Daerah-daerah lainnya di Indonesia banyak juga yang memproduksi minuman seperti ciu itu, seperti sopi dari dari Maluku dan Flores, Swansrai dari Papua, Cap Tikus dari minahasa, Lapen dari Yogyakarta. Bahkan minuman asli dari seperti Balo dari Minahasa dan Arak Bali digunakan untuk upacara adat dan upacara keagamaan.
Cukai dari minuman keras pada tahun 2019 tidak kecil yang diterimakan untuk kas negara, yaitu 3,7 Trilyun. Jikalau cukai yang diperoleh demikian besar pastilah peredaran dan produksi itu sendiri akan melibatkan manusia dari proses produksi hingga sampai di tangan konsumen. Bahkan tangan-tangan kuat yang menjalankan usaha miras itu.
Mungkin sebagai gambaran saja Pemda DKI dikabarkan juga memperoleh keuntungan dari miras ini sebesar 100 milyar. Karena pelipatan pendapatan yang demikian besar maka tidak ada yang salah sepertinya jika Pemprof DKI melipatgandakan kepemilikan saham di PT Delta Djakarta (DLTA) dari 26,25% Â menjadi 58,33 % pada tahun ini. Kenaikan dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Â
Kalau melihat demikian besar keuntungan yang diperoleh dari cukai dan uang yang beredar dari mimuman keras masihkan DPR terutama penggagas untuk melarangnya? Atau hanya gertak sambal saja agar mendapatkan perhatian dari masyarakat Indonesia. Tentu saja Miras tidak harus beredar secara bebas namun pengaturan yang tegas merupakan jalan tengah yang bisa diambil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H