Mohon tunggu...
Nurul Chojimah
Nurul Chojimah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Hobi: membaca, meneliti, dan menulis. Topik paling diminati: linguistik (bahasa), pendidikan, dan kegiatan sehar-hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menangis

21 September 2024   21:41 Diperbarui: 21 September 2024   22:01 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guys, pernahkah Anda menangis? Menangis, bagi saya adalah respons sesaat atas suatu peristiwa yang menyebabkan kekecewaan mendalam, kesedihan ekstrim, maupun kepasrahan total. Saya biasanya menangis ketika hati saya benar-benar tersentuh sehingga menggetarkan emosi saya. Kekecewaan mendalam karena kenyataan tidak sesuai harapan meski ikhtiyar sudah sangat maksimal adalah contoh kasus yang bisa menggetarkan emosi dan membuat saya meneteskan air mata.  Gagalnya saya masuk ke sekolah yang saya impikan ketika saya remaja adalah contoh kekecewaan mendalam yang membuat saya menangis berkepanjangan. Kesedihan mendalam karena kehilangan orang terdekat adalah contoh kasus lain yang bisa menggetarkan emosi dan membuat saya menangis. Peristiwa wafatnya Ibunda di tahun 1993 dan Ayahanda di 2013 meninggalkan kesedihan yang sangat membekas dan membuat saya menangis. Tangisan juga akan muncul sebagai reaksi ketika saya menyadari keterbatasan dan kelemahan di depan sang Khaliq. Pada saat-saat yang sangat khusus saya bisa menangis ketika berdialog dengan-Nya dan meminta pertolongan-Nya.

Saya merasakan sangat lega setelah menangis. Apakah kekecewaan dan kesedihan serta merta hilang setelah saya menangis? Jelas tidak. Kecewanya saya tidak diterima di sekolah impian masih berlanjut sampai saya bisa menata hati dan pikiran dan meyakini bahwa pasti ada banyak kelebihan yang dimiliki oleh sekolah yang bukan pilihan saya. Kesedihan karena wafatnya Ibunda dan Ayahanda tetap bergelayut sampai saya benar-benar menyadari bahwa kematian  adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Tangisan di tengah kepasrahan tidak akan serta merta mendatangkan pertolongan-Nya sampai saya bergegas dan berikhtiyar maksimal sehingga pertolongan dalam bentuk 'the invisible hand' benar-benar hadir. Air mata yang tumpah sebagai respons sesaat atas peristiwa-peristiwa tersebut membuat dada yang sesak menjadi lega, membuat langkah yang berat menjadi ringan, mengubah jalan yang sempit menjadi terlihat lebar, dan menjadikan pandangan yang kabur menjadi terang. Singkat kata, saya merasakan banyak hal positif yang saya peroleh dengan menangis.

Selama ini sudah terbentuk keyakinan bahwa menangis selalu identik dengan perempuan. Sebagian masyarakat meyakini bahwa laki-laki tidak punya hak menangis karena diyakini bahwa laki-laki makhluk super power yang kuat menanggung beban seberat apapun. Maaf, Guys. Saya kurang sependapat dengan pendapat tersebut. Otot dan tulang laki-laki memang lebih kuat daripada otot dan tulang perempuan. Kulit laki-laki pun juga lebih tebal dari yang dimiliki perempuan. Akan tetapi, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hati yang bisa menggerakkan emosi. Karenanya, ketika laki-laki menghadapi kekecewaan mendalam, kesedihan ekstrim, maupun kepasrahan total, sangatlah wajar bila dia menangis. Ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa tersebut, emosilah yang tersentuh, bukan otot, tulang, ataupun kulit, dan tangisan adalah respons yang sangat wajar muncul.

Mengingat bahwa laki-laki adalah makhluk yang juga memiliki hati, maka saya sangat memaklumi ketika bintang sepak bola Cristiano Ronaldo menangis di saat tim yang dipimpinnya kalah melawan timnas Maroko di Piala Dunia 2022. Gagal mengantarkan timnya menjadi juara tentulah pengalaman mengecewakan yang sangat pahit. Kekalahan yang sangat pahit ini menggetarkan emosi dan ujungnya adalah tangisan di lapangan yang disaksikan jutaan pasang mata. Tangisan yang tidak bisa dibendung bukanlah bentuk kecengengan, tapi justru sebagai bentuk kelembutan hati. Tangisan sang bintang menandakan hatinya hidup karena dia bisa bereaksi atas peristiwa di sekitarnya. Dengan menangis, kesedihan sang bintang bisa sedikit terobati, kekecewaannya bisa sedikit diredam, dan semangatnya bisa mulai dibangkitkan.

Singkat kata, tangisan adalah respons sesaat atas suatu peristiwa yang menyentuh hati dan menggerakkan emosi. Tangisan bukanlah bentuk kecengengan, tapi sebagai bentuk kelembutan hati. Setujukah Anda dengan saya?

Malang, 21 September 2024 (17 Rabiul Awal 1446H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun