Isak tangis istrinya dari dalam kamar serasa  mengoyak kelakiannya. Dalam rintih  itu seolah ada himpitan beban nasib buruk yang tidak berkesudahan. Lelaki yang masih berseragam polisi dengan tanda bintang di pundaknya  itu tidak pernah mendengarnya selama  Hampir 15 tahun dirinya menikah. Bahkan ketika harus berpisah untuk pertama kali dengan kedua orang tuanya  karena harus berpisah rumah, Ida istrinya tidak ada tangis pilu hanya air mata bawang merah saja.
"Abang keterlaluan, menyingkirkan orang yang sudah aku anggap sebagai anak sendiri. Abang tidak punya nurani." Suara Ida istrinya dari dalam kamar yang masih terkunci. Sementara itu dirinya hanya bisa mendengarkan dari ruang tamu dengan amarah yang masih ingin ditumpahkan.
Anak itu memang harus disingkirkan, tidak cukup hanya dipecat karena sudah terlalu banyak  tahu rahasia yang rapat-rapat disimpan. Minyak setitik dalam air akan membuat rusak semuanya. Tidak ada salahnya kalau hanya menghilangkan satu nyawa. Toh semuanya sudah dipersiapkan rancangan yang membuat seolah-olah anak itulah yang memang pantas untuk mati. Skenario itu sangat sempurna.
"Bagaimana sudah dikuburkan?"
"Siap, sudah."
"Kamu sudah memastikan kalau keluarga anak  itu tidak ada yang mencoba membuka peti mayatnya."
"Siap, sudah."
"Sekarang tugasmu ke skenario berikutnya."
"Siap, Jenderal."
Malam makin merangkak ke senyap, rumah seharga 5 milyar yang dibelinya dari cukong Bule di  lingkungan perumahan elit yang dihuni para bankir, Dirjen, hingga pejabat teras pemerintahan rasanya sangat lengang. Karena memang dibuat begitu, tidak sembarang orang bisa masuk ke lingkungan yang di tempati sang Jenderal, rumah yang dijaga satpam setingkat sersan yang menjaga kemanan dan berpetroli secara rutin. Â
Selain keamanan tingkat satu,  kamera pengintip alias cctv tertata rapi ter sembunyi. Sehingga tidak mungkin akan ada kejahatan yang akan terjadi. Bahkan semut yang bergerak di rimbun perdu di tiap pinggir jalan  komplek akan ketahuan. Tiga bulan lalu pernah ada kejadian anggota penghuni  kehilangan sepeda motor matic yang harganya setara dengan mobil sejuta umat.
Saat itu si empu sepeda motor pulang  belanja dari mini market depan perumahan. Namanya saja lagi apes, baru saja ditinggal masuk sudah ada yang membawanya kabur. Kalau orang di luar lingkungan perumahan itu akan langsung bingung, terus tindakan standar adalah lapor ke polisi. Kemudian di suruh menunggu, mungkin bisa sebulan, tiga bulan hingga berbulan-bulan, intinya  adalah lama . Hingga orang awam yang biasanya kehilangan sepeda motor akan mengikhlaskannya.
Tetapi ini adalah kejadian peristiwa sepeda motor yang hilang adalah milik seorang bankir di lingkungan sang Jenderal lagi, maka akan menjadi peristiwa memalukan jika tidak segera ditangani dengan benar. Karena asumsi orang akan muntah ke mana-mana  dan semuanya bernada sumbang.
Selanjutnya kejadian itu tidak butuh ganti hari. Si pencuri dan si penadah langsung di gelandang di kantor polisi. Tentu saja bantuan cctv yang tertata rapi di sepanjang lingkungan memudahkan polisi menangani pencurian sepeda motor milik si bankir. Dan tentu saja peran sang Jenderal  yang sangat  jelas, tinggal menyuruh ajudannya rekaman cctv dengan perintah untuk menyelesaikan secepatnya. Sang Jenderal hanya tersenyum kalau teringat peristiwa itu, 10 tingkatan  bawah dari seorang jenderal pasti akan segera melaksakan perintah. Atau pingin apes diroling ke daerah minus yang hanya mengurusi ayam hilang paling banter kambing hilang. Â
Dalam pikiran Sang Jenderal, kalau hanya maling sepeda motor bukanlah perkara yang masuk dalam daftar, di lirik pun tidak. Karena kini dalam rencana besarnya adalah menjadi orang nomor satu. Sang Jenderal yakin  tidak akan ada satu pun rencana yang sudah dikonsepnya akan gagal. Segala cara akan dilakukan biarpun  harus menghilangkan nyawa, kalau berani mengusik ketenangan hidupnya. Jangankan satu nyawa 12 derajat di bawahnya. Seorang Jenderal satu derajat di atasnya bisa disingkirkan.
Opurtunis bukan menjadi masalah besar jika orang-orang di lingkungan institusinya menyematkan kata itu dipundaknya. Karena realistis saja kekuasaan bukan bernama pengabdian,  tetapi orang yang dihormati adalah orang yang berada pada puncak rantai kekuasaan. Sang Jenderal melihat taman di belakang dari balik jendela yeng terbuka  di sela gorden. Cerutu kuba masih di tangannya yang sebentar di hisapnya. Tetapi lebih banyak didiamkannya, hingga hampir mati.