.
Hampir dipastikan si Hadi (nama tidak asli) jika datang ke rumah memakai sarung dan berpeci, berbaju koko, akan ada kundangan alias tahlilan, atau selamatan, syukuran dan semacamnya.
Kalimat yang di ucapkan juga akan sama, "Mas kulo sowan wonten dalem njenengan dipun utus Bapak Filan, kapureh maringi kabar bilih Panajenengan mangkeh bibar bakdo Maghrib dipun suwun kerso kempal syukuran." (Mas, saya datang ke rumah anda karena disuruh Bapak Fulan, supaya memberi undangan agar agar setelah Magrib bisa datang berkumpul untuk mengadakan syukuran) Kemudian berbasa-basi sejenak sebelum Hadi berpamitan untuk mengundang tetangga-tetangga lainnya.
Ada komunikasi yang masih hidup dan terjaga dengan cara-cara tradisional untuk mengabarkan suatu peristiwa secara langsung. Jikalau undangan untuk acara tahlilan atau syukuran yang masih terpelihara  dengan kata-kata baik kalimat maupun narasinya kemudian datang langsung, padahal sudah ada peralatan yang lebih milenial cukup di grup WA atau SMS maka semua sudah mengerti.
Namun bentuk-bentuk yang tidak kasat mata, berupa nilai kebersamaan dan penghargaan kepada lainnya yang membedakan suatu bentuk komunikasi satu dengan lainnya.
Jikalau ciri khas Hadi sebagai penyambung lidah tuan rumah agar diterima, pasti akan berbeda pula saat Pak Modin yang mengabarkan  berita duka di Toa masjid. Kata-kata yang dirangkai dan intonasi pun akan sama.
Bahkan sebelum orang mendengar apa yang dikatakan Pak Modin baru berdehem-dehem saja  dari pengeras suara, pastilah akan ada berita sedih. Asumsinya mudah, tidaklah mungkin Toa dibunyikan dari masjid ketika bukan saatnya untuk sholat. Â
Antara Hadi yang mengundang untuk berkumpul kondangan atau Pak Modin yang mewartakan kesedihan masing-masing mempunyai penanda yang sederhana. Karena selalu berulang-ulang dilakukan seolah-olah yang dilakukan mereka menjadi suatu ikon.
Jika mengundang untuk tasyakuran harus harus berpakaian koko dan berpeci mungkin sarungan. Sebagai bentuk menghormati yang mengundang dan yang diundang. Sementara itu kalau mewartakan sesuatu berita duka dengan suara jelas dengan intonasi yang hamper sama dengan orang yang pernah melakukannya.
kadang-kadang juga jika tugas pak Modin ataupun Hadi diganti orang untuk melakukan apa yang dilakukan mereka. Orang akan bertanya dahulu, misalnya tugas mas Hadi diganti oleh Badu kemudian pakaian yang dipakai pun tidak sama yang diapakai ketika melakukan undangan maka akan menjadi tanya jawab terlebih dahulu, maka akan sedikit merepotkan.
Lain halnya ketika mengubah tugas Hadi paling tidak menggunakan pakaian yang sering digunakan oleh Hadi maka yang diundang akan sedkit paham. Dan suatu saat jika hal yang sama sering dilakukan Badu maka yang diundang pun akan segera paham.
Kekhasan cara menyampaikan warta hanya akan dimiliki oleh individu tidak akan pernah sama meskipun dicoba untuk meniru hingga sedetail-detailnya. Ciri khas yang melekat tidak akan pernah hilang bahkan Pak Modin pun ketika suatu saat tidak bisa menyampaikan berita dan diganti oleh orang lain, bisa jadi bukan berita apa yang disampaikan. Orang-orang akan bertanya siapa yang menyampaikan berita itu.
Dan akan menjadi keheranan saja manakala suatu pewarta menyampaikan suatu berita tidak sesuai dengan narasi yang disampaikan atau malah terlihat hiperbolis. Tidakkah akan menjadi pertanyaan besar manakala Pak modin mengabarkan duka harus menangis sesenggukkan dengan maksud agar pendengarnya merasa trenyuh.Â
Atau haruskah Hadi berjoget-joget di depan orang yang diundang untuk tasyakuran untuk menggambarkan betapa bahagianya tuan rumah yang diwakilinya. Malah tanggapan lain akan diterima. O, sedang sakit.
Adalah pewarta tentang berita COVID-19 oleh suatu media televisi nasional yang sedang menggunakan masker ala pelindung gas beracun. Lebih tepatnya bukan masker tetapi topeng gas untuk melindungi pemakainya dari udara yang mengandung polutan berbahaya. Dan siapa pun ketika melihat masker yang dipakai pewarta itu maka imaji pertama yang timbul adalah telah ada bencana kerusakan udara yang sudah di luar ambang batas.
Akibatnya pun jelas, si pewarta dapat perhatian karena penampilan yang mengesankan seolah sudah ada kegawatan yang tidak bisa ditoleransikan. Dan masyarakat pun menjadi terpengaruh untuk menjadi panik.
Padahal maksud dari pewarta mungkin hanyalah ingin mengabarkan suatu berita yang tengah trending di dunia, kemudian menyatakan jika di negara Indonesia sudah ada yang terkena. Namun pembawaan yang kurang melihat situasi akan sama dalam bayangan seperti Pak Modin yang mewartakan kesedihan dengan harus menangis sesenggukkan di pengeras suara. Atau Hadi yang harus menjoget-joget karena ada berita gembira.
Apakah suatu berita akan selalu menjadi viral? Selama media selalu mewartakannya maka akan menjadi konsumsi keseharian sehingga publik pun yakin memang sedang ada sesuatu yang berbahaya makanya selalu diberitakan.
Namun sebaliknya ketika berita itu secara bijak disodorkan ke masyarakat maka penilaian positif pun akan muncul dengan sendirinya. Bukan malah memberitakan COVID-19 dengan masker gas polutan, mengapa tidak sekalian memakai kostum Halloween? Hehehehehehe....
(Wassalam) Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H