Mohon tunggu...
Nurhilmiyah
Nurhilmiyah Mohon Tunggu... Penulis - Bloger di Medan

Mom blogger

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelah yang Tak Masalah

18 April 2018   11:06 Diperbarui: 18 April 2018   11:59 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis pekan lalu saat saya sedang berada di Kantor Kopertis Wilayah I Medan, tiba-tiba masuk telepon dari nomor tak dikenal. Ternyata putri saya menghubungi dari wartel pesantren. Mengabarkan kalau dirinya merasa demam, pegal-pegal sekujur tubuh dan meminta saya segera datang menengoknya ke pesantren. 

Meski urusan saya belum selesai, setelah permisi dengan staf kepegawaian selaku mitra yang mengurusi berkas kepegawaian, saya pun tancap gas ke pesantren tempat putri saya belajar hampir setahun ini.

Sesampainya di sana, ada bintik-bintik luka di wajah, punggung tangan, lengan dan kaki anak saya. Langsung saya temani untuk permisi ke Department of Guidance (Bagian Pengasuhan) untuk dirawat di rumah atau ke klinik dekat rumah. 

Pihak pesantren melalui pengasuhan tidak mengizinkan sebab di lingkungan pesantren sendiri telah tersedia fasilitas kesehatan, klinik pesantren. 

Lagipula jika saya bawa pulang, risiko anak-anak saya yang lain tertular virus menular Varicella Zoster penyebab Cacar Air ini, sangat tinggi. Lebih aman dirawat inap di klinik pesantren. 

Satu malam ia berada di sana, justru saya yang di rumah, gelisah tidak bisa tidur, mengingat keadaannya di klinik. Makin burukkah atau baik, dan sebagainya. Ternyata demikianlah naluri seorang ibu terhadap anaknya. 

Untuk menemaninya di klinik, saya mesti menunggui ketiga anak yang lain di rumah. Yang nomor dua dan tiga sedang mengikuti ujian kenaikan kelas pula. Sementara suami masih bekerja seperti biasa di kota lain. 

Saya sharing dengan kakak ipar yang seorang dokter, setelah berkonsultasi mengenai obat-obatan dan cara perawatannya, tak lupa beliau menyarankan agar suami minta izin atasan untuk pulang lebih cepat dari hari biasanya, sebab anak sakit dan saya sendirian. 

Saya sampaikan apa adanya pada suami dan Alhamdulillah malamnya sudah sampai di rumah. Sedikit lega rasanya karena sudah ada teman berbagi pikiran mengenai sakitnya si sulung ini.

Sebenarnya menangani anak sakit, saya sendiri juga sudah biasa. Namun istimewanya anak pertama ini, ia dahulu pernah terserang step karena demam tinggi, dan kami, pasangan muda zaman dulu, tidak terlatih menurunkan panas demam bayi. 

Jadi sejak saat itu, meski kini bayinya hampir berusia tigabelas tahun, kenangan buruk menyaksikan ia kejang demam di tangan saya, masih terputar jelas bagai video yang tersimpan di smart phone. Itulah sebabnya ketika mengetahui si sulung ini demam, saya usahakan secepat mungkin meresponnya.

Esoknya kami sekeluarga mengunjungi si kakak di klinik pesantren. Dengan pertimbangan luka cacarnya yang sangat banyak, dan memerlukan perawatan langsung dari saya, ibunya, maka hari Jumat sore itu Bagian Pengasuhan mengizinkan kami membawanya pulang dengan batas waktu sampai hari Minggu pukul 17.00 WIB. 

Di rumah, si kakak tidak bisa tidur kruntelan dengan kami seperti biasa saat ia pulang libur semester, khawatir sekali adik-adiknya terjangkit penyakit menular ini. Di kamarnya ia beristirahat dan setelah saya bantu mandi pakai air hangat, saya mengoleskan salep Acyclovir ke ratusan titik di seluruh badannya. 

