Esoknya kami sekeluarga mengunjungi si kakak di klinik pesantren. Dengan pertimbangan luka cacarnya yang sangat banyak, dan memerlukan perawatan langsung dari saya, ibunya, maka hari Jumat sore itu Bagian Pengasuhan mengizinkan kami membawanya pulang dengan batas waktu sampai hari Minggu pukul 17.00 WIB.Â
Di rumah, si kakak tidak bisa tidur kruntelan dengan kami seperti biasa saat ia pulang libur semester, khawatir sekali adik-adiknya terjangkit penyakit menular ini. Di kamarnya ia beristirahat dan setelah saya bantu mandi pakai air hangat, saya mengoleskan salep Acyclovir ke ratusan titik di seluruh badannya.Â
Tiba di batas akhir izin pulang, yaitu Ahad petang, Nafila Zahra, si putri pertama masih lemas dan lebih banyak merebahkan dirinya di atas kasur.Â
Suami mengambil inisiatif memohon perpanjangan izin pulang ke Bagian Pengasuhan. Syukurnya ada sepupu saya yang bisa dimintai membantu kami menjaga anak-anak tengah di rumah.Â
Saya pun mendampingi suami sembari membawa serta bayi sepuluh bulan kami, menuju ke pesantren.Dalam perjalanan ke pesantren itulah saya merenung dan menyampaikannya pada suami.Â
Selama hampir setahun ini kami meluangkan waktu di akhir pekan untuk mengunjunginya di pesantren, memang pernah tebersit rasa capek dan ingin anak kami itu lebih mandiri secepatnya.
Agar tidak terlalu sering dikunjungi sebab santri yang terlalu kerap didatangi keluarganya, terkesan manja dan kurang tangguh. Hanya saja melihat santri lain teman-temannya, bahkan ada yang dua hari sekali ditamui kerabat.Â
Malah ada yang setiap hari saat awal-awal masa menjadi capel (calon pelajar). Kami mestinya banyak bersyukur, Kak Rara itu tidak dipaksa-paksa untuk belajar di pesantren. Semua atas kemauan dan kerelaannya sendiri.Â
Kami sebagai orang tua memberikan pandangan-pandangan tentang baik dan buruknya suatu sekolah, perbandingan sistem boarding school, full day school, dan sekolah pada umumnya. Ia menerima dengan senang hati saat ditawarkan masuk pesantren, dengan satu syarat, dikunjungi di tiap akhir pekan.Â
Waktu itu kami langsung menyetujuinya, sebab nantinya dengan berjalannya waktu, semakin meningkat kelasnya, insyaAllah makin dewasa cara berpikirnya, tentunya ia akan paham bahwa jadi santri tak mesti tiap minggu didatangi.
Dalam perjalanan menuju pesantren itulah mendadak mata saya terasa panas, bulir air mata tertahan di pelupuk mata. Pergi dan pulangnya kami dari pesantren setiap akhir minggu selama beberapa bulan ini, memang lelah, namun sebenarnya bukanlah suatu masalah.Â