Jujurlah…
Berbicaralah dari hati sekarang karena konon kau tidak bisa membohongi hati, apabila kau munafik, tidak mengakaui suara hati, kau tidak akan sepenuhnya menjadi orang yang beruntung.
Baik, ini pembicaraannya: kau mencintainya.
Entah sejak kapan kau membohongi diri dengan menggelengkan kepala agar kau bisa terhindar dari perasaan itu, tapi sayang hatimu yang berkepala baja itu seenaknya mendesakmu untuk cepat-cepat mengkauinya.
Satu hal yang betul-betul kau akui bahwa ini adalah cinta, kau benar-benar tidak memiliki alasan untuk mencintainya. Ketika orang mencintai karena tingkah lakunya, atau wajahnya yang tampan dan bisa membuat Juliet Capulet menghianati Romeo, atau karena matanya yang bercahaya seperti intan, sangat menyilaukan, kau sebaliknya. Kau bahkan tidak tahu bagian dia sebelah mana yang berhasil menggodamu, yang berhasil membuatmu cemas akan keadaanya, yang membuat bola matamu tergelincir sesaat untuk mencarinya sebelum akhirnya kau kembali pada rutinitasmu. Tanpa sadar kau telah memenuhi syarat seorang philofil, kau mencintainya tanpa syarat.
Ada dua jenis memori visual yang bisa kau alami, pertama ketika kau menghadirkan kembali imaji-imaji yang pernah kau tanam di laboratorium otakmu. Ini seperti saat kau harus menanam penurunan rumus inersia dalam kasus mesin atwood dalam otakmu, lalu kau berusaha menghadirkannya kembali saat UTS, kau menghapalnya, itu merupakan alternatif jika kau tidak berhasil memahaminya
Kedua, ketika kau tiba-tiba terinspirasi oleh replika-replika objek dari wajah-wajah yang kau cintai, wajah yang menjadi hantu di dapur pikiranmu. Di jenis kedua itulah kau jatuh, kau tidak bisa berlari pada kenyataan, kau seolah-olah terjebak dalam limbo berkepanjangan, tak tahu jalan pulang.
Ah, jangan bohong kawan. Kau memang mencintainya, namun kau tetap tidak mau mengakuinya!
Manusia memiliki dua aspek yang membantunya dalam mengambil keputusan. Pertama emosi dan kedua adalah logika.
Secara emosi kau menikmati emosi ini termasuk menikmati panasnya api-api cemburu yang berhasil membuat janggut santa klaus kebakaran. Kau pikir kaupun begitu, kau akan menikmati sorot matanya yang tiba-tiba menjadi indah, saking menikmatinya, kau tidak sadar bahwa secara biologis pupil matamu membesar pula sebesar mata kucing di malam hari pada saat bulan baru.
Secara emosi, ya kau mencintainya, bayangkan saja, jantungmu pasti tidak bisa menolak untuk meledak saat dia tersenyum wajar kearahmu, senyuman simetris bersahabat selama 2 detik ke arahmu dan ternyata itu berhasil membuat jam tidurmu molor selama 2 jam karena memikirnya! Ya, walau mungkin dia tidak pernah memikirkanmu walau hanya 0.000…1 detik.
Secara logika? Oh, ngomong-ngomong soal logika dan cinta, kau langsung teringat percakapanmu dengan dosen favoritmu.
Beliau :Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Kenapa proses natural tidak bisa kembali ke kondisi awalnya?
Kau    :          Karena waktu terus maju
Belau :          Lalu kenapa bila waktu terus bergerak maju?
Kau    :          Waktu terus melaju dan kita tidak bisa mengulangnya
Beliau :Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Kenapa kita tidak bisa mengulang waktu?
Kau    :          Karena… Ah, Pak. Saya pikir tak ada alasan kenapa kita tidak bisa
mengulang waktu. Karena begitulah sifat waktu, dia tidak bisa terulang, benar kan? (Kau berdalih tidak ada alasan lagi, padahal kau memang tidak mengerti)
Beliau :Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Demi masa
Kau    :          Maaf?
Beliau :Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Kau tahu?
Sederhananya, kita hidup dalam waktu. Waktu adalah medium dimana kita hidup, kita terperangkap dalam waktu. Karena kita terperangkap dalam waktu, kita tidak bisa menempatkan diri kita sebagai ‘pengamat’ yang mengamati seluk-beluk waktu. Kita tidak bisa melihat apa itu wujud waktu? bagaimana dia melaju? Kemana dia akan pergi? Kemana tujuan akhir dari perjalanannya? Bila mengamati saja tidak bisa, bagaimana mungkin kau bisa mengontrolnya? Mengermnya untuk sepersekian detik, apalagi jika kau bermaksud untuk mengulangnya.
Kau hanya mangggut-manggut sendiri, benar, karena kau hidup dalam waktu, kau tidak bisa melihat waktu dari sudut pandang ‘pemantau’.
Contoh lain, apakah kutu kucing bisa melihat bentuk kucing? Apakah dia bisa melihat apa yang sedang kucing lakukan? Ku pikir tidak, karena dia terlanjur menelusuk dalam tubuh hangat kucing tidak diam di permukaan tubuh kucing. Ya, begitu juga cinta, ketika berbicara tentang cinta lalu terjebak didalamnya, mutlak! Logika hanya bisa tutup mulut, diam, bisu, koma, dia sukar memantau wujud cinta, apa yang harus dilakukan saat jatuh cinta, karena dia terjebak dalam medium yang membuat dia kesulitan untuk menjadikannya pemantau, dia —bersama sahabat karibnya, hati—pun terjebak dalam cinta.
Begitulah kenapa kau tidak ingin mencintainya, kau takut, kau hanya takut, perasaan ini semakin tidak berarah, tidak menjadi sehat. Logis juga, kau takut karena kau tidak punya pengingat dan asisten dalam mengambil keputusan, karena dua-duanya –logika dan hati-- telah diculik oleh medium yang sekarang masih kau benci.
Lebih baik sedikit tidak harmonis dengan hati untuk beberapa saat, lebih baik menekankan bahwa cinta hanyalah cos 90, yang akan membuatmu menjadi nol dan merusakmu.
Dan hanya ada satu pilihan terakhir jika akhirnya kau tetap kalah dengan hatimu, kau akan mengalah, kau akan mengikuti aliran-aliran partikel hatimu, kau dan logikamy akan dengan senang hati atau dengan—seolah-olah—terpaksa mencintainya. Kau akan mencintainya.
Kau pada akhirnya mengakui bahwa kau mencintainya.
Itulah proses jatuh cinta.
--nurulaaisyah—
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H