Setiap satu generasi bangsa ada orang yang sangat baik diciptakan Tuhan. Bahkan ciptaan Tuhan yang sangat baik itu bisa memberikan corak sendiri dalam bingkai keahlian masing-masing. Sehingga lanskap budaya manusia tampak selalu seimbang.Â
Kepergian Artidjo Alkostar menghadap Sang Khalik mungkin cara-Nya untuk memberikan pilihan kepada orang Indonesia agar orang jujur dan baik selalu diberikan kesempatan untuk memberikan kesempatan berkarya sesuai dengan keahliannya.
Setiap generasi akan selalu ada orang yang akan memberikan warna sendiri baik dalam bidang hukum, Â politik, seni, kesehatan, dan lain lain. Bangsa Indonesia pasti akan kagum dengan Soekarno -- Hatta, dwi tunggal pendiri bangsa yang telah memberikan kehidupannya untuk bangsa Indonesia. Atau Jenderal Soedirman, Jenderal Hoegeng Iman Santosa, Affandi, Pangeran Diponegoro, Gajah Mada, Bagong Kussudiardja, Gesang, dan masih banyak lagi.
Mereka adalah sekian dari orang yang telah Tuhan Ciptakan untuk lebih mengagungkan semua yang telah diciptakan-Nya. Karena hanya dengan satu orang saja di tiap generasi sudah  dapat dibuktikan bahwa nilai kemanusiaan hanya terletak pada keindahan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran bahkan semua sifat Tuhan akan selalu melekat pada ciptaan-Nya. Dan dari sekian juta manusia yang melakukan kebatilan akan tetap batil meski ditutupi dengan kata "seola-olah baik". Â
Masih banyak "Artidjo Alkoster" muda yang masih berada dalam kubangan lumpur yang belum diasah sehingga tampak kemuliaannya.Â
Andaikan saja  jarak antara sepeninggal Artidjo sudah ada seseorang yang mempunyai kredibilats mumpuni di bidang hukum sama maka bangsa Indonesia tidak akan begitu lama harus mencari sosok yang sama dengan beliau.
Tidak hanya kesempatan yang harus ada, namun penegakan hukum yang memang diperlukan kejujuran dari pengadil itu sendiri yang memang kuat dengan prinsipnya. Â Bahkan nilai moral yang kuat dalam memegang nilai-nilai kebenaran yang memang berkeadilan, namun juga harus didukung dengan situasi yang sangat memungkinkan agar orang baik itu tetap dalam tempat yang baik. Karena sudah menjadi rahasia umum ketika hakim yang baik memutuskan perkara sesuai dengan keadilan namun dirasa tidak adil maka hanya dalam hitugan hari si hakim akn di pindahtugaskan ke daerah yang minim perkara.
Keberanian Sistem untuk Menegakkan Kebaikan
Sudah menjadi pengetahuan yang jamak, jika legislatif, yudikatif, maupun ekskutif harus terpisah dalam pranatanya agar tidak terjadi interverensi.Â
Andaikan saja trias politika itu memang berjalan sesuai dengan koridor perundangan maka impian untuk menciptakan "Artidjo Alkostar" akan selalu mengalir tiap waktu dengan seleksi  dan proses yang berkualitas.
Tidak mudah memang untuk meletakkan hukum sebagai panglima selama tekanan hedonis lebih banyak dimuculkan oleh orang yang berperkara maupun orang yang mempunyai kepentingan.Â
Mereka akan selalu mencari peluang sekecil apa pun agar ruang yang lebih lebar untuk mendapatkan keuntungan dimiliki. Dan hanya ada satu kunci yaitu hukum harus bisa dimanfaatkan.
Setelah segala liku-liku  untuk meperkaya diri dan kolega berhasil namun tiba-tiba harus berurusan dengan kepolisian dan kejaksaan pintu terakhir adalah hakim.Â
Jika hakim sudah di tangan maka apa orang mau berkata itulah kenyataan. Hukum hanyalah milik orang yang mempunyai pengaruh dan modal besar. Â
Bukannya lembaga ekskutif tidak tahu masalah ini, karena segala mekanisme pangangkatan hakim bukan wewenang mutlak lembaga ekskutif namun juga harus melibatkan lembaga yudikatif.
Dengan harapan ketika seorang hakim dipilih dengan proses yang njlimet dan bahkan terkesan berbelit-belit akan didapatkan seorang atau beberapa hakim yang berkualitas. Boleh saja harapan itu diletakkan di atas kepala tinggi-tinggi namun publik pun pasti tidak akan lupa dengan kasus Akil Muchtar, seorang yang mempunyai keilmuan hukum yang sangat tinggi namun harus terjerembab karena kasus.
Boleh Menangisi "Kepergian" Â Artidjo Alkostar Tetapi Jangan Meratapi
Orang baik selalu akan dikenang, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan  belang, manusia mati meninggalkan nama. Dari manusia ada hingga kini hanya orang yang baik-baik yang akan selalu dikenang seolah-olah dirinya selalu hidup. Bukan usia panjang yang membuat orang itu akan selalu dikenang atau hanya karena usia pendek orang itu akan mudah dilupakan.
Bagaimana Jenderal Soedirman yang meninggal ketika masih berusia 34 tahun atau Cahairil Anwar yang berusia 26 Â tahun sangat muda untuk seorang yang pada masanya sangat berdedikasi pada bidangnya. Satu orang dalam kemiliteran, satu lagi dalam bidang sastra terutama puisi. Meskipun dalam dua sisi kehidupan yang berbeda namun berkat karya nyata yang dihasilkan masyarakat Indonesia seolah selalu diingatkan kalau memang demikian harusnya dalam bekerja.
Demikian juga  Artidjo Alkostar dalam opini saya, beliau hanya bekerja sebaik-baiknya dengan mengesampingkan hasil materi dari perbuatannya. Apa yang Tuhan berikan sudah lebih cukup dari seorang penegak hukum. Dengan kekayaan sekitar 200 juta yang dtinggalkannya kita semua pasti seolah tidak yakin dengan hitungan itu. tetapi demikian nyatanya, hanya kelak tinta emas akan selalu dituliskan dalam lembar bangsa ini, masih ada hakim yang baik di bumi pertiwi. Sehingga mungkin pas kata Chairil Anwar disematkan untuk Artidjo Alkautsar itu,
...
Tak Perlu sedu sedan itu
...
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H