Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak Jokowi: Let's Get The Rock

18 Oktober 2019   22:52 Diperbarui: 18 Oktober 2019   22:50 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat ada gula ada semut, tempat yang banyak tersedia makanan maka akan banyak pula yang mengerumuni untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Suatu hal lumrah dalam hidup, bahkan akan terlihat aneh ketika tempat yang banyak menguntungkan ditinggalkan. Kecuali tempat yang banyak gulanya sudah berangsur hilang gulanya si semut akan pindah. 

Sebagai pemenang pemilu PDI Perjuangan dan koalisinya bagaikan gula yang sangat manis mengundang semut-semut untuk datang, baik dari koalisi itu sendiri atau di luarnya. Selama hanya sekadar mencari makan untuk kelangsungan hidup, bukan untuk memperbesar pribadinya maka akan dimaafkan. Toh semua semut hanya mencari makan atas suatu irama dari raja semut. Tidak adalah semut mencari makan di luar irama yang sudah digariskan.

Setelah masa hingar bingar Pemilihan Umum 2019 yang diikuti oleh 14 kontestan sangat berat rasanya untuk mengatakan pemilu menyatukan bangsa. Meski pun tujuan utama pemilu memilih pemimpin negara dengan cara sebagaimana orang  berpesta, bergembira. Tidak ada yang berduka, tidak ada yang dirugikan semua harus bersuka cita.  

Namun ada saja yang ingin membelokkan kegembiraan itu menjadi keduakaan. Dan akibatnya  masa menuju pemilihan yang sangat panjang dari pengenalan parpol hingga pemilihan anggota legislatif dan puncaknya pemilihan presiden telah meninggalkan percik-percik noda di kain yang harus dicuci. Agar noktah itu tidak menjadi jamur dan merobek maka diperlukan kebersamaan agar semua tahu mana yang harus dibersihkan.

Bukan tugas ringan untuk merajut benang yang hampir kusut, menjadikannya kembali terurai kemudian dapat dipintal dan siap  ditenun menjadi kain. Tidak hanya presiden terpilih, Bapak Joko Widodo yang mempunyai tugas mengurai kekusutan negeri ini, namun semua elemen. Semua harus menyadari sebagai satu bangsa. 

Semua orang mempunyai pandangan hak hidup masing-masing,  semua manusia di Indonesia bebas berkeyakinan. Apalagi di era semua yang tidak bisa dibendung untuk memperoleh informasi, bahkan memperoleh penghidupan yang melebihi batasan kehidupan juga terbuka lebar maka adanya kesadaran sebagai bangsa sangat mutlak diperlukan.

Keberanian yang tegas sesuai dengan hukum, mutlak diperlukan oleh seorang pemimpin pada era seperti ini. Sebagaimana  kata Jokowi sebelumnya, di masa jabatan kedua ini beliau tidak mempunyai beban apa-apa. Jadi, Pak Presiden mengapa tidak loooos sekalian.  Pilihlah menteri  atau pembantu yang siap diajak bertarung.  

Maksimalkan semua ornamen negara dari tingkat pusat hingga desa. Tebang saja benalu bangsa tanpa ampun.   Rawe-rawe  rantas malang-malang putung... hehehehehe maaf Bapak. Pak Jokowi lebih tahu ya...

Bapak  Jokowi yang dari Sumber Solo dekat sekali dengan Mangkunegaran, entah kesengajaan atau Tuhan sudah menakdirkan jika  semangat Raden Mas Said sangat Bapak kenal. Atau malah Bapak punya darah mataram? Wah perlu tes DNA ya... falsafah-falsafah hidup dan  perjuangan para ksatria kadang-kadang terucap juga, misalnya dalam kesempatan bapak mengatakan menang tanpo ngasorke. Yang diartikan secara bebas setiap dalam pertempuran memenanginya tidak harus diajak berkelahi hingga musuhnya terjatuh. Namun yang lebih mulia adalah mengalahkannya secara bermartabat. Yang penting musuh kalah.

Saya jadi teringat bagaimana ceita ini masih mengakar di antara para penutur dongeng. Ketika suatu masa Raden Mas Said menyamar dengan sebutan sang Alap-alap Sambernyowo. Beliau menjadi tamu di suatu pedukuhan di Grobogan, saat makan tiba beliau diberi suguhan makan sang tuan rumah rupanya memperhatikan sekali cara makan sang Alap-alap. 

Yaitu cara makan yang mendahulukan bagian luar dan menyisakan bagian tengahnya yang akan dihabiskan paling akhir.  Karena yang menjadi tuan rumah juga seorang kyai maka langsung sang Kyai turun dari lincak semacam dipan dari bambu tempat mereka  makan bersama, karena Kyai tahu dihadapannya adalah seorang ksatria surakarta yang kelak menjadi Raja. Karena hanya orang setingkat ksatria sajalah yang mempunyai cara makan yang menggambarkan garis perjuangan hidupnya. Rupanya Raden Said mengetahui kejadian ini. Hanya saja ia berpesan kepada Kyai agar menyembunyikan jati dirinya yang sedang bergerilya melawan VOC.

Kembali Ke Jokowi , beliau tidak sedang berperang namun sedang membangun. Ia utamakan dulu Indonesia bagian luar, Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Sumatera. Sesuai dengan yang dilakukan Raden Mas Said meghabiskan hidangan dari luarnya. Kemudian akan membangun pusat dari pembangunan yaitu, yaitu manusianya sendiri. Jokowi  orang nomor satu  di Indonesia memanglah bukan raja. Bukan pula seorang diktator namun seseorang yang sudah mendapatkan amanat  lewat suara mayoritas. 

Sehingga Bapak tidak perlu ragu-ragu melaksanakan garis-kebijaksanaan sesuai dengan janji saat kampanye. Memang dalam menjalankan roda pemerintahan seperti bermain musik.   Maka ritme-ritme yang dimainkan akan banyak dipengaruhi oleh instrumen musik yang ada pada sekitar Jokowi. Dan ritme musik yang dimainkan adalah jenis musik yang disukai Bapak sendiri, yaitu musik  cadas. Mainkan saja Bapak.   Let's get the rock....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun