Halo semuanya! Di artikel ini saya akan berbagi pengalaman saat berkunjung ke Museum bersejarah yaitu Museum Pancasila Sakti, Mau tau kisah Museum Pancasila Sakti ini? Baca yuk!
Museum Pancasila Sakti atau Museum Lubang Buaya merupakan Tempat  bersejarah tempat yang digunakan untuk menghormati dan mengenang peristiwa G30S 1965/PKI. Banyak hal menarik saat mengunjungi museum tersebut, kalian bisa belajar tentang kejadian ditanggal 30 September 1965. Ada banyak foto dan lukisan serta miniature, Untuk fasilitas sangat lengkap mulai dari mushola, kamar mandi bersih, kantin, taman cantik hinnga fotografer bagi kalian yang ingin mengabadikan momen di Museum Lubang Buaya. Di museum tersebut terdapat taman yang terawat dengan baik membuat nyaman untuk berfoto dan  untuk harga tiket masuk 15 ribu/orang sudah termasuk parkir. Banyak pelajaran yang bisa di dapat mulai dari sejarah,peninggalan para jendral, miniatur kejadian, hingga bangunan rumah pada jaman PKI dahulu.
Balik lagi dengan sejarah Museum Pancasila Sakti pada tanggal 1 Oktober 1965 menandai salah satu episode penting dalam sejarah modern Indonesia. Pada tanggal tersebut terjadi peristiwa yang selama masa pemerintahan Orde Baru dinamai "Pengkhianatan Gerakan 30 September (G30S/ PKI)"---sebuah peristiwa yang menandai padamnya rezim Soekarno dan munculnya rezim Soeharto. Kejadian ini diikuti dengan pembunuhan massal ratusan ribu (jutaan?) orang PKI, orang-orang yang dilabeli Komunis, atau yang punya hubungan dengan Komunis, selama masa kampanye penumpasan PKI yang dipimpin oleh TNI pada akhir 1965 hingga 1966 (Roosa 2006) terutama di Sumatra Utara, Jawa, dan Bali.
Menempatkan reproduksi sejarah di kompleks Monumen Pancasila Sakti sebagai objek studi untuk memahami proses pelayanan yang mempersyarati pembunuhan massal pasca-peristiwa 1 Oktober 1965 memang berpotensi membawa kita pada anakronisme. Oleh sebab itu, sebuah pemahaman awal perlu dipegang, bahwa proses peliyanan yang terepresentasikan oleh kompleks Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah proses yang telah mengalami refleksi dan rekonstruksi yang berulang, sehingga sampai pada kita hari ini dengan membawakan versi tertentu penggalan masa lalu dari sejarah bangsa ini. Dengan demikian, pengkajian ini sebenarnya bukanlah upaya untuk menelusuri rationale di balik pembunuhan massal pasca-1 Oktober 1965, melainkan rasionalisasinya.
Â
Banyak perkara seputar kejadian tersebut yang hingga kini masih menjadi misteri. Para sejarawan pun masih bersilang pendapat dalam menafsirkannya, terutama terkait pertanyaan tentang siapa dalang di balik gerakan tersebut, serta apa sebenarnya yang menjadi motivasi dan natur dari gerakan itu sendiri. Menurut Roosa (2006:62), terdapat setidaknya empat interpretasi umum yang jamak diperdebatkan hingga saat ini. Pertama, interpretasi resmi yang disusun oleh pihak TNI Angkatan Darat, bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI dan bertujuan merebut kekuasaan negara. Kedua, interpretasi para peneliti Cornell, terutama Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang menganggapnya sematamata pergolakan internal di dalam tubuh TNI AD. Ketiga, interpretasi bahwa gerakan itu didalangi oleh beberapa perwira TNI AD, namun disokong oleh PKI yang juga memainkan peran besar. Keempat, interpretasi yang merumuskan hipotesis bahwa gerakan itu digubah oleh Mayjen Soeharto dan beberapa perwira tinggi anti-Komunis di dalam tubuh TNI AD melalui penggunaan agen ganda untuk menyediakan dalih bagi penumpasan PKI dan pelengseran Soekarno dari tampuk kepresidenan. Keempat interpretasi tersebut memiliki celah argumen di sana-sini yang memberikan cukup alasan untuk timbulnya keragu-raguan terhadap tafsir yang ditawarkan---penyebab utamanya, setiap tafsiran cenderung beranggapan bahwa ada aktor tunggal yang mendalangi semuanya, entah itu PKI, perwira-perwira TNI AD, ataupun Mayjen Soeharto.
Namun demikian, meski apa yang sebenarnya terjadi seputar malam 1 Oktober 1965 masih menjadi misteri hingga saat ini, tampaknya tidak ada persilangan pendapat yang cukup berarti tentang signifikansinya, bahwa peristiwa politik tahun 1965--1966 yang berpuncak di malam itu menyediakan fondasi bagi berdirinya rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Berbagai upaya sistematis dilakukan selama Orde Baru untuk menjaga peristiwa politik tersebut tetap ada dalam memori kolektif bangsa Indonesia, baik melalui pengajaran sejarah di sekolah-sekolah, penetapan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak-hak dasar orang-orang yang dilabeli Komunis, peringatan Hari Kesaktian Pancasila, maupun medium-medium lainnya. Salah satu upaya yang juga signifikan adalah pendirian kompleks monumen dan museum di Lubang Buaya.
Kompleks Monumen Pancasila Sakti terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, tidak jauh dari Markas Angkatan Udara Republik Indonesia di Lanud Halim Perdanakusuma. Kompleks monumen dan museum ini sebenarnya terdiri atas beberapa kompleks bangunan yang dibangun tidak secara bersamaan. Bangunan-bangunan utamanya terdiri atas Monumen Pancasila Sakti yang dibuka pada tahun 1969, Paseban atau Museum Pancasila Sakti yang diresmikan pada tahun 1982, serta Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang diresmikan pada tahun 1992. Para pengelola dan petugas kawasan Monumen Pancasila Sakti, dalam kesehariannya di kompleks Lubang Buaya, terbiasa membagi situs tersebut menjadi empat wilayah utama: Ring Satu, Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Paseban, dan Ruang Relik.
Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) adalah bangunan utama yang didirikan paling belakangan. Museum ini berupa bangunan besar berlantai dua dengan koleksi utama berupa 34 diorama yang menggambarkan sepak terjang PKI, sejak 1945 sampai penumpasannya pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Selain diorama, di museum ini juga terpajang mosaik foto-foto dokumentasi terkait peristiwa politik 1965, serta beberapa senjata baik asli maupun replika yang digunakan oleh para "pemberontak" yang terafiliasi dengan PKI.
Sebagai upaya menjelaskan relasi antara peristiwa 1 Oktober 1965 dengan pembunuhan massal 1965--1966, argumentasi Roosa menitikberatkan pada justifikasi pembunuhan massal tersebut. Argumentasi ini tidak dapat menjelaskan bagaimana pembunuhan massal itu mungkin. Untuk persoalan terakhir ini, argumentasi Drakeley agaknya lebih menjanjikan. Namun demikian, analisis mengenai atmosfer sosiopolitik 1960-an yang ia ajukan juga tidak mencukupi, karena analisis semacam ini bersandar pada kekhasan situasional kurun sejarah tertentu sebagai dasar penjelasannya. Dengan kata lain, penjelasan semacam ini hanya dapat mengatakan bahwa peristiwa tersebut dengan sendirinya muncul karena kompleksitas situasi pada masa itu memang memungkinkan hal demikian.