Eiyoo!! Kenalan yuk! Aku Nurul Afifah. Sedari kecil orang tuaku telah menetapkan panggilanku sebagai Afifah. Pertama kali muncul ke dunia di suatu daerah bernama Lubuk Tarok pada hari Minggu tanggal 4 April 2010. Keluargaku berdomisili di Sijunjung sehingga sebelum masuk asrama aku juga tinggal dari sana.
Takdir telah mempertemukan kedua orang tuaku sehingga mereka menikah pada hari Jum'at 13 Januari 2006. Pasangan yang saling melengkapi ini kupangil dengan sebutan papa dan mama.
Papa lahir pada tanggal 6 Agustus 1975 dan nenek memberinya nama Aprizal.Profesi papa saat ini ialah sebagai karyawan swasta di PLN. Papa punya keinginan kuat agar anak-anaknya suatu saat nanti dapat menjadi orang sukses melebihi dirinya. Sehingga membuat sikap tegas papa tidak terlihat mengherankan di mata kami, anak-anaknya. Namun, di sisi lain papa punya pribadi lembut dan humoris. Tak pelak kepribadianku yang receh ini adalah turunan papa. Tak ada batasan darinya tentang cara kami mengekspresikan diri sendiri selagi masih dalam batasan wajar.
 Sedangkan mama telah diberi nama Mesrawati sejak 18 April 1979. Kemudian, setelah menyelesaikan studinya sebagai perawat, mama menambahkan gelar di belakang dan depan namanya menjadi Ns. Mesrawati, S.Kep. Untuk saat ini mama melaksanakan dinas di RSUD Ahmad Syafii Maarif Tanah Badantung. Mama panutanku, ia menjadi titik acuan hidupku selama lebih dari 14 tahun aku menyinggahi dunia. Seperti papa, mama juga tak pernah membatasi ruang gerak anak-anaknya. Ia melepas anak-anaknya untuk terbang begitu jauh karena ingin kami menggapai hal-hal yang kami impikan.
Dalam keluarga kecil kami aku berperan sebagai anak bungsu dan memiliki seorang kakak laki-laki. Nama lengkapnya Fauzul Azmi, kupanggil  ia dengan sebutan Bang Ajul. Sebelas bulan setelah orang tuaku menikah, ia menjadi anugerah pertama dalam hidup papa dan mama. Sifatnya yang tengil dan jahil memang mengesalkan tetapi aku tahu ia berusaha menjadi abang yang baik. Dulu kemanapun ia pergi sudah menjadi kebiasaanku untuk mengikutinya selalu. Setelah beranjak remaja, kami dipisahkan jarak karena aku disekolahkan secara asrama. Namun, hubungan kami tak mungkin bisa merenggang hanya karena sebuah jarak. Saat kami bertemu kembali jarak itu malah mempererat hubungan kami.
Sejak zaman buyutku, kami sekeluarga telah memeluk agama Islam. Papa selalu shalat tepat waktu dan menjadi imam di rumah. Mama juga yang mengajarkanku untuk membaca Al Quran setiap malam.
Aku jatuh cinta pada hal yang orang-orang sebut dengan membaca dan menulis. Keduanya begitu serasi. Setelah membaca banyak hal aku akan kembali menuliskannya dalam bentuk sastra tulis seperti puisi ataupun sebuah cerita yang tak pernah kubagikan dengan siapapun. Dalam keluargaku belum pernah mengalir darah penulis, sehingga mama bilang bahwa aku mendapatkannya karena terlalu banyak membaca. Yah, setidaknya suatu saat aku ingin memberanikan diri untuk berbagi hal yang selama ini hidup bersisian dengan pribadiku.
Di samping itu, aku punya mimpi yang lebih tinggi. Mimpi yang telah kurangkai sejak aku mengerti bahwa hidup selalu memiliki tujuan. Sejak kecil, aku ingin sekali menjadi seorang dokter. Seiring bumi berputar, mimpi itu terus berubah dan pada akhirnya kuputuskan untuk merangkai asa pada profesi Ahli Bedah Jantung. Inspirasi ini muncul karena kekagumanku pada profesi mama dan ante yang memang bekerja sebagai tenaga kesehatan.
Sadarku bahwa mimpi tersebut memang terlalu tinggi untuk digapai. Bukan berarti menyerah, namun kusiapkan rencana cadangan jika memang suatu saat mimpi itu harus kukubur. Hidup harus tetap berjalan dan oleh sebab itu kutanam asa selanjutnya pada profesi Diplomat. Kupikir mungkin akan menyenangkan jika bisa mengelilingi negeri asing sembari membahas keadaan dunia.
Jika tak juga kudapatkan, aku masih bisa memupuk asa pada kegiatan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal yang mungkin terlihat biasa saja tapi setidaknya bagiku berharga.
Selama mengisi waktuku sebagai balita, mama menitipkanku di PAUD dekat tempat mama bekerja dulu. Saat itu umurku kurang dari empat tahun, dan tak banyak yang bisa menyinggahi ingatanku. Hanya satu yang kuingat, yaitu perasaan saat pertama kali aku mengetahui bahwa di dunia ada orang yang disebut teman.