Saling kagum, bukan berarti enggan berbeda. Tak jarang mereka berbeda, namun mereka tahu bagaimana cara menyampaikan perbedaan, tanpa menyinggung sahabarnya tersebut. Tak heran, persahabatan mereka telah terjalin 50 tahun lamanya, semenjak di Al Azhar Mesir, hingga kini dan insyaAllah hingga surga-Nya nanti.
Gus Mus mengingatkan kembali kita, akan makna Allahu Akbar. Allah Maha Besar, bukankah ketika kita bertakbir, sudah semestinya kita merasa kecil? Ketika kita berucap Allah Maha Besar namun masih merasa bangga akan diri, merasa lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya, merasa sombong...maka, tentunya perlu kita tafakuri kembali pemaknaan kita terhadap kebesaran Allah.
Gus Mus juga mengingatkan bahwa kita tak seharusnya mengait-ngaitkan segala sesuatu dengan diri dan kelompok. Bumi ini saja ibaratnya hanya sebesar sebutir kacang ijo dalam semesta luas, lalu sebesar apa kira-kira daerah tempat kita tinggal? Jakarta, misalkan?Â
Banyak hal yang bisa kita renungi dari acara tersebut. Termasuk bagaimana kita beragama dan berhubungan dengan sesama. Bagaimana tak baiknya bila kita berlebih-lebihan dalam segala sesuatu. Bahkan Rasulullah SAW melarang seseorang mengkafir-kafirkan orang lain. Lalu, kita meniru siapa, ketika di saat yang sama kita mengaku umat rasul? Ketika kita bertakbir, sekaligus kehilangan makna penghambaan dan kerendahan hati di saat yang sama, siapakah kira-kira kita tauladani?
Hmm...hal-hal ini adalah untuk pengingat diri dan untuk kita renungi bersama.
Semoga bermanfaat. Wallahu'alam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H