Selain krai campuran untuk masak kelo mrico yaitu tumbuhan katu. Tetumbuhan ini oleh masyarakat Pati bisa dijadikan tanaman hias di depan rumah yang bisa juga berfungsi sebagai pagar. Karena mudah cara hidupnya maka hampir setiap rumah di desa kabupaten Pati mempunyai pohon jenis ini.Â
Namun sayang sekali saat saya memesan kelo merico kali ini tidak ada campuran tanaman katu. Padahal kalau ada, ahhhay sekali. Segar. Tapi tidak apalah, memang lidah ini sukanya mencari sensasi lebih.
Sendok demi sendok saya khidmati  betul menghormati santapan yang akan menjadi daging dan tenaga bagi tubuh ini, sambil mensyukuri karuniaTuhan atas nikmat yang telah diberikan.Â
Memang sengaja saya memesan nasi dalam porsi sedikit agar tidak terlalu kenyang. Karena porsi yang pas akan memberikan kesan yang lezat tidak hilang-hilang, sampai tulisan ini tayang rasanya masih melekat di lidah.
Mengapa harus kepala selalu ada saat saya memesan kulineran? Sensasi makan kepala patin  bersamaan dengan kuah sangat menggelitik di ujung lidak dan dan langit-langit mulut. Apalagi tulan-tulang yang ada pada tulang kepala patin ketika beradu dengan gigi dan hisapan lewat lidah sangat tak terbendung sensasinya. Sampai air kuah habis tak berbekas, kepala patin menyisakan tulang,  dan daging ikan tertingga duri. Lagi selesai penjelajahan kuliner kali ini.
Pas pesanan tidak kenyang itulah prinsip berkulineran. Setelah istirahat sebentar dan cuci tangan menghilangkan bau masakan kelo merico, barulah diminumi air jeruk yang masih anget. Keluarlah keringat ciri khas orang Indonesia, keringat habis makan. Bukan keringat habis kerja hehehe... setelah cukup, tinggal membayar di kasir. Eh gak ada tempat kasirnya, langsung ke Mbaknya yang masak, merangkap pelayan, merangkap banyak tugas. Ciri khas warung bukan restoran. Dan berapa? Rp16.000; ya segitu harganya. Sangat murah. Â Â