Tiba di batas akhir izin pulang, yaitu Ahad petang, Nafila Zahra, si putri pertama masih lemas dan lebih banyak merebahkan dirinya di atas kasur. 

Suami mengambil inisiatif memohon perpanjangan izin pulang ke Bagian Pengasuhan. Syukurnya ada sepupu saya yang bisa dimintai membantu kami menjaga anak-anak tengah di rumah. 

Saya pun mendampingi suami sembari membawa serta bayi sepuluh bulan kami, menuju ke pesantren.Dalam perjalanan ke pesantren itulah saya merenung dan menyampaikannya pada suami. 

Selama hampir setahun ini kami meluangkan waktu di akhir pekan untuk mengunjunginya di pesantren, memang pernah tebersit rasa capek dan ingin anak kami itu lebih mandiri secepatnya.

Agar tidak terlalu sering dikunjungi sebab santri yang terlalu kerap didatangi keluarganya, terkesan manja dan kurang tangguh. Hanya saja melihat santri lain teman-temannya, bahkan ada yang dua hari sekali ditamui kerabat. 

Malah ada yang setiap hari saat awal-awal masa menjadi capel (calon pelajar). Kami mestinya banyak bersyukur, Kak Rara itu tidak dipaksa-paksa untuk belajar di pesantren. Semua atas kemauan dan kerelaannya sendiri. 

Kami sebagai orang tua memberikan pandangan-pandangan tentang baik dan buruknya suatu sekolah, perbandingan sistem boarding school, full day school, dan sekolah pada umumnya. Ia menerima dengan senang hati saat ditawarkan masuk pesantren, dengan satu syarat, dikunjungi di tiap akhir pekan. 

Waktu itu kami langsung menyetujuinya, sebab nantinya dengan berjalannya waktu, semakin meningkat kelasnya, insyaAllah makin dewasa cara berpikirnya, tentunya ia akan paham bahwa jadi santri tak mesti tiap minggu didatangi.

Dalam perjalanan menuju pesantren itulah mendadak mata saya terasa panas, bulir air mata tertahan di pelupuk mata. Pergi dan pulangnya kami dari pesantren setiap akhir minggu selama beberapa bulan ini, memang lelah, namun sebenarnya bukanlah suatu masalah. 

Sebab kami tahu persis, saat perginya, di tempat tujuan nanti, di pesantren, telah menanti seorang santriwati dengan senyum lebar menyambut kedatangan orang tuanya. 

Ia sehat, menu makanan pesantren cocok di lidahnya. Maka momen bertemu dengannya adalah momen yang amat sangat membahagiakan kami. Jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. 

Memang benar kami ke pesantren, namun saat tiba di sana, tidak didapati anak kami. Anak itu sedang tergolek lemah di rumah. Kami datang dalam rangka memperpanjang izin pulangnya.

Ya Rabb, maafkan saya yang telah mengeluh karena lelah bolak-balik mengunjunginya di tiap Sabtu. Padahal rasa capek yang manusiawi itu dengan sendirinya hilang kala bertatap muka dengan wajah bersih anak kami. 

Senyum cerianya tak lepas saat menceritakan kejadian-kejadian konyol teman seasramanya, celetukan teman di kelasnya, atau saat serunya ia mengikuti seleksi English Olympiad dan lomba sketsa wajah se-pesantren putri. 

Biarlah untuk saat ini dan selanjutnya, kami menikmati lelah-lelah berkunjung ke pesantrennya. Asal ia selalu sehat, nyaman dengan lingkungan pesantrennya dan menjalani masa-masa indahnya menjadi santriwati. 

Saya yakin, lelah menyiapkan bekal untuknya, terkadang mencuci dan menyetrika pakaiannya jika ia tidak sempat sebab sedang padat kegiatan, belum lagi mengalami macet di jalanan pergi dan sekembalinya dari pesantren. 

Biarlah... biarlah semuanya diikhlaskan lillahi ta'ala. Seperti kata-kata yang pernah saya baca di linimasa media sosial, semoga lelah menjadi lillah. 

Salam literasi

Medan, 18 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun