Kamis pekan lalu saat saya sedang berada di Kantor Kopertis Wilayah I Medan, tiba-tiba masuk telepon dari nomor tak dikenal. Ternyata putri saya menghubungi dari wartel pesantren. Mengabarkan kalau dirinya merasa demam, pegal-pegal sekujur tubuh dan meminta saya segera datang menengoknya ke pesantren.Â
Meski urusan saya belum selesai, setelah permisi dengan staf kepegawaian selaku mitra yang mengurusi berkas kepegawaian, saya pun tancap gas ke pesantren tempat putri saya belajar hampir setahun ini.
Sesampainya di sana, ada bintik-bintik luka di wajah, punggung tangan, lengan dan kaki anak saya. Langsung saya temani untuk permisi ke Department of Guidance (Bagian Pengasuhan) untuk dirawat di rumah atau ke klinik dekat rumah.Â
Pihak pesantren melalui pengasuhan tidak mengizinkan sebab di lingkungan pesantren sendiri telah tersedia fasilitas kesehatan, klinik pesantren.Â
Lagipula jika saya bawa pulang, risiko anak-anak saya yang lain tertular virus menular Varicella Zoster penyebab Cacar Air ini, sangat tinggi. Lebih aman dirawat inap di klinik pesantren.Â
Satu malam ia berada di sana, justru saya yang di rumah, gelisah tidak bisa tidur, mengingat keadaannya di klinik. Makin burukkah atau baik, dan sebagainya. Ternyata demikianlah naluri seorang ibu terhadap anaknya.Â
Untuk menemaninya di klinik, saya mesti menunggui ketiga anak yang lain di rumah. Yang nomor dua dan tiga sedang mengikuti ujian kenaikan kelas pula. Sementara suami masih bekerja seperti biasa di kota lain.Â
Saya sharing dengan kakak ipar yang seorang dokter, setelah berkonsultasi mengenai obat-obatan dan cara perawatannya, tak lupa beliau menyarankan agar suami minta izin atasan untuk pulang lebih cepat dari hari biasanya, sebab anak sakit dan saya sendirian.Â
Saya sampaikan apa adanya pada suami dan Alhamdulillah malamnya sudah sampai di rumah. Sedikit lega rasanya karena sudah ada teman berbagi pikiran mengenai sakitnya si sulung ini.
Sebenarnya menangani anak sakit, saya sendiri juga sudah biasa. Namun istimewanya anak pertama ini, ia dahulu pernah terserang step karena demam tinggi, dan kami, pasangan muda zaman dulu, tidak terlatih menurunkan panas demam bayi.Â
Jadi sejak saat itu, meski kini bayinya hampir berusia tigabelas tahun, kenangan buruk menyaksikan ia kejang demam di tangan saya, masih terputar jelas bagai video yang tersimpan di smart phone. Itulah sebabnya ketika mengetahui si sulung ini demam, saya usahakan secepat mungkin meresponnya.