Pukul tujuh lebih sedikit saat tengah mengajar di kelas tiba-tiba ada pengumuman lewat pengeras suara kalau seluruh siswa harus berkumpul. Setelah saya tutup pelajaran kemudian  anak-anak keluar kelas menuju tempat yang ditentukan.
Saya lihat di lapangan upacara telah menunggu Bapak-bapak polisi dan kepala sekolah. Langsung ditebak pasti ada hubungannya dengan peristiwa anak SMK/SMA di Jakarta dan sekitarnya yang melakukan Demonstrasi kemarin. Pekerjaan bagus pak polisi ini namanya pencegahan, kalau kata pak dokter pencegahan lebih baik daripada pengobatan.
Kalau misalnya betu-betul terjadi ada demonstrasi hingga ada perusakan mau apa ini anak SMK di daerah jauh dari Jakarta ikut-ikutan, latah?
Sejatinya sejak Indonesia berdiri memang ada pelajar yang ikut dalam perang kemerdekaan misalnya Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Tentara Genie Pelajar (TGP), atau Pelajar Siliwangi, Pelajar Pati atau tentara dan masih banyak lagi di Indonesia pelajar yang bergabung untuk memperjuangkan  kemerdekaan Indonesia. Saat itu mereka sangat antusias rela mengorbankan jiwa raga untuk negaranya. Namun sekarang para pelajar sudah ada pada dimensi lain untuk berjuang. Â
Jadi fenomena anak usia belasan tahun ikut serta pada usia orang yang lebih dewasa darinya untuk suatu tujuan bernegara sebenarnya sudah mempunyai akar yang dalam. Dimulai sejak negeri ini berdiri. Lantas apa yang membuat kejadian kemarin aneh?
Ya tidak biasanya anak belia yang belum belum berusia tujuh belas tahun berpanas-panas, berteriak-teriak, mengepalkan tangan ke angkasa. Seolah-olah hari itu mereka dapat melepaskan seluruh beban yang menyertainya.
Beban dari tugas sekolah yang seolah-oleh menjadi kerja rodi tanpa henti. Seolah-olah pembuktian kepada khalayak tidak perlu harus kuliah kalau hanya sekedar bersuara lantang, melempar batu, melempar molotov.
Tidak ada asap jika tak ada api, begitulah peribahasa berbunyi. Seandainya ditanya oleh gurunya mengapa mereka ikut-ikutan demo  pasti akan dijawab tidak tahu. Paling jauh lagi jika bisa menjawab hanya ikut-ikutan teman. Karena anak usia belasan yang baru mengenal dunia maka pergaulanlah yang mempengaruhi perilaku mereka.Â
Temannya berbuat sesuatu yang baik atau buruk selama itu menyenangkan dan bisa dilakukan beramai-ramai maka akan dilakoni. Implikasi dari perbuatan mereka jarang dipertimbangkan masak-masak, hanya kata teman itulah asalnya.
Anak remaja ini akan merasa kurang update jika tertinggal dari isu yang sedang in, aktualisasi diri  sangat berharga tatkala mereka ada dalam kancah yang sedang menjadi trend. Imitasi adalah kata yang mungkin tepat untuk menggambarkan mereka saat berdemo.
Semua yang dilakukan oleh para mahasiswa dann orang tua kala berdemo masuk ke dalam memori mereka, kemudian akan diwujudkan pada suatu waktu. Dan kesempatan itu datang manakala ada yang menjadi basis ide, ada yang mengajak, ada yang mendanai anak-anak belia ini.
Ada yang memberi iming-iming, ada yang mencukupi kebutuhan saat berorasi. Rupanya para provokator sadar betul kelemahan anak-anak sekolah sehingga dengan gampangnya memobilisasi beribu-ribu dari mereka.
Rabu, 25 September 2019 betapa kita dikejutkan oleh anak SMK yang berdemo menyuarakan suatu aspirasi yang tidak mereka kenal secara detail. Hanya berdasar "katanya" mereka berdemo untuk RKUHP, "katanya"  masak gak boleh ng####e istri sendiri, dan masih banyak lagi "katanya" Anak-anak  yang masih lugu.
Bagaimana kita akan menyebutnya lagi kalau yang seharusnya esoknya mengerjakan PR tiba-tiba dalam demo, tiba-tiba mereka berani menyerang polisi, berani melemparkan batu tanpa tahu efek dari vandalistis itu.
Hanya anasir jahatlah yang tega menyuruh anak-anak yang masih panjang merenda cita-cita  untuk berbuat kerusakan. Dan sungguh tak elok tatkala  pelajar yang belum genap berusia 18 tahun diperalat untuk satu tujuan syahwat kekuasaan.
Saya yakin aparat kepolisian dalam dilema saat menangani  pelajar yang berunjuk rasa ini. Jika anak-anak yang belum dikenai pasal tindakan kriminal ini melakukan perusakan maka hanya akan ada peringatan kalau tertangkap.
Kalau tidak ditangkap mereka sudah melakukan kebrutalan. Jadi serba salah , namun efek ke depanlah yang harus dipertimbangkan oleh praktisi penegak hukum. Anak-anak ini sudah mempunyai pengalaman untuk melakukan demo suatu saat.
Sehingga langkah-langkah preventif  dan masif oleh praktisi pengajar meletakkan kurikulum yang tepat untuk  penguatan rasa berbangsa dan bernegara. Persis Seperti kata istri saya, Jangan ada kebakaran lalu sibuk memadamkan.
(Pati, 26 September 2019)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI