Angin bulan Agustus pada tahun ini terasa sangat kering, meskipun masih pagi hari. Hembusannya sangat kuat menghamburkan sampah-sampah kertas, bekas bungkus jajan makanan berbagai macam makanan kecil, hingga plastik-plastik pembungkus segala, semuanya seperti berlomba-lomba naik lompat-lompatan ke udara. Kontras dengan jalan yang sudah berkelupas aspalnya sehingga menyisakan kerikil-kerikil berdebu. Daun-daun pohon tinggal satu dua menggantung seakan-akan sangat tidak rela meninggalkan ranting-ranting yang sudah mengering. Semuanya berjalan sangat lambat tidak terkecuali serombongan perempuan yang sedang berjalan beriringan sambil membawa semacam bakul di samping kanan pinggang yang ditutupi kain. Tidak ada tawa di antara mereka, pandangan lurus ke bawah, seolah-olah mereka berjalan sambil menghitung tiap langkah yang diayunkan.
“Yu legi, akan kemana kok serombongan.” Tanya seorang perempuan di depan rumah yang tampak masih membawa sapu lidi di tangannya.
“Akan tilawat ke rumah Yu Surti, Kang Parman suaminya meninggal.” Jawab yu Legi sambil menghentikan langkahnya, dan membetulkan masker di wajahnya yang terlihat sudah kedodoran. Meskipun hanya orang desa, namun kesadaran mematuhi perintah memakai pelindung wajah selalu dtaati. Dan masker itu pun hanya dari kain biasa yang sudah kelihatan dipakai berkali-kali.
“Inalilahiwainaiahirojiun, kenapa yu?” tanya lagi si perempuan yang membawa sapu sambil berjalan menghampiri Legi yang berada di luar pagar.
“Anu Yu... “ Kata legi tidak bisa dilanjutkan karena temannya yang sudah berjalan agak jauh memanggilnya.
“Yu Legi cepat... “ Tampak salah seorang dari rombongan memanggilnya dengan melambaikan tangannya.
“Sudah dulu ya ... kae lho rombonganku gak sabaran.”
Si perempuan yang membawa sapu berdiri mematung, tampak sekali guratan kekagetan bercampur kesedihan dengan berita kematian Kang Parman. Kejadian tiga hari yang lalu ketika pagi hari sebelum berangkat ke pasar dirinya masih bertemu. Ia melihat Parman baik-baik saja, meski katanya agak sedikit meriang setelah pada malam harinya begadang di warung kopi di samping pasar. Saat itu dirinya masih sempat menasihatinya untuk mengurangi kebiasaan melek malam hari. Karena ia tahu Parman sudah punya riwayat asma yang menahun. Dan sangat ditekankan lagi sekarang lagi masa pandemic covid. Namun katanya dirinya sangat tidak bisa tidur kalau belum jam dua malam. Jika sudah di jawab begitu ya lebih baik diam. Toh Parman bukan saudara apalagi suaminya.
Pada pertemuan yang tidak dikiranya sebagai saat penghabisan itu, Parman menjanjikan akan membawa ikan hasil tangkapannya. Dan tiga hari sejak itu tidak ada kabarnya, biasanya setelah menemui aku pagi-pagi sekali akan menyerahkan hasil tangkapan ikan. Kemudia akan kujual kembali di pasar. Jika Parman menyerahkan ikan pada sore harinya akan aku berikan uangnya saat itu juga. Cara ini sudah lama sekali dilakukannya. Biasanya ia mendapat ikan dengan menjaring ikan di sungai di sebelah desa dekat pinggir hutan atau kalau sempat akan melaut. Sangat kebetulan mungkin atau memang demikian kehendak Tuhan jika desaku di penuhi dengan sumber alam yang melimpah ruah. Dari kali pun bisa di dapat ikan Gabus, dan, lele. Jika mujur akan mendapat tangkapan yang cukup banyak cukup untuk makan empat hari.
Kalau mau melaut hasil yang didapat juga akan lebih banyak, bisa berkilo-kilo dari jenis kakap sampai cumi-cumi. Dan hasilnya juga bisa membuat dirinya prei istirahat katanya alias tidak bekerja selama empat belas hari. Kalau sudah begitu biasanya aku sendiri yang akan repot, hanya bisa berjualan empat hari di pasar karena tidak ada lagi yang menjual ikan padanya. Hal itu dulu kerap terjadi sampai suatu saat dirinya tidak berdagang di pasar Karena tidak ada ikan yang dijual.