Nasihat yang ketiga adalah adanya bumbu, ya semacam bawang merah, bawang putih, merica, gula jawa, gula pasir, tumbar, ebi, dan sebagainya. Bumbu yang lengkap akan memberi cita rasa masakan menjadi lebih enak sehingga terasa di lidah, tentunya akan menjadi kenangan tersendiri bagi tamu.Â
Jika bumbu sudah tersedia bukan mengharapkan bantuan orang lain namun begitulah  budaya yang terpelihara saat ada yang punya kerja pastilah tetangga dan saudaranya akan membantu dengan memberikan bahan pokok yang lain semisal beras, ayam, itik, ketela pohon, ataupun bentuk lainnya sebagai bentuk silaturahmi.
Namun makna yang menyertai bumbu dapur itu adalah, tuan rumah harus dapat mempersiapkan diri kemudian  menyajikan bentuk jamuan yang beraneka ragam dari sifat-sifat orang yang hadir dari persiapan, pelaksanaan, sampai selesainya acara.Â
Tidak mudah memang mengemban tugas menikahkan seseorang di desa yang mau tidak mau harus bersinggungan dengan berbagai sifat orang dengan berbagai latar belakang. Dan sangat masuk akal jika bumbu itu diracik dengan baik akan dapat menghasilkan rasa yang tidak terlupakan.
Hingga menjelang maghrib Mbah saya memberi nasihat tentang persiapan pernikahan yang harus saya lakukan. Minimal saat ini yang disebutkan Mbah saya yaitu, bumbu, banyu (air), dan kayu latu (api) sudah ada. Tiba-tiba terdengar rombongan suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah. Orang-orang yang  mendekor rumah terdengar berbondong-bondong menyambut yang baru saja datang.
"Mas... aku wis teko (mas... saya sudah datang)." Terdengar adikku yang akan menikah sudah datang. Saya dan siMbah, saling pandang dan tersenyum artinya satu kesulitan sudah teratasi. Tinggal besok acara resepsinya semoga berjalan lancar. Wassalam. Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H