Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boleh (dong) Mengibaratkan Omnibus Law dengan Masakan Jengkol

12 Oktober 2020   12:15 Diperbarui: 12 Oktober 2020   12:21 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : tandaseru.id

Pada suatu waktu saat makan malam, hidangan istimewa disuguhkan di meja makan. Dan kebetulan seluruh anggota keluarga saya sangat menyukainya. Sehingga sangat klop terasa. Dan singkat cerita makan pun usai. Dan masih di kursi masing-masing, kita bercerita tentang sensasi makanan yang baru saja disantap. 

Semua seolah sepakat masakan ibu hari ini sangat lezat. Jengkolnya mengalahkan daging yang ada di meja makan. Bahkan anak saya yang baru kelas lima SD, terlihat hanya makan pete dan krupuk.

"Enak sih enak, tapi yang repot saya juga nantinya. Harus nyentor pakai pewangi yang banyak. Bau  jengkol pasti menusuk hidung." Kata istri saya.
"Kalau hanya masalah bau jengkol yang menusuk hidung, tenang saja habis ini saya akan akan makan pete." Jawabku sambil nyelonong pura-pura mau ambil pete.
"Ya, itu namanya sama saja, sami mawon, podo wae."

Gaya lawakan srimulata 80-an kadang-kadang masih bikin senyum-senyum kecil, saya hanya teringat saja dengan tiap peristiwa yang terjadi di sekitar yang berubah sangat pesat. 

Namun saling mengganti satu kejadian dekade lalu yang diganti sekarang yang beraroma tidak enak, kemudian ditambal dengan aroma lainnya yang sama tidak enaknya. Namun hanya berbentuk sense yang berbeda.

Ketika tahun 1870-an Belanda membuka seluas-luasnya investasi untuk membuka pemasukan, agar kemajuan di negeri yang dijajahnya terutama di Jawa menghasilkan produk yang berlipat-lipat. 

Selanjutnya pastilah hasil itu juga akan bisa menutupi perang yang baru saja usai dengan pangeran dari Mataram, yaitu Diponegoro. Dan pastilah bisa juga bisa membiayai perang yang sedang berlangsung di Aceh. Tentu saja kelebihan atau laba akan kembali ke pemerintah kolonial Belanda.

Kemudahan  seluas-luasnya usaha untuk berinvestasi, dalam perpajakan, atau yang lainnya dengan mengesampingkan aturan yang dianggap melemahkannya  yang sekarang lebih dikenal dengan omnibus law sudah dikenal pada era dulu. 

Jikalau sekarang masih ada yang kaget artinya, ya kaget saja. Hehehe... dalam kenyataanya peraturan yang dipakai oleh pemerintah kolonial waktu itu dapat mengikutsertakan peran swasta yang lebih banyak. Dan sedikit banyak mengurangi porsi pemerintah kolonial dalam mengatur perekonomian yang hampir habis karena perang-perang yang terjadi.

Hanya saja karena Negara Indonesia saat itu masih di bawah pemerintahan kolonial maka aturan itu pun harus berada pada kontrol mereka . Dengan sendirinya buruh yang dipekerjakan dianggap  para kerja kelas dua, tiga, bahkan disamakan dengan budak. 

Sehingga pendapatan  buruh dan pemilik modal seperti  langit dan bumi. Namun ada ada satu pengertian yang perlu digarisbawahi bahwa saat itu pemerintah kolonial dengan semangatnya untuk membuka iklim usaha yang seluas-luasnya terutama pada perkebunan dan pertanian sangat maju. 

Hingga kini pun peninggalan kejayaan pemerintah kolonial masih dapat di lihat antara lain di Cimahi dan Malang, atau pabrik-pabrik tebu yang sekarang masih berproduksi di Jawa Tengah. Bahkan di antaranya masih berproses.

Jikalau pun sekarang omnibus law yang akan diberlakukan dan mendapat benturan di sana sini, terutama para pekerja itu sendiri adalah hal yang sangat wajar. Karena pola yang diterima seolah-olah diri mereka akan disamakan dengan para buruh di era penjajahan. 

Seharusnya ada juga pola pikir jangka panjang  yang digunakan untuk menetralisir pengaruh yang sengaja dihembuskan yang berakibat buruk bagi para buruh itu sendiri. Yaitu dengan tersendatnya iklim usaha. 

Dan lebih luas lagi jikalau tidak ada teobosan baru maka akan semakin menumpuknya beban-beban keluarga, masyarakat, dan negara guna suatu penghidupan yang sangat dinamis.

Ibarat orang yang tidak tahu rasanya jengkol, pasti akan menjauhi karena sangat beraroma tajam dan sangat tidak enak ketika dimakan mentah-mentah. 

Namun ketika sudah dimasak dengan racikan yang pas, maka orang yang semula tidak doyan akan menjadi ketagihan. Dan selalu ingin ada masakan jengkol. 

Namun kalau orang itu sudah sangat alergi dan mungkin phobia dengan jengkol ya tidak usah dipaksa-paksa. Karena dirinya sudah tidak ingin membuka dirinya. Hanya yang dibutuhkan untuk merasakan masakan jengkol adalah berani untuk mencicipi.

Jikalaupun ada efek lain yaitu bau yang menyengat setelah buang air kecil maupun air besar, harusnya bukan menjadi masalah lagi karena di toko-toko atau di swalayan sudah banyak tersedia pewangi untuk menghilangkan bau yang tidak enak itu. 

Bahkan akan sama saja kalau setelah makan jengkol kemudian makan pete atau keduanya digabungkan sama saja untuk yang suka. Hilang bau jengkol tumbuh bau pete. Kalau tidak enak baunya  dikasih pewangi lagi.

Kembali lagi bagi yang suka makan pete akan menyenangkan ditambah lagi dirinya juga suka pete akan lebih menyenangkan. Kalau omnibus law belum kenal kemudian dikenalkan dan hasilnya baik mengapa tidak digunakan. Namun kalau antipati dengan jengkol, enaknya seperti apa pun tetap tidak akan diterima.

(Pati, 12 Oktober 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun