Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sandya Kala di Kadipaten Parang Garuda (Tamat)

19 Desember 2020   05:28 Diperbarui: 19 Desember 2020   05:58 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : infobaru.id


Jesari dipengaruhi amarah pada puncaknya karena dibohongi oleh Soponyono dan Rayung Wulan ingin segera melunasinya dengan melenyapkan segala kotoran yang ada pada pikirannya.

Dirinya yang sudah mencintai gadis dari gunung Suko kemudian karena perintah orang tuanya dan ia anggap sebagai tugas kadipaten Parang Garuda ia singkirkan segala cintanya. Namun yang ia dapatkan suatu kenyataan dirinya dianggap sebagai bahan lelucon.

Leher kudanya ia pukul kuat-kuat suara ringkikannya  membuat kuda para prajurit pengawalnya juga ikut meringkik dan ikut menghentakkan kakinya kuat-kuat. Derapnya kian cepat secepat degup jantungnya yang terbungkus amarah. Seolah-olah kuda yang dinaiki Jesari tahu jika tuannya menginginkan semua perasaan yang diendamnya segera tuntas.

Gundah di dada amarah di kepala akan melupakan seluruh perhitungan nalar yang normal. Perangkap yang dipakai Kembang Joyo sangat sempurna, yang dilihat Jesari hanya Soponyono dan Rayung Wulan yang berdiri menantang seolah menanti kedatangan Jesari. Sementara itu pasukan pedang yang berada di dalam air dan bernafas hanya menggunakan bambu sebagai alat bernafas sama sekali tidak dilihat olehnya.

Jesari mengangkat pedangnya tinggi-tingi siap menebas,  dicambuknya punggung kuda lebih kuat lagi untuk melewati bambu kecil sebagai jembatan yang cukup lebar, sepanjang lima puluh tombak. Kuda pun menapak jembatan dengan hentakan yang kuat.  Jesari tidak menyadari atau memang tidak tahu jika dalam perang apa pun cara bisa digunakan.

Ketika kuda hampir sampai di tempat daratan yang telah ditunggu Soponyono  dan Rayung Wulan tetiba jembatan itu berderak dan runtuh. Parajurit yang mengikutinya tidak sadar jika akan ada perangkap. Bersama kuda-kudanya mereka berderak kemudian terjerembab jatuh  di sungai yang lebar itu.

Selanjutnya,  prajurit Carang Soka yang sudah berada di sungai mendapatkan  seluruh perangkap yang masuk ke sungai, seperti buaya mendapat makan siangnya. Mereka berebutan untuk menyempurnakan kehidupannya.

Jesari yang melayang dengan kudanya seperti menembus tembok putih. Tidak ada benturan, dirinya merasa menembus kabut putih. Langkah kudanya semakin membubung tinggi tidak lagi meginjak tanah melayang. Jesari hanya melihat semuanya serba kecil-kecil dan kemudian lenyap separti asap kemudian yang tampak adalah kabut-kabut tak bertepi.

Yuyu Rumpung yang melihat seluruh pembantaian itu, membuat amarahnya tak terbendung lagi dengan pasukan setianya ia terjang puing-puing jembatan yang masih tersisa. Hanya berjalan kaki dia melompat seperti tupai yang ringan dari satu pohon kepohon lainnya. Prajurit Carang Soka yang berada di samping sungai dan mencoba menghadang Yuyu Rumpung harus bersimbah darah kemudian mengerang menuju kematian.

"Pangeran Jesari, akan saya balaskan semuanya. Nyawa di balas nyawa," berkata demikian pasukan setianya yang terdiri dari prajurit pilihan berkuda diberi perintah untuk mengikutinya. Yuyu Rumpung mengamuk membuat barisan pasukan yang berjajar di samping sungai tidak lagi dalam satu kelompok barisan.  Kenyataan ini  membuat Kembang Joyo ingin turun langsung menghadapinya. Singopadu yang selalu berada di sampingnya mengetahui kemampuan Yuyu Rumpung baik dalam hal ilmu kanuragan maupun taktik berperang mencegah maksud Kembang Joyo.

"Saya tahu kemampuan  Raden Kembang Joyo, namun kemampuan ilmu kanuragan dan kesaktian dari pusaka saja tidak cukup menghadapi Yuyu Rumpung," kata Singopadu.

"Maksud paman Singopadu kemampuan saya kurang memadai untuk melawan Yuyu Rumpung?" masygul Kembang Joyo dikatakan kemampuannya belum sanggup menghadapi Yuyu Rumpung.

"Bukan maksud saya seperti itu, ingat saja Raden kejadian yang baru saja menimpa Sukmoyono. Kurang apa kemampuannya. Namun yang terjadi beliau gugur karena masuk dalam perangkap Yuyu Rumpung," Singopadu berusaha menjeleskan mengapa dirinya melarang Kembang Joyo Menghadapi Yuyu Rumpung.

Kemudian dirinya melihat Kembang Joyo mengelus Keris yang berada di pinggangnya, Yuyu Rumpung pun hanya tersenyum tipis, "saya tahu Raden Kembang joyo memiliki pusaka yang sangat sakti. Namun sekali lagi raden, saya hanya mengingatkan musuh yang akan dihadapi adalah seorang yang mempunyai pengalaman dan kecerdikan yang sangat baik. Kalau Raden ingin memaksa menghadapi Yuyu Rumpung saya persilakan," kata Singopadu.

Kembang Joyo terlihat berpikir kemudian dia mengambil suatu kesimpulan, lebih baik mengikuti nasihat Singopadu. Buktinya, Pangeran Jesari sangat mudah ditaklukkan dengan satu taktik yang sangat sempurna, "Baiklah paman Singopadu, saya serahkan Yuyu Rumpung untuk diselesaikan," kata Kembang Joyo."

"Terimakasih, dan sekarang saya mohon untuk pinjam kuda Raden Kembang joyo," kata Singopadu.
"Bukankah kuda paman Singopadu adalah kuda jantan pilihan, tidk seperti kuda saya ini betina," kata Joyo Kusuma tidak mengerti.
"Nanti pangeran akan tahu sendiri," berkata demikian Singopadu turun dari kudanya, Kembang Joyo melakukan hal yang sama.

Singopadu  dengan cekatan meloncat ke kuda betina milik Kembang Joyo. Kemudian memacunya secepat angina selatan yang bertiup pelan yang menandakan musim penghujan akan menjelang membasuh bumi dari seluruh kotoran-kotoran yang melekat padanya, sekaligus memberi kehidupan pada rumput yang kerontang pada musim kemarau.

Di tengah terik yang menyengat Singopadu sangat sadar jika dirinya akan menjadi umpan yang empuk Yuyu Rumpung jika menghadang di pinggir kali yang masih penuh air meskipun di penghujung kemarau.

Singopadau teringat betul bagaimana prajurit yang Majasemi di habisi dengan mudahnya saat perburuan dalang Soponyono. Para prajurit yang masih hijau strategi perang hanya mengikuti pancingan Yuyu Rumpung yang seolah-olah melarikan diri.

Namun ketika sudah berada di air tanpa ampun seluruh prajurit itu harus merelakan nyawanya melayang. Itulah mengapa musuhnya itu mendapat julukan Yuyu yang berarti akan sangat kuat jika berada di daerah lumpur.

Yuyu Rumpung yang sedang menebas lawannya membuka jalan agar pasukan Adipati Yudhapati mudah memasuki wilayah sebelah sungai tempat pasukan Carang Soka dan Majasemi tiada sadar akan adanya kuda yang berlari mendekati dirinya. Yuyu Rumpung tiba-tiba terhenyak dari punggung kuda dan tidak bisa  menghela, lari kudanya liar seperti kuda birahi. 

ikalau kuda jantan sudah ingin melampiaskan nafsu pada kuda betina maka tak satupun di depannya dianggap penghalang. Yuyu Rumpung pun hanya mengikuti gerak tubuh kudanyaa yang penting dirinya jangan sampai dihempaskan ke tanah kalau itu terjadi maka bahaya yang ada sama besarnya.

Prajurit Carang Soka sudah siap mengeroyoknya.  Satu kesalahan fatal jika dirinya menghentikan kuda yang tengah berlari yang sedang birahi. Yuyu Rumpung tahu jika kudanya hanya mengikuti kuda betina yang berlari seolah-olah menggoda itu.  

Kesadaran Yuyu Rumpung mulai menyatu ketika tahu yang ada di punggung kuda betina itu adalah  Singopadu, musuh besarnya. Lari kuda Singopadu ke arah barat laut menuju ke kaki Gunung Muria menerbangkan debu tipis karena hentakkan kaki kuda prajurit yang berada di belakang Yuyu Rumpung.

Tiba dikelokkan bukit tetiba Yuyu Rumpung dan di kagetkan  prajurit Carang Soka yang sudah berada di balik gerumbulan. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan untuk prajurit Yuyu Rumpung, karena mendapat serangan yang sangat tiba-tiba itu, maka sebagian besar menjadi korban dan prajurit sisanya berusaha mati-matian mempertankan nyawanya yang juga di ujung tanduk.

Yuyu Rumpung bukan tidak tahu semua pembantaian itu, namun karena kudanya tidak bisa dikendalikan maka dirnya hanya berusaha sebisa-bisanya agar tidak terlempar dari punggung kuda. Kalau sampai itu terjadi maka jurang di kanan dan kirinya sudah siap mengubur hidup-hidup. 

Singopadu tersenyum buruan telah masuk perangkap. Sengaja kuda yang dihela Singopadu dipelankan, tali kekang tidak dipegang kuat lagi, hinggap pada tanah lapang yang jauh dari sungai dan sawah dirinya menghentikan kudanya.

Yuyu Rumpung yang berada lima tombak di belakang Singopadu mau tidak mau harus menghentikan kudanya. Karena kuda jantan yang ditungganginya tidak mau lagi berlari setelah kuda betina Singopadu berhenti.

Tetiba Singopadu menepuk punggung kuda. Tepukan yang sangat tiba-tiba itu membuat kuda betinanya kaget dan berakibat lari tiba-tiba. Melihat kuda betina lari, kuda Jantan yang tengah birahi itu seolah tidak ingin lagi terpisah tetiba lari.

Yuyu Rumpung yang masih berada di atas kudanya tidak menyangka dengan kejadian ini, dirinya pun terhenyak dan refleksnya belum terjaga benar yang terjadi adalah tanah kering berbatu menjadi tempatnya terjerembab.

"Iblis kamu, Singopadu!" kata Yuyu Rumpung sambil berusaha berdiri, setelah dihempaskan kudanya.

"Rumpung... Rumpung, tidak pernah lagi mencium perempuan ya... tanah pun kamu kangkangi gitu," ejek Singopadu. Hati Yuyu Rumpung sangat panas, dirinya merasa dilecehkan. Sudah lama dirinya menendam penasaran ingin berhadapan dengan Singopadu, patih Carangsoka yang sangat tersohor.

Pukulan lurus mengarah ke ulu hati Singopadu, mendadak dilayangkan Yuyu Rumpung. Andaikan orang biasa pasti akan terhenyak dan jatuh seketika. Tetapi yang diserang dalah orang yang juga mempunyai ilmu sepadan dengan penyerang, meskipun agak terlambat tangkisan keluar bisa menahan pukulan itu. Bahkan dengan lembut pukulan Singopadu dari bawah yang mengarah ke dada Yuyu Rumpung membuatnya harus melompat ke belakang agar kepalanya tidak oleng.

"Singopadu, mari selesaikan urusan kita tidak perlu seperti anak kemarin sore bermain kucing-kucingan keluarkan senjatam!" kata Yuyu Rumpung sambil mengeluarkan keris dari sarungnya. Singopadu hanya tersenyum perangkapnya telah berhasil. Jikalau Yuyu Rumpung sudah dalam keadaan marah maka akan terbuka banyak sekali kelemahan padanya.

"Yuyu Rumpung, kamu memang sangat hebat di Parang Garuda, namun di sini. Kamu mengendalikan kuda saja tidak bisa," pelan-pelan Singopadu mengeluarkan keris yang sangat jarang dikeluarkan dari sarungnya. Ia tahu juga kalau Yuyu Rumpung masih Yuyu Rumpung orang yang banyak akal dan muslihat.

Tanah datar dipenuhi rumput ilalang, Gunung Muria dari kejauhan hanya terlihat puncaknya yang kali ini entah kemana kabut yang selalu menyertainya. Hari  sangat kering karena jilatan matahari  seakan memberikan hawa panas pada dua anak manusia lebih berani lagi mencabut nyawa ciptaan Tuhan.

Tidak ada lagi ukuran dosa, hanya dendam dan keinginan  rumput-rumput sudah menjadi lusuh karena injakan kaki dua  manusia yang tengah menyabung nyawa. Mata disipitkan mencari celah yang kosong, pada teriak rajawali dari jauh jelas ada isayarat yang ingin disampaikan.

Dan benar, bersamaan angin yang pelan dan melenakan tetiba ada gerakan sekilat nanar elang Singopadu telah menghujamkan kerisnya. Tidak dalam, tetapi senjata yang telah dipenuhi dengan segala bisa cukup membuat Yuyu Rumpung membelalakkan matanya dan tangan menggapai-gapai seakan ingin menyuruh malaikat pencabut nyawa untuk pergi.

Singopadu dari tempatnya yang agak jauh hanya bisa melihat pasukan Carang Soka masih dalam formasi di sebelah sungai. Sementara itu debu-debu tebal dari arah selatan yang menandakan pasukan Parang Garuda telah mendekati. Ia hanya berharap semoga saja Kembang Joyo tidak terpengaruh untuk menyeberangi sungai karena pasti ia akan mendapat kabar juga jika Yuyu Rumpung telah gugur.

Meskipun kabar itu menyenangkan dan membuat pasukan berlipat-lipat kekuatannya namun dalam perang ini Yudhapati adalah orang yang mempunyai kemampuan olah kanuragan yang cukup baik.

Bertahan di samping sungai akan menguntungkan karena musuh harus menyebarangi sungai. Hanya itu pertahanan yang dimiliki Oleh Adipati Puspa Andung Jaya. Hanya siapa yang akan masuk perangkap itulah ya akan menjadi pecundang. Perlahan dirinya segera menyuruh pasukan yang menyertainya untuk melakukan sesuatu, dan rencana terakhirnya akan membawa kemenangan telak untuk Carang Soka.  
****      
Senja mulai merangkak turun bayang pun sudah sepanjang badan sore pun akan menyambut, dan burung-burung pemakan bangkai sudah berterbangan di atas pinggir sungai yang memisahkan Carang Soka dan Juwana.

Adipati Yudhapati masih merencenakan sesuatu, dirinya harus berpikir keras untuk membawa pasukannya menyeberangi sungai yang demikian luas dan lumayan dalam meskipun hanya dua tombak dalamnya sungai yang di tengah namun jelas akan menghambat pergerkan pasukannya.

Kalau pasukan diajak memutar ke arah selatan dan mencari aliran sungai yang tidak deras dan dangkal, maka pasukannya akan memerlukan waktu setengah hari perjalanan. Bahkan ketika sampai pun pasukannya sudah terlalu lemah. Di tengah kebimbangannya itu tetiba ada prajurit utusan dari Carang Soka yang ingin menghadap.

Ternyata prajurit itu membawa surat dalam daun lontar yang dimasukkan dalam bumbung bambu kecil. Segera dibuku dan dibacanya, Yudhapati hanya tersenyum. Segera ia menyuruh prajurit untuk memberikan daun lontar untuk menjawabnya. Setelah ditulis jawaban dimasukkan lagi balasannya ke bumbung yang sudah disediakan pembantunya. Prajurit Carang Soka itu pun pergi memacu kudanya membawa balasan dari Yudhapati.

"Senopati, aku sendiri yang akan menghadapi Adipati Puspa Andung Jaya,"

"Tetapi, jika Kanjeng Adipati menyeberangi sungai sendiri maka saya khawatir jika pantangan itu telah dilanggar. Sebagai orang selatan sangat tidak baik menyeberangi sungai Juwana, terlebih dalam keadaan perang,"

"Tetapi sangat tidak pantas seorang Adipati menolak perang tanding ini. Karena jika yang mati hanya satu orang maka akan menyelematkan banyak orang, karena jika Puspa Andung Jaya yang mati maka seluruh prajurit dan kadipaten Carang Soka dan isinya akan menjadi milik Parang Garuda."

Senopati itu hanya terdiam, selanjutnya menyaksikan  Adipatinya berlari menyeberangi sungai melewati jembatan yang roboh. Sang Senopati bersama beberapa prajurit pilihan segera megikutinya, ketika Yudapati sudah sampai di tengah jembatan. Hati Yudapati teriris ketika melewati jembatan yang sudah menjadi onggokan karena baru saja putranya telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang ksatria.

Dirinya hanya ingin cepat menuntaskan perang ini dan kembali merajut masa depan Parang Garuda. Dirinya hanya menarik nafas panjang, sudah demikian jauh Yuyu Rumpung mengajaknya dalam sengketa dengan Carang Soka. Namun semua sudah terlambat, perang telah merusak segalanya.

Baru saja kaki Yudhapati menginjakkan kakinya diseberang sungai yang penuh lumpur seorang lelaki telah menghadangnya. Di belakangya tampak Soponyono didampingi Rayung Wulan, dan dibelakang mereka Adipati Puspa Andung Jaya.

"Andung Jaya, hadapi aku jangan berdiri di belakang. Pengecut kamu, Ke sini, " Yudhapati mengacungkan pedangnya ke arah Yudhapati.

"Yudhapati tidak perlu menantang Adipati Puspa Andung Jaya, sekarang akulan yang harus kamu hadapi. Karena sekaranglah aku panglima perangn Carang Soka,"

 "Rupanya Adipati Andung Jaya sudah menjadi perempuan, untuk menghadapi Yudhapati ini harus diwakili," kemudian Yudhapati melirik ke arah orang yang menghadangnya,"Sebutkan namamu anak muda untuk terakhir kalinya," Lanjut Yudhapati.

"Kembang joyo, begitu orang tua memberi nama pada saya," kata Kembang joyo dengan sopan namun sudah memasang kuda-kuda, siap-siap untuk bertahan atau pun menyerang.

"Bagus, kamu masih punya sopan pada orang tua. Tidak usah banyak kata, hunus pedangmu," berkata demikian Yudhapati menyerang dengan pedangnya lurus menusuk. Kembang Joyo yang sudah siap dengan segala kemungkinan menangkis serangan pedang Yudhapati.

Tangan Yudhapati bergetar demikian juga Kembang Joyo. Serangan awal untuk mengukur kekuatan lawan, sedikit banyak Kembang Joyo mengakui kehebatan kekuatan Yudhapati. Meskipun Yudhapati lebih tua darinya namun kekuatannya mendekati kesempurnaan.

Maka dari itu pada serangan berikutnya dirinya lebih banyak menghindar daripada harus berbenturan pedang dengan Yudhapati. Bayang matahari sudah sepanjang galah, burung-burung laut sudah banyak  kembali ke pohon bakau yang berada tidak jauh dari pertempuran itu.

"kembang Joyo, aku akui olah kanuraganmu cukup memadai. Mari kita keluarkan pusaka masing-masing agar pertempuran ini cepat selesai," Yudhapati mengeluarkan cemeti yang dililitkan di pinggangnya. Segera ia lecutkan ke udara dan suara, "tar... tar... tar...tar," menggetarkan seluruh yang mendengar tidak terkecuali soponyono, Adipati Puspa Andung jaya, bahkan para prajurit Carang soka ada yang langsung lemas. Namun Kembang Jaya hanya tersenyum kecil.

"Yudhapati permainan kuda-kuda nya sudah selesai? Kalau sudah, segera selesaikan urusan kita," Kembang Joyo mengambil langkah ke belakang mengeluarkan keris Rambut Pinutung takzim ia berikan, seolah ada nyawa di dalam warangka dan keris.

Ketika Yudhapati mengetahui kalau musuhnya sudah siap dengan pusakanya. Ia lecutkan cemetinya ke segala arah, keruskan yang diakibatkan dari cemeti itu  luar biasa. Pohon-pohon pun tumbang, maka arena pertempuran itu pun meluas hingga ke bibir pantai yang banyak tumbuh pohon kelapa.

Kembang Joyo hanya bisa berlompatan ke segala penjuru. Sangat beresiko jika harus menangkis cemeti Yudhapati yang panjangnya hampir sama dengan anakan bambu, hanya dirinya selalu mencari celah.

Benar juga pada serangan yang ke seratusan kali, Yudhapati agak lengah di antara dua pohon Kelapa gading yang tumbuh berdekatan cemeti yang dilecutkan mengahncurkan satu pohon, namun melilit pada pohon satu lagi, satu kesempatan dengan lompatan ke atas dan mendarat persis di belakang yudhapati satu tusukan lurus ke lambung mencukupi pertempuran. Bersama penguasa siang yang telah tenggelam di balik gunung muria, seakan tidak mau tertinggal nyawa Yudhapati pun menyertainya menghadap penguasai tunggal alam raya.

Prajurit Carang Soka dan Majasemi bersorak sorai suaranya menggema seolah suara reruntuhan tebing di musim penghujan. Sementara itu Senopati dan para prajurit Parang Garuda hanya pasrah pada keputusan pemenang, mereka semua paham dengan hukum perang.

Hanya saja mereka masih mengharap ada mukjizat yang bisa melepaskan mereka dari tajamnya pedang yang memenggal kepala. Kembang Joyo sangat mengerti dengan keadaan para prajurit yang kalah perang itu.

"Wahai prajurit Parang Garuda, Saya, Kembang Joyo sebagai panglima perang Carang Soka meminta kepada kalian untuk taat pada tuan kalian yang baru. Jikalau di lain hari kalian melakukan kesalahan yang serupa pada pemerintahan yang baru maka tidak hanya kalian tetapi seluruh keluarga kalian akan saya musnahkan. Camkan itu!," perintah Kembang Joyo, prajurit Parang Garuda tanpa diperintah dua kali meletakkan senjatanya kemudian bersimpuh di tanah sebagai tanda tunduk pada Carang Soka.

Adipati Puspa Andung Joyo yang tahu kepimpinan Kembang Joyo hanya bisa menatap ke langit timur yang sudah menampakkan bulan dengan bulatannya yang terang. Dirinya mengetahui jika sudah muncul pemimpin baru yang dapat membawa Carang soka yang sekarang ditambah Parang Garuda bahkan Majasemi akan menjadi kerajaan baru bukan hanya perdikan.

"Kembang Joyo sudah sepantasnya kalau dirimu yang memimpin kerajaan baru ini," kata Puspa Andung Jaya.

"Kanjeng  Adipati, masih banyak pejabat di Carang Soka yang lebih mumpuni dari saya, bukankah Kanjeng Adipati masih mempunyai Putri,"  Kembang Joyo melirik pada Rayung Wulan yang berdiri di samping Soponyono.  

Sebelum putrinya berkata Adipati Puspa Andung Jaya sudah memutus niat Rayung Wulan itu,"Kembang Joyo putriku akan selalu menurut pada perintahku," Rayung Wulan hanya menunduk ke tanah, ia tarik kembali kata-kata yang ingin diucapkan.

"Karena untuk memerintah Carang Soka, Parang Garuda harus ada seseorang yang mempunyai olah kanuragan dan ilmu batin yang mumpuni. Bahkan juga harus ada pusaka. Dan Kembang Joyo, ketika pertama kali aku melihat kamu megenakan dua pusaka itu. Kuluk Kanigoro dan keris Rambut Pinutung dalam batinku yang paling dalam hanya kamu yang bisa membawa daerah pantai utara, Carang Soka, dan daerah perdikan lainnya bisa bertahan hingga kelak akhir zaman."

Sebenarnya ada banyak kata yang ingin disampaikan Kembang Joyo, namun ketika melihat Singopadu hanya tersenyum dan manggut-manggut. Dalam diamnya ia menghitung langkah meninjau jarak melihat kenyataan jika kata-kata Adipati Puspa Andung Jaya yang telah membuka perdikan kemudian menjadi Kadipaten pastilah juga orang terpilih Sang Yang Widi.

Sebelum dirinya menyetujui permintaan Sang Adipati, ia hanya memandang ke arah selatan dekat dengan sungai yang landai membelah kadipaten Parang Garuda dan Carang Soka yang kini telah lebur jadi satu. Di sana akan ia dirikan kerajaan dengan nama Pati.      

(Pati, 19 Desember 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun