Banyak cara yang bisa kita lakukan dalam menghafal Al-Qur'an, salah satunya dengan menggunakan metode lauh atau papan. Ning Nadia Abdurrahman alumnus Universitas Imam Nafie Tangier Maroko pernah mengatakan salah satu metode menghafal Al-Qur'an yang populer di Maroko ini diterapkan hampir disetiap masjid. Dan taraf menghafal Al-Qur'an disana tidak hanya dengan lisan, tetapi juga dengan tulisan. Maka dari itu, orang-orang disana menamai majelisnya bukan dengan qurro' atau orang-orang yang membaca, tetapi dengan kuttab yaitu para penulis.
Asal mula metode ini menggunakan media papan kayu berbentuk pipih dan memanjang yang terdiri dari dua sisi depan dan belakang. Cara menghafal ayat di lauh yaitu dengan menulis ayat tersebut, lalu bila ingin menghapusnya mereka akan menggosok lauh dengan air sampai terhapus dan dikeringkan di bawah sinar matahari atau dipanasi didekat kompor yang menyala, lalu digosok dengan batu putih (seperti kapur) secara merata dan dijadikan alas untuk tulisan berikutnya. Sarana untuk menulis ayat-ayat Al-Qur'an ini menggunakan pensil yang terbuat dari kayu dengan diruncingkan ujungnya untuk dicelupkan ke tinta berwarna hitam.
Diantara ada beberapa langkah menghafal dalam metode ini:
Pertama, setiap ayat yang akan ditulis lebih baik dipenggal atau dipisah menjadi dua bagian sesuai apa yang kita inginkan. Kedua, ayat pertama pada bagian satu dibaca secara binnadzor dimushaf  sebanyak kurang lebih lima sampai sepuluh kali. Ketiga, setelah ayat tersebut dibaca, lalu tulislah di lauh dengan tetap mengucap ayat tersebut tanpa ragu sampai ayat tersebut dikoreksi oleh kita sendiri. Keempat, sebelum lanjut ke ayat berikutnya pastikan ayat sebelumnya diulang lagi sebanyak lima sampai sepuluh kali dan sudah dihafal. Kelima, setiap lanjut ayat berikutnya ulangi langkah pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Keenam, ayat pertama sampai ayat terakhir yang telah ditulis, lanjut dibaca dan diulang sebanyak dua sampai tiga kali atau lebih. Ketujuh, selesai bagian satu ditulis, diulang, dan dihafal, tinggalkan sementara bagian tersebut lalu masuk ke bagian dua. Kedelapan, masuk bagian dua pada ayat pertama dan seterusnya, ulangi langkah kedua sampai keenam. Selesai bagian dua yang telah ditulis, diulang, dan dihafal lalu gabungkan dengan bagian satu dengan membacanya dari awal sampai akhir sebanyak sepuluh kali atau lebih.
Apa yang kita akan lakukan setelah menyelesaikan proses menghafal dengan cara menulis? Apakah ingin membiarkan hafalannya begitu saja? Atau ingin memperkuat hafalan tersebut?
Poin inilah yang harus diperjelas bahkan diperhatikan. Jikalau belum lancar, Kembali menghafal ayat yang telah kita tulis dan mentasmi' kembali hafalan sampai lancar. Dapat berhenti sementara, lalu esoknya bisa dihafal dan ditasmi' kembali. Dan jika sudah lancar, dapat berhenti sementara sampai semalam, untuk besoknya dihafal dan ditasmi' di pagi hari.
Dalam metode ini, ning Nadia Abdurrahman mengatakan bahwa semakin banyak melibatkan anggota tubuh dalam menghafal, maka akan semakin mudah hafal. Bukan hanya sekedar hafal oleh otak, mulut, mata, dan telinga, tetapi juga oleh jemari dan alam bawah sadar kita ketika menulis.
Maka, logikanya seseorang yang menghafal dengan suara lirih melibatkan anggota tubuh yaitu, mata dan mulut saja, pasti cenderung lebih susah nangkap dan hafal dibanding menghafal dengan suara lantang yang melibatkan anggota tubuh mata, mulut, dan telinga (karena mendengarkan suara sendiri), walaupun itu juga belum maksimal. Dan pada akhirnya seseorang menghafal ayat Al-Qur'an menggunakan mushaf lalu menulisnya dan menghafal dengan suara lantang.
Cara tersebut telah melibatkan anggota tubuh yang cukup banyak yaitu, mata untuk melihat mushaf, mulut untuk mengulang hafalan, telinga untuk mendengarkan hafalan, tangan untuk menulis ayat yang akan dihafal, dan ada nalar yang ikut berjalan beriringan bersama mereka.
Dan pertanyaan yang lumayan sering ditanyakan oleh beberapa orang, apakah metode ini bisa digunakan untuk menghafal selain Al-Qur'an?
Metode ini memang kesakralan milik Al-Qur'an, tetapi tidak lantas hafalan-hafalan lain tidak boleh menggunakan metode ini. Bahkan bisa digunakan jenis hafalan lain seperti, hafalan nadzom, hafalan pelajaran, ataupun hafalan lainnya.
Lalu bagaimana kalau saat ini tidak ada lauh?
Ning Nadia Abdurrahman juga pernah mengatakan bahwa perihal kecil yang tidak baik, tidak bisa dijadikan sebagai penghalang terwujudnya perihal besar yang baik. Maksud dari perkataan tersebut yaitu, perihal besar yang baik disini adalah menghafal Al-Qur'an dan perihal kecil yang tidak baik disini adalah tidak punya papan atau lauh untuk menulis hafalan Al-Qur'an. Maka kesimpulannya, kita tidak mungkin menggagalkan terwujudnya "hafal Al-Qur'an" hanya karena tidak mempunyai papan atau lauh. Papan atau lauh bisa diganti dengan buku tulis atau secarik kertas. Oleh karena itu, kita ambil saja inti pokok perihal ini yaitu cara menghafalnya, bukan tentang media apa yang harus kita pakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H