Mohon tunggu...
Nurul Amalia Fitriyanti
Nurul Amalia Fitriyanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Defisit BPJS Kesehatan, Iuran Dinaikan?!

26 Mei 2018   22:55 Diperbarui: 26 Mei 2018   23:12 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan terkait defisit BPJS Kesehatan masih hangat dibicarakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, pasalnya defisit yang terjadi mencakup nilai yang dibilang fantastis sebesar Rp 9 triliun pada akhir tahun 2017 lalu. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil bagi ukuran jaminan kesehatan yang diperuntukan untuk nasional dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hingga saat ini, jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 185 juta orang, yang mengatakan bahwa setengah penduduk Indonesia telah mengikuti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang ditargetkan secepatnya terwujud Universal Health Coverage (UHC).

Keanggotaan di BPJS Kesehatan ini terdiri dari Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) termasuk fakir miskin dan orang tidak mampu, Non PBI termasuk PNS, pegawai swasta,TNI, Polri, lalu pekerja bukan penerima upah, serta bukan pekerja atau peserta mandiri.

Dalam mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), masih banyak ditemukan permasalahan dalam pelaksanaan JKN di BPJS Kesehatan, dan salah satunya terjadinya defisit mencapai Rp 9 triliun ini. Untuk itu, ada beberapa penyebab yang mungkin berkaitan terhadapa kejadian defisit ini, diantaranya:

Penyebab terjadinya defisit BPJS Kesehatan?

Pertama, masih adanya fraud dalam pelayanan kesehatan yang menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya, dimana menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Saleh P Daulay dalam keterangan tertulisnya untuk rekan media mengatakan, "Semestinya, BPJS itu hanya membayar sedikit, karena fraud akhirnya bayarnya banyak". 

Selain itu, banyak pihak, mulai dari petugas BPJS, pihak Rumah Sakit (RS), petugas medis, serta masyarakat yang masih melakukan fraud terhadap pelayanan kesehatan ini menjadikan kerugian akibat fraud bertambah besar. Karena itu, harus dilakukan penanganan yang cepat dari pihak BPJS itu sendiri.

Kedua, permasalahan pendataan juga menyebabkan defisit ini terjadi. Dapat dilihat, soal pendataan kepesertaan PBI, banyak peserta yang tercatat, namun orangnya tidak ada. 

Permasalahan inilah yang membuat kita bertanya, apakah peserta yang tercatat tadi tetap dibayar atau tidak? Karena kita tahu adanya sistem pembayaran kapitasi yang menyebabkan BPJS Kesehatan harus membayar kapitasi perbulan untuk setiap orang yang tercatat dalam fasilitas kesehatan tersebut. 

Selain itu, masih banyak peserta yang hanya membayar iuran saat ia sakit saja bukan setiap bulannya, ada juga peserta yang terlambat dalam membayar premi, hal ini dikarenakan ketidaktahuan peserta atau asimetik informasi terkait pembayaran iuran, sehingga menyebabkan dana BJPS Kesehatan pun tersendat.

Ketiga, penyebab utama dari defisit BPJS Kesehatan ini adalah jumlah klaim yang harus dikeluarkan lebih besar dibandingkan nilai pendapatan dari iuran para pesertanya. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, jumlah pendapatan iuran dari program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) hanya sebesar Rp 74,25 triliun. Sementara jumlah klaimnya mencapai Rp 84 triliun.

Permasalahan ini terjadi, karena belum sesuainya premi yang harus dibayarkan peserta dengan hitungan para ahli atau dengan hitungan akturia yang digunakan dalam program seperti ini. Sehingga, usulan akan besaran iuran yang dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy brief penyesuaian besaran iuran JKN-KIS tahun 2015 (mismatch), hanya berakhir sebagai "angin malam yang terlewat" saja tanpa didengar oleh Pemerintah.

Berikut merupakan tampilan perbandingan antara angka ideal besar iuran berdasarkan perhitungan aktuaria dan besar penetapan iuran oleh Pemerintah yang termuat dalam Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2016:

JKN. 2015
JKN. 2015
Jika dilihat dari tabel diatas, terdapat selisih yang cukup besar antara perhitungan aktuaria dengan penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah. 

Padahal idealnya, Pemerintah membayar premi sebesar Rp 36 ribu. Kenyataannya, peserta dari data PBI (penerima bantuan iuran) premi yang dibayarkan hanya Rp 23 ribu. Sehingga, ada selisih Rp 13 ribu rupiah dan jika dikalikan dengan jumlah peserta PBI yang saat ini mencapai 92.4 juta, maka nilainya tentu sangat besar.

Solusi masalah defisit BPJS Kesehatan?

Untuk itu perlu dilakukan langkah yang tepat dalam menanggulangi defisit BPJS Kesehatan ini.

Pertama, perlu dibentuknya tim anti fraud yang harus sikap dan tanggap dalam menyelesaikan permasalah pembengkakan biaya yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan, petugas medis, petugas RS, serta masyarakat itu sendiri terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Kedua, perlu ada sikap tegas dari BPJS Kesehatan serta Pemerintah terkait perilaku peserta yang sering menunggak pembayaran iuran tiap bulannya, serta perlu ada sosialisasi yang tepat bagi peserta yang tidak mengetahui aturan yang benar cara membayar premi, berapa bulan sekali harus membayar premi, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan demi mencegah terjadinya asimetrik informasi antar peserta dan asuradur.

Ketiga, perlu adanya dana tambahan. Seperti kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek sebelumnya, ia mengatakan anggaran yang diberikan untuk BPJS Kesehatan ini lebih banyak untuk tindakan kuratif penyakit tidak menular dimana biaya tindakan kuratif penyakit jantung untuk satu juta orang bisa mencapai Rp 6,9 triliun. Untuk itu, seharusnya penambahan dana lebih banyak diberikan untuk tindakan preventif.

Keempat, dengan menyesuaikan iuran masyarakat tiap bulannya dengan hitungan aktuaria. Dengan itu, harus ada kenaikan iuran seperti tabel 1 diatas. Pada peserta PBI, premi harus diganti menjadi Rp 36 ribu; serta pada peserta PBPU kelas II premi diganti menjadi Rp 63 ribu dan kelas III menjadi Rp 53 ribu. Hal ini merupakan sikap yang sangat tepat dalam menyelesaikan permasalah defisit tersebut.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun