Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Tjiptadinata Effendi, Mengasah Inspirasi

10 Januari 2021   15:13 Diperbarui: 10 Januari 2021   15:16 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : kompasiana.com/milik Pak Tjipta

Pertama kali menulis di Kompasiana pada tanggal 15 Agustus 2019, perasaan melambung sangat tinggi. Karena seolah mendapatkan rumah yang pas untuk ditinggali. Kemudian beberapa selang waktu kemudian ada yang memberikan komentar dan beliau adalah Tjiptadinata Effendi. Dan salam sapanya dengan kata frase yang khas, salam hangat.

Setelah beliau memberi salam di kolom komentar di samping memberi vote, baru saya sadari juga ternyata di kompasiana tulisan akan dikenal oleh penulis dan pembaca lainnya jika kita pun sering memberi vote dan memberi sapaan. Dari sini saya harus banyak belajar untuk mengartikan selembar tulisan bermakna atau tidak.

Ketika tulisan diberi komentar oleh orang lain terlebih yang memberi itu Tjiptadinata Effendi rasanya seperti menjadi "Iron Man" hehehehe... bukan berarti sapaan dari kompasianer lainnya tidak sekuat beliau. Namun ketika keaktivan seseorang yang tidak harus memulai dahulu sapa kemudian baru dibalas sapa. Itulah keunggulan beliau, dan harus diakui bahwa semua kompasianer harus menjadikan beliau sebagai panutan untuk menghidupkan keluarga di blog kroyokan ini. Dengan saling menyapa dan memberi vote dengan jujur.

Dan seiring saya menulis di blog ini tidak ada satupun yang tidak ada vote-nya dari beliau entah itu ragam tulisan kuliner, puisi, cerpen, politik,  dan lain sebagianya. Kalau sekiranya harus dicari kelemahannya dalam masa pertemuan di dunia ide ini dengan Beliau adalah  seperti mencari jarum di luar rumah yang terang benderang sementara kita kehilangan jarumnya di dalam rumah yang gelap tidak ada listrik. Sesuatu yang aneh pasti kan?

Dalam suatu masa dalam kolom komentar beliau berkabar kalau dahulu pernah berkunjung ke Pati, yang kebetulan adalah daerah tempat yang saya tinggali. Beliau dulu pernah berkata jika pergi ke Kota Pensiunan ini tidak akan pernah melewatkan ke restoran Kembang Joyo.  Yap selera yang sangat bagus pikir saya, memang hanya restoran ini yang hingga sekarang masih mempunyai pangsa pasar sendiri yaitu para priyayi di Pati dan sekitarnya. Tentu saja saya yang hanya kelas buruh sekali saja masuk menikmati hidangan yang disajikan. Memang selera yang sangat berkelas.

Mungkin begitu juga selera Beliau sangat berkelas di dunia tulis menulis khususnya  di blog Kompasiana. Tulisannya dibaca lebih dari  5.503.975 orang, adalah suatu pembuktian kalau ide Beliau sangat ditunggu tiap harinya oleh follower yang mencapai 4.025 orang. Yang artinya juga keterbacaan oleh kompasianer akan semakin tinggi.

Sementara itu hari akan semakin panjang dan saya pun masih yakin beliau akan tetap menyisihkan waktu bersama dengan Bunda Ros menulis segala pengalaman ketika masih malang melintang di negeri Indonesia hingga bertempat di negeri Kanguru untuk saat ini.
Tidak hanya pengalaman hidup namun nasihat-nasihat yang bijaksana pun tidak jarang dituangkannya juga. Bahkan sempat juga saya berpikir apakah Beliau ini punya saudara kembar identik berjumlah  empat orang. Karena tiap hari tidak pernah absent dari tulisan?

Pernah suatu saat saya sendiri menargetkan menarget satu hari harus satu tulisan, rasanya satu bulan itu masih ada saja hari yang bolong. Mungkin inilah pembeda antara Beliau dengan penulis lainnya yang masih bolong-bolong dan kadang-kadang kehabisan ide. Dari sini pun kadang-kadang  muncul pertanyaan apa ada pasar untuk memborong ide, imajinasi, atau apalah yang penting bisa memunculkan gairah untuk menulis. Kalau Om Cip pergi ke pasar itu boleh saya diajak.  

Om Cip (demikian saya memanggilnya mungkin terbiasa dengan teman Tenis yang berusia hampir seumuran dengan beliau dan beretnis sama) saya sering menuliskan ke kolom komentarnya, atau ketika beliau menyambangi bilik blog kompasiana saya.  Dan dalam kurun hampir 17 bulan saya mengenal Beliau jarak itu seolah sangat dekat meskipun hanya bertemu dalam kesamaan ide menulis kemudian dilanjutkan di bilik komentar,  dan memberi vote.

Dan setelah mengikuti tulisan Om Cip, niat untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik semakin kuat. Hanya menikmati proses hidup, kemudian mencurahkannya di dalam tulisan, karena tidak ada satu pun kehidupan yang meninggalkan proses. Sementara tujuan hanya menjadi penyemangat agar bisa menikmati setiap tarikan nafas dan tiap hentakan kerja dari otot.

.....
"aku ingin hidup
seribu tahun lagi"

....
(Chairil anwar)

Manusia saat ini tidak akan mempunyai masa kehidupan yang lama terlebih seribu tahun. Hanya saja manusia akan dikenang dan akan dianggap selalu hidup karena karya-karyanya. Mungkin dengan tulisan yang baik dan bisa dibaca tiap generasi maka akan dikenanglah kita sebagai manusia yang berumur panjang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun