Mohon tunggu...
Nurul Chojimah
Nurul Chojimah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Hobi: membaca, meneliti, dan menulis. Topik paling diminati: linguistik (bahasa), pendidikan, dan kegiatan sehar-hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wawancara dan Microteaching Tes CPNS Kemendikbud Ibarat Killing Ground

21 Desember 2023   19:15 Diperbarui: 21 Desember 2023   20:13 9020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini anak saya ikut tes CPNS dosen Kemendikbud di kampus Wakanda di kota Konoha. Di seleksi CPNS ini ada dua tahapan tes, yaitu Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). SKD meliputi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Intelegensi Umum (TIU), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Tes ini bentuknya tes obyektif, dan dilaksanakan dengan sistem Computer Assisted Test (CAT). Dengan bentuk tes obyektif dengan CAT sehingga skor peserta bisa dipantau secara langsung, maka tes ini sangat transparan. Siapapun bisa memantau nilai peserta tes. Hasil tes ini bersifat menggugurkan sehingga peserta yang nilainya tidak melampaui passing grade tidak bisa lanjut ke tahap berikutnya.

Bentuk tes obyektif dan transparansi karena CAT membuat peserta yang gugur merasa legawa. Mereka yang gugur di tahap ini rata-rata bisa menerima dengan lapang dada. Di formasi yang diikuti anak saya, ada enam peserta yang lolos tes SKD, dan anak saya menduduki ranking pertama dengan nilai 448. Sahabat karibnya di ranking kedua dengan nilai 445. Di level universitas, keduanya berada di posisi kedua dan ketiga. Hal ini tidak mengherankan karena angka 448 dan 445 bukanlah angka yang rendah.

Selain SKD, ada Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) yang meliputi etika dan tri darma perguruan tinggi, literasi bahasa Inggris, penalaran dan pemecahan masalah, serta dimensi psikologi. Tes ini juga bersifat obyektif dengan sistem Computer Assisted Test (CAT). Diantara SKD dan SKB ada sub tes atau tes tambahan, yaitu wawancara dan microteaching. Keduanya tes subyektif dengan dua penguji dari intern masing-masing perguruan tinggi. Skor tertinggi tes ini 25 dengan passing grade 12.5. Tes subyektif ini bersifat MENGGUGURKAN, sehingga dia bisa menghapus semua capaian baik di SKD maupun SKB.

Anak saya mendapat skor 18 di uji wawancara, sahabat karibnya dapat 16.5. Dua pelamar internal mendapat angka sempurna, yaitu 25. Angka sempurna untuk tes subyektif dengan penguji dari internal ini cukup menciutkan nyali. Ada kekhawatiran bahwa pola yang sama akan terjadi di microteaching.

Dengan sepenuh tenaga, kekhawatiran tersebut berhasil kami tepis sehingga optimisme dan semangat untuk melaju sampai babak terakhir masih bersemi. Persiapan untuk microteaching dilakukan secara all out. Saya mendampinginya selama persiapan microteaching. Saya periksa slides power point-nya, saya bantu memilih diksi yang pas, saya bantu membenarkan pengucapan Bahasa Ingrris-nya, dan saya berperan sebagai mahasiswa bayangan sekaligus penguji bayangan ketika simulasi.

Saya bukan orang yang awam tentang microteaching. Dengan pengalaman mengajar di perguruan tinggi selama 30 tahun lebih, saya bisa menilai kualitas microteaching anak saya. Tanpa berniat takabur, saya yakin dia bisa mencapai passing grade, yaitu 12.5.

Kekhawatiran yang sempat muncul pasca wawancara ternyata terbukti. Anak saya dapat nilai 11.5, dan sahabat karibnya dapat 11, yang berarti keduanya TIDAK LOLOS passing grade. Pelamar yang merupakan dosen intern mendapat nilai hampir sempurna, yaitu 24.5. Pupus sudah harapan untuk bisa lolos CPNS karena berapapun nilai SKB yang akan didapat tidak akan berpengaruh. Microteaching menghentikan dan mematikan semuanya: meniadakan nilai SKD yang sedemikian tinggi, bahkan tertinggi pertama di tingkat formasi, dan tertinggi kedua di tingkat universitas. Microteaching is a killing ground for my daughter. 

Dengan segenap tenaga, anak saya tetap mengikuti ujian SKB meski kami tahu hasilnya tidak akan mengubah apapun. Hasil tes SKB ternyata berpola sama dengan SKD. Di formasi tersebut anak saya menduduki peringkat pertama dengan nilai 285, sahabatnya 281, di atas para pelamar internal dan para pelamar lain.

Sekali lagi, nilai SKB tidak mengubah apapun. Ini sangat menyakitkan. Menyakitkan, karena capaian tertinggi di SKB dan SKD gugur karena microteaching. Menyakitkan, karena penilaiannya terasa sangat terpola, yaitu: orang dalam mendapat nilai yang nyaris sempurna, orang luar mendapat nilai sangat minimal.

So What?

SKD dan SKB, dua tes yang sangat obyektif dan transparan, menjadi ompong alias tidak bergigi ketika harus berhadapan dengan dengan dua tes yang sangat subyektif (wawancara dan microteaching). Mengapa demikian? Sistem yang diberlakukan oleh Kemendikbud memungkinkan untuk itu. Wawancara dan microteaching yang sangat subyektif seharusnya tidak sepenuhnya diserahkan kepada universitas penyedia formasi. Penguji seharusnya ada dari internal dan dari eksternal sehingga penilaian bisa lebih obyektif karena ada pembanding. Dengan menyerahkan sepenuhnya kepada universitas, maka terbuka peluang untuk lebih mengatur nilai sedemikian rupa sehingga menguntungkan pelamar internal. Nilai sempurna untuk wawancara (25) dan hampir sempurna untuk microteaching (24.5) yang diperoleh dua pelamar internal pada kasus anak saya adalah bukti betapa sistem ini sangat rawan akan manipulasi dan nepotisme.

Hal lain yang bisa dilakukan oleh Kemendikbud adalah tidak menjadikan tes subyektif sebagai pisau PENGGUGUR sehingga nilai tes lainnya masih bisa bergigi. Jadikan tes obyektif sebagai penggugur, bukan tes subyektif. Keadilan akan bisa dirasakan oleh semuanya bila pelamar dinyatakan gugur dengan bukti yang bisa diakses dan bisa divalidasi oleh semuanya layaknya yang terjadi pada tes SKD dan SKB CAT.

Sistem yang memberi otoritas sedemikian besar kepada universitas penyedia formasi sebenarnya tetap bisa berjalan dengan baik dan terhindar dari nepotisme bila pihak universitas beritikad baik dan menjaga diri untuk tidak bernepotisme. Sebaik dan seburuk apapun suatu sistem, semuanya akan kembali kepada eksekutor dari sistem tersebut. Jika tes ini sebenarnya dialokasikan untuk kalangan internal, sebaiknya formasi tersebut tidak dibuka untuk umum. Pengumuman bisa diatur sedemikian rupa sehingga hanya kalangan internal saja yang bisa mengikutinya. Ketika formasi tersebut dibuka untuk umum, maka semuanya berhak diperlakukan sama. Tidak ada keistimewaan bagi siapapun termasuk bagi pelamar internal.

Bukan hanya anak saya yang merasakan ketidakadilan, namun juga ada ratusan (atau bahkan ribuan) peserta lain mendapat perlakuan serupa. Subyektivitas dalam proses seleksi ini telah merampas hak para calon dosen potensial untuk memberikan kontribusi terhadap pendidikan di Indonesia. Ini bukan hanya tentang mereka yang memiliki aspirasi untuk mendidik generasi muda Indonesia, namun juga transparansi lembaga pendidikan yang berdampak bagi semua unsur kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun