Hari Ahad kemarin, saya berbelanja sayur mayur dan ikan segar di pasar dekat rumah. Meski telah menjadi hal yang rutin saya lakukan selama belasan tahun terakhir ini, tetap saja menyaksikan hilir mudik para pembeli berinteraksi dengan pedagang di pasar tradisional memiliki makna tersendiri bagi saya. Mencerminkan optimisme dalam menjemput rezeki, mengusahakan agar dapur masing-masing tetap berasap pertanda aktivitas hidup terus berlangsung.
Tiba di deretan lapak kedua, sandal yang biasa saya kenakan khusus untuk ke pajak, -istilah warga Medan untuk kata "pasar", -mendadak menganga sol-nya. Waduh, pikir saya, mesti segera mampir ke tukang jahit sepatu, nih. Di Medan juga kurang lazim didengar kata "tukang sol sepatu". Orang-orang menyebutnya tukang jahit sepatu. Menjadi bias dengan kata "penjahit" atau "konveksi sepatu", tetapi memang demikianlah kebiasaannya.
Beruntung keranjang belanjaan saya sudah penuh. Hingga bisa menunggui si kakek tukang jahit sepatu dengan tenang. Sambil memperhatikan tangannya yang sigap mengeluar-masukkan jarum dengan sejenis benang pancing, berbasa-basi saya menanyainya. Sehari-harinya ia duduk di dingklik kecil, menanti pelanggan yang singgah di meja kayu berukuran kira-kira 30x30 sentimeter.Â
Di usianya yang terbilang senja, perkiraan saya sekitar tujuhpuluhan, beliau tinggal seorang diri tanpa ditemani anak ataupun istri. Pendamping hidupnya telah berpulang lebih dahulu. Anak-anak dirantau orang semuanya. Beberapa tahun sekali baru bisa pulang ke Medan. Itu pun tidak bersamaan waktunya.Â
Tahun ini kadang si sulung dan keluarga yang menemuinya. Tahun depan anak nomor dua. Begitu seterusnya, bahkan ada saat-saat, satu pun dari enam anaknya tak menjumpainya. Bertahun-tahun kemudian baru bersua lagi, jelasnya.
Tampaknya ia pun tidak begitu mempermasalahkan persoalan kumpul keluarga ini. Ekspresi wajahnya saat bercerita, datar saja. Ia maklum, putra-putrinya pun bukanlah dari kalangan berkecukupan. Setali tiga uang dengan kehidupannya di sini.
Salutnya, jika lapak super mininya ini sepi pelanggan, ia tak putus asa. Begitu jam ramai pajak ini berakhir -karena pasar ini bukanlah pasar tradisional yang besar, sekitar pukul duabelas pengunjung pun berkurang- ia tidak langsung pulang.Â
Namun pergi ke kuburan yang lokasinya kurang lebih satu kilometer dari pasar. Dengan cekatan tangan rentanya membersihkan pusara dari rerumputan liar yang tumbuh tanpa izin. Uniknya, selalu ada saja orang yang berziarah di kompleks pemakaman tersebut. Sehingga bagi si kakek, rezekinya ada dari sana.Â
Saya tertegun dan berkata-kata dalam hati. Ya Allah, orang ini sudah tua dan hidup sebatang kara. Namun kegigihannya berikhtiar dalam menyambung hidup secara mandiri, patut diacungi jempol. Saya teringat beberapa orang yang masih muda usia tapi mudah sekali mengeluh lelah mencari penghidupannya. Badan yang masih kekar seolah tak sesuai dengan mindset-nya yang kerdil.Â
Rezeki itu bisa didapat dari mana saja asal memang berniat keras untuk mendapatkannya. Malu pada kakek tua yang fisiknya saja terbatas, namun semangat mengais rezekinya sungguh sangat layak diteladani.Â
Tak terasa pekerjaannya menyatukan kembali sandal saya dengan alasnya pun selesai. Saya melebihkan upahnya beberapa ribu rupiah. Ia tersenyum dan mendoakan saya agar berhati-hati di jalan. Betapa saya memperoleh pelajaran berharga darinya.Â