Mohon tunggu...
Nurul Amri Komarudin
Nurul Amri Komarudin Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I'm a lecturer of Environmental Engineering, Sumbawa University of Technology

Selanjutnya

Tutup

Nature

Analisis dan Kajian Mengenai Kebijakan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

17 April 2022   22:03 Diperbarui: 19 April 2022   14:18 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelestarian lingkungan merupakan salah satu masalah atau fenomena yang menjadi perhatian bersama baik di tingkat regional, nasional maupun global. Masalah ini muncul dari daya dukung yang terbatas dan pola pemanfaatan lingkungan yang luar biasa. Jika pola eksploitasi saat ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan lingkungan dan seluruh kekayaan alam yang dikandungnya akan habis atau hilang. Demikian pula pembalakan dan degradasi lahan, serta konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, merupakan kegiatan yang berkontribusi terhadap penurunan fungsi dan kualitas lingkungan itu sendiri.

Kelapa sawit memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam pajak dan penerimaan devisa. Artinya peranan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangatlah strategis dan menguntungkan secara ekonomi sehingga perluasan perkebunan kelapa sawit semakin meningkat setiap tahunnya. Menurut Sekretaris Jenderal Perkebunan Indonesia (2020), luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia khususnya di Sumatera meningkat sebesar 6,45% antara tahun 2012 hingga 2020, yang mana pulau sumatera masih menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia setelah Kalimantan. Menurut Statistik Perkebunan Indonesia (2020), Sumatera Selatan merupakan salah satu  provinsi yang memiliki lahan perkebunan sawit  terluas di Indonesia dengan luas sekitar 1,04 juta ha, menempati peringkat ke-6 setelah Riau, Kaliamantan Barat, Kaliman Tengah, Kalimantan Timur,  Sumatera Utara, dan Jambi.

Dewasa ini Perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu isu penting, karena berdampak langsung pada kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi penduduk di sekitar perkebunan kelapa sawit. Adanya persepsi masyarakat yang menyatakan perkebunan kelapa sawit tidak ramah lingkungan dengan tidak dapatnya menyerap karbon dengan baik sehingga dapat mempercepat terjadinya global warming dan adanya pemahaman masyarakat terkait dengan adanya perluasan perkebunan kelapa sawit yang dapat menimbulkan masalah sosial karena adanya anggapan perusahaan kelapa sawit memperkerjakan masyarakat secara tidak layak dan hampir mirip dengan perbudakan sehingga menimbulkan konflik sosial. Berdasarkan hal-hal tersebut, analisis dan kajian mengenai pengaruh perluasan perkebunan kelapa sawit terhadap kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal disekitar ataupun di dalam perkebunannya perlu dilakukan.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi Sumatera Selatan 2005-2025, Sumatera Selatan akan memperluas areal perkebunannya sebesar 4,7 juta hektar. Ternyata Pemprov Sumsel memiliki keinginan untuk menjadikan subsektor perkebunan sebagai salah satu alternatif program yang lebih baik ke depan. Memperkenalkan kebijakan nasional untuk meningkatkan kualitas otonomi daerah berdasarkan UU 22 dan  25 Tahun 1999. Salah satu dampak dari gerakan reformasi tahun 2004 No 32 dan 33, kebijakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di beberapa wilayah Indonesia. Namun, tidak jarang terjadi kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya. Sebagai salah satu hasil dari kebijakan pemerintah, undang-undang otonomi daerah dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit harus dilaksanakan dan dievaluasi agar dapat dinilai keberhasilannya baik dalam proses implementasi maupun hasil dan konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Di era otonomi daerah dewasa ini, kebijakan perkebunan kelapa sawit tidak lepas dari adanya UU No. 32 Tahun 2004, SK No. 38 Tahun 2007, dan UU No. 23 Tahun 2014 yang memberikan peluang kepada daerah untuk mengelola sub sektor perkebunan walaupun hal trsebut hanya sebatas pada program kerja pilihan. Hal yang sama juga berlaku pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Kelapa Sawit, yang secara jelas mendefinisikan pemisahan kekuasaan, termasuk perjanjian kerjasama.

Oleh karena itu, bahan hukum primer dan sekunder dan tersier harus ditinjau dengan membuat katalog dan menggabungkan data tentang undang-undang tingkat pusat, negara bagian, dan kabupaten. Data-data tersebut secara normatif ditaati dalam pelaksanaan regulasi politik tersebut. Analisis ini memposisikan kebijakan politik desentralisasi dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit sebagai variabel independen yang berusaha mengukur istilah desentralisasi itu sendiri, baik masalah kontrol teknis  maupun kewenangan regulasi.

Di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, penerapan kebijakan perkebunan kelapa sawit memberikan nilai tambah bagi usaha perkebunan dengan memperkuat wilayah hulu dan memberdayakan wilayah hilir, memberikan reward atau insentif, menciptakan iklim usaha yang kondusif dan meningkatkan partisipasi masyarakat di sektor perkebunan, serta meningkatkan daya saing. Tentang penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peraturan Kebijakan Perkebunan yang dikembangkan di daerah Sumatera Selatan dibentuk kedalam beberapa peraturan, diantaranya:  Perda nomor 05 tahun 2008 tentang urusan pemerintah daerah; perda no. 15 tahun 2008 tentang pembangunan jangka panjang sumatera selatan 2005-2015; dan perda no. 03 tahun 2008 tentang kemitraan pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan. Peraturan ini mengacu pada konsep otonomi masyarakat untuk memperkuat legitimasi daerah dalam kaitannya dengan kemampuannya mengembangkan perkebunan kelapa sawit di daerah. Dengan berlakunya peraturan daerah, dapat dikatakan bahwa arah rencana pembangunan perkebunan Sumatera Selatan  sejalan dengan arah kebijakan nasional.

Berdasarkan penjelasan di atas,  dapat di analisis  beberapa hal yang berkaitan dengan hubungan antara peraturan yang dikeluarkan. Keterpaduan antar sektor lain, baik antara pemerintah dengan sektor perusahaan yang mengelola sumber daya alam, maupun antar sektor  lain yang mempengaruhi kondisi sumber daya alam. Hasil analisis menunjukkan bahwa masing-masing Peraturan  berdiri sendiri dan seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain. Demikian pula keterpaduan antara kawasan hulu dan hilir dalam satu kesatuan ekosistem harus diperhatikan dalam peraturan daerah terkait  perizinan dan pembangunan. Ada korelasi yang kuat antara kegiatan hulu dan  hilir. Misalnya, tidak jelas apakah mempertimbangkan pemberian izin di  hulu akan mempengaruhi hulu. Beberapa peraturan daerah  yang dikeluarkan oleh masing-masing kabupaten memerlukan integrasi ini,  tetapi bagaimana dengan peraturan daerah lainnya? Perda  ini seharusnya menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan perizinan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun