Niatan baik Presiden Jokowi agar masyarakat turut serta mengkritisi pemerintah ditanggapi oleh berbagai pihak. Tentu saja tanggapan itu ada yang bernada positif maupun menanggapi dengan pesimis. Namun paling tidak ajakan  presiden yang ingin mengajak seluruh elemen bangsa ikut serta dalam arah kebijakannya patut untuk diapresiasi. Dengan demikian apakah saran dan kritikan itu hanya ditujukan kepada presiden?
Hierarki pemerintahan dari elemen r.t. kemudian r.w. selanjutnya desa hingga pemerintah pusat mempunyai kekhasan dalam menjalankan aturan-aturan yang dibuat. Tidak seluruh elemen terbawah mengerti dan bisa sinkron dengan susunan di atasnya. Sehingga tidak jarang keputusan yang dihasilkan dari r.t. saja bisa berbeda dengan kebijakan kabupaten. Karena kurangnya hubungan timbal balik dari pejabat di atasnya.
Dalih yang biasa terdengar adalah, setiap kantor pemerintahan atau lembaga swasta sudah ada kotak saran yang memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan kritiknya. Hanya saja berapa masyarakat yang sudah menggunakan kotak aduan itu, mungkin sangat kecil. Dan bisa saja hanya menjadi pajangan di depan pintu kantor sebagai pelengkap dan pemanis dinding.
Di era media sosial ini setiap orang yang mempunya aplikasi FB, Instagram, Twitter, dan lainnya sehingga dapat menyampaikan semua yang dipikir. Curahan pikiran yang hanya lucu-lucuan tentang ayam di rumah yang baru berkokok jam 7 pagi. Atau cuitan curahan dana desa yang tidak merata untuk pembangunan hingga mencoba berani berbicara tentang kebijaksanaan Joko Widodo.
Tentu saja negara yang baik akan menjamin warganya untuk berpendapat, namun sayangnya karena orang yang mengkritik ataupun dikiritik jarang menyelesaikan kata-kata yang terlanjur dilontarkan dan mempunyai rekam jejak di media dirasa merugikan diri orang yang dikritik, Â akhirnya membawa masalah itu ke ranah hukum. Akibatnya untuk tahun-tahun belakangan ini saling lapor masalah penjelekkan nama orang hingga nama instansi seolah tidak pernah sepi dari media berita.
Sehingga tidak urung banyak yang melontarkan nada pesimis tentang lontaran wacana agar rakyat bebas untuk memberikan kritik kepada pemerintah. Dan saya sendiri hanya melihat jika suatu kritik memang dibutuhkan untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan rencana, atau kritikan itu memang diperlukan karena memang ada kesalahan. Karena memang benar tidak ada ciptaan Tuhan yang sempurna, karena kesempurnaan mili-Nya.
Ketakutan untuk Mengkritik
ketakutan untuk mengkritik pemerintah mungkin menengok kejadian yang menimpa Ustad Maheer At-Thuwailibi alias Soni Eranata yang ditangkap polisi karena ada yang melaporkannya dalam peristiwa ujaran kebencian. Seperti yang sudah  diketahui selanjutnya oleh publik jika Ustaz maheer meninggal. Dan masih ada Sugi Nur Raharja alias Gus Nur yang juga ditahan polisi dengan kasus sama dengan ustaz Maheer, yaitu ujaran kebencian.
Perasaan takut untuk mengritisi pemerintah itu datang dari Kwik Gian Gie dalam cuitannya beliau kurang lebih mengatakan @kiangiekwik. "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah,"
Suatu cuitan yang beredar di dunia twitter adalah gagasan yang sangat terbuka, sehingga setiap orang pun bebas untuk memberikan tanggapan. Dari sekadar tanya kabar kepada beliau yang pernah malang melintang di zaman Gus Dur Hingga SBY. Atau mencoba beradu pendapat tentang ekonomi dengan ahli ekonom. Namun ketika bersinggungan dengan kebenaraan yang berlaku dalam maslahat umum tidak sedikit yang mengkritisi beliau.
Pada ranah-ranah tertentu para warganet sangat terbuka dengan ide yang membangun bukan dalam memberikan berita tidak benar dengan menyerang pribadi yang bersangkutan. Dan war istilah untuk berpolemik dalam cuitan memang  seiring terjadi yang berujung pula pada penangguhan suatu akun. Apakah mereka menjadi lemah untuk berpolemik?  Menurut pengamatan saya tidak ada yang membuat jera, karena akun mudah dibuat sambil menunggu akun utama muncul kembali.
Selanjutnya, orang-orang yang sudah berani berkomentar dalam suatu lini media masa harus sudah siap untuk bersinggungan dengan jutaan orang. Berbeda zaman sebelum masyarakat Indonesia mengenal internet ketika mencari satu berita harus menunggu Dunia berita. Kalau orang kaya sangat mudah untuk mengakses berita terbaru karena mereka berlangganan majalah dan koran. Bahkan untuk bisa menulis di satu  kolom media Koran saja sangat sulit, kecuali orang-orang yang mempunyai nama akan sangat mudah sehingga seolah-olah kebenaran gagasan untuk mereka yang mempunyai kekuatan uang dan politik.
Sehingga dari sini saja sudah kelihatan kritik zaman dahulu bisa di bilang tidak tersedia. Jikalau ada satu jawaban kritik tetap ada dan disediakan dalam kolom pembaca. Tentu saja akan berbeda maknanya ketika satu kolom berita utama harus diimbangi dengan kolom pembaca ketika muncul pun sudah melalui banyak editan. Dan belum tentu akan muncul bersamaan dengan berita yang edang viral.
Kalaupun ketakutan yang dirasakan oleh ekonom Kwik Gian Gie bukan pada tataran ide mungkin pada personal yang akan diungkit oleh warganet. Memang konsekwensi media sosial yang seolah tidak ada kontrolnya ini akan sedikit banyak merugikan orang-orang yang sudah terbiasa dengan kenyamanan dalam beropini.
Bahkan Jusuf Kalla pun seolah meragukan jikalau pernyataan Jokowi yang ingin dikritik itu akan mendapat sambutan. Karena JK sendiri menyadari ada ribuan bahkan jutaan Buzzer hingga Influencer yang akan mengkounter kritikan-krtikan. Kemudian akan berujung pelaporan sebagaimana Sugi Nur Raharja dan Novel Baswedan.
Warganet adalah Pencuit yang Jujur
Pembedaan kritikan memang kadang-kadang masih kabur. Dan waganet sediri menyamakan kritikan dengan mencaci maki, menyeberluaskan berita kebohongan, Â atau keinginan segelintir yang mengadu domba dalam ranah SARA. Dari wilayah WA, FB, Twitter dan lain sebagainya pasti akan ditemui orang-orang yang jujur dan sangat sadar jika pembelokkan logika pasti akan ada dan sudah kewajaran jikalau pendapat itu harus diluruskan.
Argumen-argumen yang matang dan berisi akan selalu menghidupkan pendewasaan dalam memberikan kritikan. Semetara peseimisme untuk memberikan kritika karena adanya ketakutan dibully ramai-rami oleh warganet kemungkinan besar karena tidak adanya argumen yang benar. Bahkan lebih miris lagi jika yang menyampaikan ketakutan itu adalah pihak-pihak yang sangat takut jika dominasi yang sudah dibangun itu akan hilang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H