Mohon tunggu...
Nurul Chojimah
Nurul Chojimah Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Hobi: membaca, meneliti, dan menulis. Topik paling diminati: linguistik (bahasa), pendidikan, dan kegiatan sehar-hari.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berawal di Alley of Fear dan Berakhir di Bridge of Hope

7 Oktober 2023   16:47 Diperbarui: 7 Oktober 2023   16:51 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengunjungi Banda Aceh rasanya belum lengkap bila belum berkunjung ke Museum Tsunami. Museum ini terletak di Jl Sultan Iskandar Muda, berlokasi sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman. Museum ini 'berbicara' banyak hingga bisa mengkatifkan memori dan menggugah emosi pengunjung tentang bencana 26 Desember 2004.

Setelah menunjukkan tiket masuk di pintu masuk, saya masuk ke Lorong Ketakutan (Alley of Fear). Lorong ini tidak terlalu panjang, dan tidak pula terlalu lebar. Panjangnya sekitar 30-35 meter, dan lebarnya sekitar lima meter. Lorong ini temaram, bahkan cenderung gelap. Lantainya basah layaknya lantai yang baru tersapu hujan. Atap memercikkan air yang mirip dengan gerimis hujan. Suara deru ombak cukup jelas terdengar hingga saya merasa seperti ada di pantai.

Dengan suasana seperti tersebut, lorong ini belum bisa menghadirkan suasana bencana tsunami tahun 2004. Lorong tersebut belum bisa memanggil memori menggugah emosi saya terkait tsunami. Ketidaknyamanan emosi yang saya rasakan ketika di lorong ini sangat mirip dengan ketidaknyamanan ketika menjelang malam, hujan turun dan tiba-tiba listrik padam. Ketidaknyamanan batin yang sangat lumrah karena peristiwa yang sangat lazim terjadi.

Suasana batin menjadi sangat berbeda ketika saya memasuki ruang Memorial Hall yang ada tepat di depan ujung lorong. Suasana bencana tsunami sangat terasa di ruang yang cukup luas ini. Penerangan di sini minim hingga menimbulkan suasana muram. 

Suasana bencana semakin terasa dengan banyaknya prasasti yang di atasnya dipajang foto peristiwa tsunami. Ada foto Masjid Raya Baiturrahman yang masih kokoh berdiri di antara bangunan yang sudah rata dengan tanah. Ada pula foto gajah yang digunakan sebagai alat bantu mengangkat puing-puing yang tidak teratasi oleh tenaga manusia. Ada juga foto kapal nelayan yang karena tsunami bisa terdampar sampai di depan Hotel Medan Banda Aceh. 

Selain itu masih ada banyak foto yang mengisyaratkan kedahsyatan tsunami 20 tahun silam. Memori dan emosi pengunjung semakin dibangkitkan dengan adanya layar sangat lebar yang menayangkan peristiwa bencana yang mencengangkan dunia tersebut. Alunan lembut suara Syerina S Munaf yang menyanyikan Indonesia Menangis, sebuah lagu wajib kala itu semakin membangkitkan emosi pengunjung. Di ruang ini, pengunjung benar-benar dibawa ke suasana tsunami 20 tahun silam.

Keluar dari ruang ini, saya masuk ke ruang Chamber of Blessing alias Sumur Doa yang letaknya di depan Memorial Hall. Ruang ini berbentuk silinder layaknya sumur sebagai simbol kuburan massal bagi korban tsunami. Diameter ruang ini sekitar sepuluh meter (maafkan bila perkiraan saya tidak presisi). 

Ruang ini diterangi lampu temaram, berdinding gelap, dan bertuliskan 3.600 nama korban tsunami, dan di atap tertulis lafadz Allah. Perpaduan dinding warna gelap, lampu temaram, nama-nama korban, dan murotal Al-Qur'an yang mengalun lembut bisa  menciutkan nyali. 

Berada di ruang ini menyadarkan saya bahwa hidup dan mati jaraknya sangat tipis. Manusia, siapapun dia, berjumlah berapapun, tetaplah mahluk yang tanpa daya. Di saat masa kematian tiba, maka dia harus meninggalkan semuanya, dan harus tinggal sendirian, dan tinggal nama yang ditinggalkan. Manusia, siapapun dia, sekuat dan sedigdaya apapun dia, akan kembali kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Itulah yang saya rasakan ketika ada di ruang ini.

Nama-nama korban tsunami di Sumur Doa (Koleksi Pribadi)
Nama-nama korban tsunami di Sumur Doa (Koleksi Pribadi)

Keluar dari Chamber of Blessing, saya memasuki Confusion Alley alias Lorong Kebingungan. Lorong ini lebih sempit dari Alley of Fear.  Lorong ini berbentuk menikung, dan berlantai agak miring alias tidak datar. Di dinding tertulis 99 Asmaul Husna. Saya memahaminya bahwa setelah gempuran bencana tsunami yang luar biasa, yang melelahkan lahir batin dan mengeringkan air mata, kita tersadar bahwa masih ada Allah tempat mengadu dan meminta. 

Melalui 99 asma-Nya, kita terfasilitasi untuk meminta kepada-Nya sesuai kebutuhan. Kita bisa menyebut Ar-Rahman bila kita mendambakan kasih-Nya. As-Shomad bisa kita sebut bila kita benar-benar pasrah dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya tempat bergantung, dst. In short, lorong ini berpesan bahwa sedahsyat apapun bencana melanda, seterpuruk apapun kondisi kita, masih ada Allah tempat kita mengadu. Do not despair. 

Asmau Husna di Confusion Alley (Koleksi Pribadi)
Asmau Husna di Confusion Alley (Koleksi Pribadi)

Keluar dari Lorong ini, saya mendapati satu jembatan yang menghubungkan dengan ruang lain. Penghubung ini disebut Bridge of hope. Ruang yang ditandai dengan sebuah jembatan ini sangat terang karena sinar matahari bisa masuk dengan leluasa melalui atap. Sesuai dengan namanya, yaitu bridge of hope, ruang ini menghubungkan dengan ruang-ruang lain yang berisi foto-foto kebangkitan rakyat Aceh. Bridge of Hope seolah berpesan bahwa bencana yang merenggut ratusan ribu tersebut telah usai. Masyarakat Aceh dengan kekuatan doa dan simpati dari Masyarakat Indonesia dan internasional bangkit dan menyongsong masa depan. Bridge of Hope adalah simbol kebangkitan Masyarakat Aceh dari keterpurukan akibat bencana Tsunami.

Bridge of Hope (Koleksi Pribadi)
Bridge of Hope (Koleksi Pribadi)

Ruang-ruang yang saya singgahi seolah meyakinkan bahwa bencana tsunami 20 tahun silam benar-benar ada. Bencana tersebut bukan kisah di buku cerita, bukan pula berita rekaan media massa, tapi bencana tersebut riil adanya. Ruang-ruang tersebut juga menyadarkan bahwa melalui alam, Allah bisa menunjukkan kekuasaan-Nya yang tanpa batas. Ruang-ruang tersebut mengingatkan bahwa bencana dan keterpurukan akan berakhir bila dibarengi dengan ikhtiar dan doa.

Malang, 7 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun