memperjuangkan nilai keadilan dan kesetaraan yang ada dalam tubuh Pancasila itu sendiri?
Pertanyaan ini terus menerus berputar di kepala saya selama akhir-akhir ini, menggelitik saya hingga nurani mendorong saya untuk menulis tulisan ini, dengan harapan akan membuka pikiran siapa saja yang masih berpikir dan berperasaan negatif tentang feminisme.
Gerakan feminisme hadir di Indonesia dengan kontroversi isu kesetaraan gender. Isu yang selama ini dihindari masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur sangat nyaman dan begitu kolot dengan budaya patriarki. Tak mengherankan, sebab bangsa Indonesia tumbuh dengan warisan patriarki yang tentu akan begitu sulit diubah dengan begitu saja. Sekian lama kita dicekoki oleh ketidakadilan yang mengeyangkan bagi sebagian orang, maka bagi mereka yang sudah terlanjur kenyang dengan hal tersebut tentu tidak akan rela jika menu favoritnya dihapus untuk selamanya.
Hal inilah yang menjadi perjuangan sulit bagi kaum feminis Indonesia untuk menyuarakan kesetaraan gender di Indonesia. Kesetaraan gender yang ditujukan untuk semua gender dan tidak terbatas pada satu jenis kelamin saja. Banyak masyarakat masih salah paham dengan nilai yang dibawa feminis, kemudian menolak mentah-mentah dengan dalih feminisme bertentangan dengan falsafah dan dasar negara Pancasila. Mereka menganggap feminisme adalah produk barat yang akan merusak budaya timur Indonesia.
Kesalahpahaman itu terbentuk karena pemahaman awal yang sudah salah mengenai feminisme. Kebanyakan orang memahami feminisme sebagai gerakan koar-koar menuntut kesetaraan gender bagi perempuan saja, kemudian disalahpahami sebagai pertentangan atas ketidaksukaan terhadap laki-laki sebagai pemimpin seutuhnya. Dari hal tersebut, muncullah narasi bahwa feminisme melawan kodrat Tuhan yang semakin memperteruk pemahaman salah kaprah tentang arti feminisme yang sebetulnya.
Pada dasarnya feminisme tidak berupaya menentang laki-laki, tetapi menentang kondisi struktural di Indonesia yang selama ini lebih banyak menguntungkan dan mengutamakan kaum laki-laki. Feminisme justru ingin menggandeng semua gender, tanpa membedakan jenis kelamin. Namun kesalahpahaman yang telah mengakar kuat itu sudah terlanjur sangat sulit diubah, bahkan penolakan tersebut mengatasnamakan Pancasila dengan argumentasi "Feminisme adalah produk barat yang bertentangan dengan nilai Pancasila dan mengancam budaya Indonesia".
Bagaimana pun, pemahaman salah kaprah tersebut harus secepatnya diubah. Masyarakat Indonesia harus mengetahui bahwa apa yang dituduhkan kaum anti feminis sangat jauh dari kata benar. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang tentunya sudah sangat mengenal Pancasila, seharusnya tidak termakan dengan narasi-narasi salah kaprah seperti demikian sebab gerakan feminis selalu berangkat dari rasa ketidakadilan dan terpinggirkan. Apa yang feminis perjuangkan berlandaskan konstitusi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila merupakan acuan dasar para feminis dalam memperjuangkan apa yang menjadi tujuan awal, yaitu kesetaraan dan keadilan. Pancasila juga tidak berseberangan dengan feminisme, maka bagi siapa pun yang menolak feminisme dengan anggapan feminisme bertentangan dengan Pancasila berarti orang tersebut gagal dalam memahami dan bahkan menyikapi nilai Pancasila itu sendiri karena Pancasila memandang siapa saja selalu setara dalam hal apapun itu.
Apabila kita memahami Pancasila dalam setiap sila-silanya maka argumentasi dan narasi tentang feminisme yang bertentangan dengan Pancasila tentu tidak akan pernah ada. Bahkan pada sudut pandang agama pun, sebenarnya feminisme tidak berada dalam posisi yang salah sebab setiap agama pasti menitahkan kepada umatnya untuk adil terhadap sesama. Bahkan dalam agama, dijelaskan secara eksplisit mengenai kesetaraan gender ini seperti QS. Al Hujurat : 13 yang berbunyi "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." dalam kitab Al-Quran, lalu kejadian 1 : 27 dalam Alkitab yang berbunyi "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.", kemudian pembebasan perempuan dari nilai-nilai sosial negatif  dalam teks-teks Budhis tentang Tripitaka, selanjutnya bentuk feminin dari Yang Maha Suci yang disebut Dewi (The Great Godness atau Devi) dalam agama Hindu, terakhir agama Konghucu yang memandang bahwa perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki, di mana tidak ada ayat yang merendahkan perempuan maupun meninggikan laki-laki dalam kitabnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jika ada yang masih mempergunakan dalih agama sebagai alasan untuk menentang feminisme maka sebenarnya dia lah yang menentang agamanya sendiri. Jangan sampai mengaku berketuhanan tetapi menyalahi nilai-nilai agama. Mengucilkan, merisak, dan mengabaikan ketidakadilan bukanlah sikap seorang yang berketuhanan melainkan sikap orang egois yang tidak pancasilais.
Selain itu, perjuangan feminisme juga membawa visi humanisme atau perjuangan kemanusiaan. Feminisme memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam praktek hidup bersama yang hakikatnya hendak mengekplisitkan unsur-unsur hakikat kodrat yang perlu dihargai dengan adil dalam kerja sama berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia. Visi kemanusiaan dan keadilan ini juga sudah jelas tertuang dalam Pancasila, yakni pada sila kedua dan kelima yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada intinya, feminisme mengajak masyarakat Indonesia untuk adil bahkan sejak dalam pikiran. Di sinilah feminisme dan Pancasila bergandengan tangan dalam perannya menggaungkan kesetaraan dan keadilan. Tak peduli apapun gendernya dan jenis kelaminnya, feminisme bersama Pancasila akan memperjuangkan hak siapapun yang mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Maka sebagai masyarakat Indonesia yang memegang nilai-nilai Pancasila dalam setiap kehidupan kita, kita harus bersama-sama berjuang dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam berbagai lini kehidupan baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, dan bahkan agama.
Feminisme merupakan revolusi untuk menjebol sistem yang eksploitatif dan diskriminatif. Pancasila merupakan dasar dan falsafah negara yang memberikan pegangan nilai-nilai kehidupan agar rakyat Indonesia tidak salah dalam berkehidupan. Maka dari itu, feminisme Pancasila merupakan perjuangan kesetaraan gender sesuai dengan sifat Pancasila yang meliputi kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai manusia yang beradab dan berkeadilan, kesadaran sebagai makhluk sosial, bersatu dan berbangsa, serta kemampuan bermusyawarah mufakat demi mencapai tujuan keadilan.
Dengan demikian, jika ada masyarakat Indonesia yang masih menilai feminisme bertentangan dan tidak sejalan dengan Pancasila maka patut dipertanyakan lagi bagaimana ia memahami, menilai, dan menyikapi Pancasila itu sendiri.
Tulisan ini diakhiri dengan mengutip ucapan Malala Yousafzai, seorang aktivis HAM yang memperjuangkan dan menyuarakan kesetaraan gender, yang berkata "Saya bersuara bukan karena saya ingin berteriak, tetapi supaya orang-orang yang tidak memiliki hak juga bisa didengar. Kita tidak bisa sukses bila sebagian dari kita diam saja."Â
Jangan hanya diam menonton ketidakadilan dan ketidaksetaraan, tetapi bantulah mereka yang tertindas mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Maka bijaklah dalam berpikir dan bersikap karena setiap hal yang kita lakukan akan memberikan dampak bagi kehidupan orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI