NETIZEN DI ERA DIGITAL : IBARAT DUA MATA PISAU
(Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag, guru SKI di MTsN 2 Garut)
Kata netizen merupakan singkatan dari citizen of the net (warga internet). Netizen mengandung makna seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet pada umumnya yang aktif dalam berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, berkolaborasi, di media internet. Pengguna aktif di instagram, youtube, twitter, whatsapp, blogger, telegram, facebook, tik tok dan aktivis media sosial lainnya termasuk dalam kategori netizen. Jika seorang user hanya sesekali membuka internet, misalnya hanya menerima/membaca email, maka bekum bisa disebut netizen.
Di era digital saat ini, akibat cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan serta media dan teknologi informasi komunikasi yang begitu pesat terutama media sosial secara relatif mendekatkan jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah lain. Maka dari itu, pada tahun 2009 media sosial menjelma menjadi sarana informasi yang cukup potensial di Indonesia (Fahmi, 2011). Naiknya pengguna media sosial di Indonesia berlaku pada aplikasi jejaring situs pertemanan dan informasi. Dalam hal ini, hampir setiap masyarakat di Indonesia mempunyai dan mengakses media sosial yang ada. Media sosial ini juga bermacam-macam antara lain Facebook, Twitter, Instragram, Path, dan lain sebagainya (Nurudin, 2012)
Adanya kebebasan dalam menggunakan media sosial di era digital saat ini semakin membawa dampak negatif bagi netizen yang kurang bijak dalam menggunakannya. Misalnya, dalam berkomentar di akun media sosial, kebanyakan netizen selalu melanggar dari prinsip kesantunan berbahasa. Padahal sudah jelas bahwa kesantunan berbahasa perlu di patuhi oleh semua orang tanpa terkecuali. Tujuannya yaitu untuk menghargai lawan berbicara. Jika dicermati lebih dalam lagi, pelanggaran kesantunan berbahasa dalam komentar di media sosial banyak di antaranya yang selalu menyimpang dan memecahbelah persatuan warga internet dari kaidah kesantunan berbahasa salah satunya adalah ujaran kebencian (Hate Speech).
Ujaran Kebencian (Hate Speech) merupakan bentuk penghinaan (Wolfson, 1997). Dimana biasanya ujaran kebencian ini berawal dari sebuah kemarahan atau kekecawaan seseorang terhadap suatu hal. Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), bentuk-bentuk hate speech antara lain: 1) Penghinaan, 2) Pencemaran nama baik, 3) Penistaan, 4) Perbuatan tidak menyenangkan, 5) Memprovokasi, 6) Menghasut, 7) Penyebaran berita bohong.
Undang-Undang mengenai Etika Berpendapat di Media Sosial. Kaidah perlindungan kehormatan setiap orang dilekati dengan sanksi pidana, selain dari ketentuan KUHP ada juga ketentuan-ketentuan normatif di luar KUHP. Salah satunya adalah UU ITE. Berdemokrasi di dunia virtual khususnya diatur dalam UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan membuat dapat diakses sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang emiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”.
Secara sederhana UU Pasal 27 Ayat 3 mengatur tentang pencemaran nama baik, yang mana merugikan salah satu pihak. Sehingga dengan adanya UU ITE sebaiknya berpendapat di media sosial hendaknya beretika yang baik, jika perkataan yang ditulis membuat orang lain merasa dirugikan hal tersebut dapat dilaporkan dan diproses secara hukum. Namun UU ini juga disebut pasal karet yang mana memang beberapa hal kontroversi karena penilaiannya secara subyektif sebab bagi orang tertentu dirasa sebagai pencemaran nama baik, tetapi belum tentu bagi orang tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik. Namun dengan adanya UU ITE sedikit mendorong etika berpendapat yang baik karena jera atau takut terhadap sanksi pidana.
Berdasarkan paparan di atas maka saya berpendapat bahwa netizen itu terbagi menjadi dua yang pertama adalah netizen yang bijak (wise netizen) dan yang kedua adalah netizen beracun (toxic netizen). Wise netizen adalah netizen yang berada di jalur yang benar, menggunakan komentarnya dengan bijak, memiliki moral, bersikap positif, komentarnya menyejukkan, memberikan wawasan, dan memberikan tuntunan, sedangkan toxic netizen adalah netizen yang melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.
Setelah kita mengetahui tentang makna dan jenis netizen maka jika kita ingin menjadi warga Indonesia yang baik menurut Apandi (2015 : 36) akan pandai mengendalikan diri, memiliki kedewasaan berpikir, mampu mengambil keputusan yang bijak, memiliki visi hidup yang kuat, memiliki motif berprestasi, mampu beradaptasi dengan lingkungan, pekerja keras, ulet, menyukai tantangan, mampu bekerja sama, mampu membangun interaksi, komunikasi, relasi yang baik dengan orang lain, dan mampu membangun jejaring dalam mengembangkan usaha atau karier karena kesuksesan tidak bisa dilakukan seorang diri, tetapi membutuhkan kemitraan dengan pihak lain.
Dunia maya sama halnya dengan dunia nyata dimana didalamnya memiliki norma, etika maupun etiket maka dalam dunia maya pun memerlukan aturan. Aturan sebagai regulasi moral berinternet sehat diperlukan agar komunikasi digital yang terjalin diantara netizen berjalan dengan harmonis dan saling menghargai serta jauh dari konflik dan perilaku menyimpang (deviant behavior) sehingga membuat kehidupan netizen menjadi lebih nyaman (comfort life).
Implementasi aturan jika dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang akan memberikan dampak positif bagi diri netizen dan lingkungan sosialnya. Dampak positif bagi netizen ke arah penguatan sikap positif-nya akan membentuk generasi berkarakter, berintegritas, bermoral, memiliki mentalitas yang sehat, dan mendapat apresiasi dari orang lain yang bisa menjadi reinforcement bagi dirinya agar terus berbuat baik pada sesama. Dampak positif pada lingkungan menjadikan interaksi di lingkungan sosial menjadi lebih sehat dalam pola komunikasi yang lebih manusiawi dalam pola interaksinya.
Media sosial di era digital saat ini merupakan instrumen yang netral namun apabila penggunanya tidak bisa berhati-hati maka media sosial ibarat dua mata pisau yang bisa membuat bermanfaat untuk kebutuhan manusia sebagai pemotong makanan sekaligus bisa membinasakan ke lubang lahat sendiri jika digunakan untuk melukai orang lain. Maka dari itu literasi media sosial sangatlah penting sehingga kesadaran bermedia sosial secara sehat bisa merambah juga terciptanya persatuan dan kesatuan di masyarakat Indonesia. Waspadalah, ketajaman lisan terkadang juga mewujud dalam aktivitas di media sosial melalui status-status yang ditulis. Sudah semestinya, sebagai umat Islam membuat status atau berkomentar di media sosial yang tak menyinggung orang lain.
Allah SWT berfirman:
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar." (QS. An-Nisaa'[4]: 114).
Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari bersabda bahwa, "keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan".
سلامة الإنسان في حفظ اللسان
Penting untuk menjaga lisan. Sebab lisan diibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya akan melukai banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Apandi, Idris.2015. Guru Kalbu Penguatan SoftSkill untuk Mewujudkan Guru Profesionaldan Berkarakter. Bandung : Smiles
A’zunita Zainuri, A. A. F., & Oktaviani, K. M. (2021). Demokrasi Pancasila: Etika Berpendapat Warganet dalam Praktik Demokrasi Virtual di Indonesia. In Prosiding Seminar Nasional Ekonomi Pembangunan (Vol. 1, No. 3).
Juditha, C. (2017). Hatespeech In Online Media: Jakarta On Election 2017-Hatespeech di Media Online:
Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017. Jurnal Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 21(2), 223284.
Mawarti, S. (2018). Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian. Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 10(1), 83-95.
Nasrullah, Rulli. (2015). Teori Media Sosial (Perspektif Komunikasi, Kultur, dan SisioTeknologi). Yogyakarta: Simbiosa Rekatama Media.
Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tanggal 25 November 2016 Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008 Rekatama Media.
Nurudin. (2012). Media Sosial Baru. Yogyakarta: DPPM DIKTI.
Biodata
Nurul Jubaedah lahir di Garut, 19 Mei 1978. Pendidikan : D1 Akuntansi (1995), S1 PAI UNIGA ( 2001), S1 Bahasa Inggris STKIP Siliwangi Cimahi (2007), S2 PAI UIN SGD Bandung (2012). Prestasi : Pembimbing KIR : Membimbing 27 judul Karya Ilmiah Remaja kategori sosial budaya, menghantarkan peserta didik juara 1,2,3, dan harapan 1 kategori Sejarah, Geografi, dan Ekonomi (tingkat Provinsi), juara harapan 1 dan 2 (tingkat Nasional) (Juli 2019-September 2021), guru berprestasi tahap 1 di GTK Madrasah (2021), lolos tahap 3 AKMI KSKK Madrasah (Februari 2022). Karya : 13 buku antologi (Januari-April 2022). Memiliki 510 konten pendidikan di canal youtube dan website : 20 artikel (Oktober 2021-April 2022). Instagram (nj_78).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H