Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kecil: Ketika Gus Mus Bertemu Quraish Shihab

23 Juni 2017   11:44 Diperbarui: 23 Juni 2017   20:23 1978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mata Najwa -- @najwashihab

Saya jarang nongkrongin acara tivi secara khusus. Acara yang saya lihat, biasanya sih, kalau nggak cloud bread, tayo, robocar polly, upin ipin, dan berbagai acara anak-anak...ya, berita, sepak bola, atau balapan grand prix. Hemm, golongan acara pertama buah pilihan my kiddos, dan golongan kedua pilihan ayah mereka. *curhat, bu? :D

Nah, kali ini saya tongkrongin tuh tivi. Bukan demi ngeliat mbak nana yang cantik dan pinter, namun demi mantengin edisi "cerita dua sahabat" yakni ahmad mustafa bisri (gus mus) dan quraish shihab. Syukurlah, anak-anak anteng, dan emaknya bisa nonton dengan tenang..he. he..

Sebagaimana ribuan, atau bahkan lebih, orang yang menanti-nantikan episode talkshow yang ini, saya pun berharap banyak dari acara inj. Khususnya, terkait tema yang ikut dibahas di dalam perbincangan kedua sahabat ini.

Tentu, ulasan panjang lebar sangat bisa kita lakukan. Juga pro kontra, atau bahkan sekedar komentar emosional. Yang sudah jamak mewarnai negeri ini. Dari perisriwa ke peristiwa. Terlebih dari pilkada ke pilkada. 

Mohon buang jauh-jauh sentimen politik maupun prasangka. Dan bukankah lebih indah meresapi acara dan perbincangan teduh itu dengan kesejukan hati?

Ada beberapa catatan kecil yang ingin saya highlight. Subjektif? Tentu, namun barangkali bermanfaat.

Gus Mus dan Abi Quraish (demikian mbak nana mengakrabi mereka) merupakan satu dari sejuta. Dua sahabat yang keduanya ulama ibi, benar-benar istimewa. Perkataan-perkataan santun, sarat ilmu, yang mengalir dari kebenibgan hati, mampu menghangatkan dada jutaan pemirsa yang menyaksikan mereka. Baik yang secara langsung, siaran ulang, melalui media televisi youtube, atau apapun.

Kognisi dan persepsi bisa saja tertipu, terjebak salah paham. Namun hati yang hangat, tersentuh oleh cahaya batin yang terus terpancar, tak bisa dimanipulasi. Terus terang saya tak bisa menahan air mata selama tayangan dua sahabat itu.

Keduanya saling meninggikan, namun tak pernah jemu saling berdiskusi, saling mengingatkan. Quraish menyampaikan pandangannya bahwa sahabat itu seperti dua garis yang beriringan, saling menguatkan, juga saling mengingatkan. Sahabat tidak ingin berada di depan yang sahabatnya, juga tidak di belakang.

Quraish juga mengibaratkan sahabat sebagai jiwa yang sama, namun dalam tubuh berbeda. Maka, pabila sahabat berbuat salah, sahabatnya akan mengingatkan, namun tak akan pernah membenci.

Gus Mus mengagumi Quraish dengan ilmunya yang luas, dan karakter beliau yang serius dan tekun. Quraish mengagumi Gus Mus dengan kecerdasan dan kejernihan hati Beliau. 

Saling kagum, bukan berarti enggan berbeda. Tak jarang mereka berbeda, namun mereka tahu bagaimana cara menyampaikan perbedaan, tanpa menyinggung sahabarnya tersebut. Tak heran, persahabatan mereka telah terjalin 50 tahun lamanya, semenjak di Al Azhar Mesir, hingga kini dan insyaAllah hingga surga-Nya nanti.

Gus Mus mengingatkan kembali kita, akan makna Allahu Akbar. Allah Maha Besar, bukankah ketika kita bertakbir, sudah semestinya kita merasa kecil? Ketika kita berucap Allah Maha Besar namun masih merasa bangga akan diri, merasa lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya, merasa sombong...maka, tentunya perlu kita tafakuri kembali pemaknaan kita terhadap kebesaran Allah.

Gus Mus juga mengingatkan bahwa kita tak seharusnya mengait-ngaitkan segala sesuatu dengan diri dan kelompok. Bumi ini saja ibaratnya hanya sebesar sebutir kacang ijo dalam semesta luas, lalu sebesar apa kira-kira daerah tempat kita tinggal? Jakarta, misalkan? 

Banyak hal yang bisa kita renungi dari acara tersebut. Termasuk bagaimana kita beragama dan berhubungan dengan sesama. Bagaimana tak baiknya bila kita berlebih-lebihan dalam segala sesuatu. Bahkan Rasulullah SAW melarang seseorang mengkafir-kafirkan orang lain. Lalu, kita meniru siapa, ketika di saat yang sama kita mengaku umat rasul? Ketika kita bertakbir, sekaligus kehilangan makna penghambaan dan kerendahan hati di saat yang sama, siapakah kira-kira kita tauladani?

Hmm...hal-hal ini adalah untuk pengingat diri dan untuk kita renungi bersama.

Semoga bermanfaat. Wallahu'alam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun